Merawat Optimisme Kota

 Pandemik yang sudah menjadi narasi publik seperti mengkonfirmasi bahwa masyarakat selalu berada pada dua sisi yang bersebelahan. Mereka yang siap dan kurang atau tidak siap. Mereka yang cukup sumberdaya dan pas-pasan atau kekurangan. Mereka yang pesimis dan optimis.

Namun demikian, di tengah musibah yang tidak pandang bulu ini, sejatinya optimisme harus terus dijaga, dirawat, dan terus ditularkan. Sebagaimana virus, harapan juga bisa ditularkan. Jika virus mengancam keberlangsungan; harapan justru menjahitnya untuk melanjutkan kehidupan.

Kota hari ini seperti parabola raksasa yang siap menampung dan menyebarkan infomasi. Apapun informasi yang diterima atau diproduksi oleh kota, akan menyebar kembali sesuai daya jangkaunya. Semakin kuat gelombang yang ditransmisikannya, maka akan semakin jauh penerimaannya.

Jika kota menginformasikan berbagai hal yang akan menghasilkan sikap dan respon negatif, maka jangan heran jika akhirnya menghasilkan respon balik dari mereka yeng menerima informasi dalam bentuk kecemasan dan kepanikan; sebaliknya, jika optimisme yang ditransmisikan, maka keyakinan akan melewati berbagai tantangan dan hambatan akan terjadi.

Sebagai sebuah parabola raksasa, kota memiliki pilihan untuk menginformasikan kedua cara pandang tersebut. Maka dari dari itu, berbagai narasi yang akan ditransmisikan tersebut, sejatinya memang hasil refleksi berulang dari para pemangku kepentingan atas isu yang disampaikan ke publik. Maka ketika publik bereaksi negatif atas pernyataan resmi yang dikemukakan oleh jubir pemerintah dan mengaitkannya kepada judge strata ekonomi kelas tertentu (kaya vs miskin) sesungguhnya wajar saja. Publik akan merespon sesuai dengan cara pandang pemberi atau penyampai infomasi.

Dalam konteks seperti ini kita membutuhkan paradigma yang kuat dalam memproduksi isu dan informasi. Meski publik memiliki hak untuk mendapatkan data dan informasi, namun pemerintah bisa lebih peka akan dampak dan manfaat dari satu produksi isu.

Contoh jika kita telisik lebih dalam berbagai informasi yang disampaikan sang jubir, beberapa pertanyaan bisa dikemukakan: apa pentingnya informasi itu bagi rakyat banyak dan kalangan awam. Sebab secara riil identitas pasien sendiri dikatakan rahasia.

Optimis vs Anomali

Jika menggunakan cara pandang sosiologi, sudah lama dikemukakan mengenai teori anomali. Anomali hadir sebagai bacaan untuk fakta atau fenomena baru yang muncul namun di luar struktur yang ada baik itu politik, ekonomi, atau bahkan budaya. Anomali bisa dibaca dengan baik jika pola relasi dan struktur yang ada memang bekerja. Melalui konsep anomali, maka bisa ditemukan bagaima hal-hal yang mapan akhirnya mengalami pembelolan-pembelokan. Proses pembelokan ini pula yang menyebabkan terjadinya dinamika sosial.

Dalam konteks yang ada sedang terjadi sejumlah anomali terjadi. Misalnya proses produksi informasi bukan hanya melalui agen tunggal, seperti pemerintah. Tetapi bisa siapapun yang kebetulan mendapatkan momentum dengan sendirinya bisa menjadi produsen informasi.

Di sinilah pentingnya menjaga semangat optimisme tersebut. Di tengah musibah besar seperti sekarang ini memang harapan akan tetap bangkit melewati hari-hari sangat penting. Sebab, narasi kebangkitan dan optimis ini bisa jadi mengalahkan anjuran pemerintah untuk dia di rumah. Dalam konteks ini juga maka seorang pemimpin jaman hadir menghembuskan udara optimistis yang mengalir ke benak dan kesadaran setiap orang. Tanpa optimisme yang  kuat, kita bisa melewati hari dengan banyak bingung dan penuh duka.

Oleh: Tantan Hermansah
(Pengajar Sosiologi Perkotaan, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)
(Ketua Program S2 KPI; Sekjen P2MI)

Tinggalkan Balasan