Setelah proses pemilu yang demikian menguras energi bangsa, apa yang terjadi pada kota?
Kota adalah entitas yang di dalamnya terdiri dari beragam orang dengan pikiran, harapan, pandangan, cara hidup, nilai-nilai, dan sebagainya. Kompleksitas kota sudah menjadi asumsi para ahli. Sehingga mendekati persoalan kota tidak bisa tunggal.
Hubbard (2006) membagi tipologi kota dalam lima model: represented city, everyday city, hybrid city, intransitive city, dan creative city. Model pertama, kota representatif umumnya adalah tipikal kota paling ideal, imajinatif, dan sesuai dengan karakter manusia. Kota seperti ini bisa dikatakan nyaris tidak ada. Yang jikapun ada hanya ada di film-film saja. Model kedua, model kota sehari-hari di mana ada kesempatan dan peluang, konflik, tantangan, dan sebagainya. Kota inilah yang menjadi kerangka analisis tulisan ini. (Model lain, akan dijelaskan pada tulisan berikutnya)
Tulisan ini ingin menjelaskan hasil observasi sederhana pada warga kota. Sengaja terma ‘warga’ dipilih untuk menjelaskan aspek citizen yang melekat di dalamnya aspek keberadaban.
Bisa jadi, dibandingkan dengan orang desa, atau mereka yang tinggal di pedesaan, hiruk-pikuk pemilu lebih terasa di kota. Dari hal-hal yang kasat mata, misalnya: spanduk yang dipajang, perdebatan dalam perbincangan sehari-hari, dan (terlebih) yang ada pada platform media sosial.
Banyak cerita pilu dari pemilu ini, seperti: ada yang keluarg grup WA, unfriend dari media sosial, dan sebagainya. Sedemikian sehingga kita bisa membuat kesimpulan sederhana bahwa pemilu, bagi bangsa ini, bukan hanya persoalan memilih kepemimpinan periodik, tetapi juga telah mendarahdaging pada kehidupan keseharian.
Sebagaimana telah diulas pada tulisan sebelumnya, bahwa keberadaban ada pundak kota. Sukses tidaknya proses pemilu, akan diidentikkan pada sebagian besar visualisasi sosial-budaya-politik warga kota. Namun, di lapangan, banyak yang menganggap miris bahwa gesekan sosial yang demikian tajam, lalu menjadikan apa yang sedang berlangsung pada pemilu, sebagai kambing hitamnya.
Di sisi lain, kompleksitas warga kota menjadi warna dari kota itu sendiri. Oleh karena itu meramunya menjadi suatu pemandangan yang berkarakter homogen jelas cukup sulit.
Namun demikian, di tengah keragaman perilaku dan ekspresi yang dimunculkan warga kota, termasuk dalam konflik dan perseteruannya, kita bisa melihat suatu optimisme kewargaan yang membuncah. Seperti diorkestrasi, semua konflik, kolaborasi, aksi bersama, bisa terekspresikan dengan bebas. Jikapun ada kasus yang kemudian berujung pada persoalan pribadi, beberapa warga kemudian melakukan pendekatan mediasi dan hukum.
Artinya bahwa ada kesadaran sosial yang mulai menggejala dalam keseharian masyarakat kota bahwa perbedaan dan keberbedaan bukan sesuatu yang harus menjadi oposisi pada tatanan. Koreksi dan oposisi mulai dipahami sebagai bentuk penyeimbang dan pengawasan agar nilai-nilai kebaikan dan kebajikan benar-benar bisa hadir dalam kehidupan warga.
Tidak terkecuali kota pasca pemilu yang luar biasa ini. Ketakukan-ketakukan yang sering disebarkan dalam beragam media informasi, seakan-akan tidak cukup membuat warga kota terprovokasi. Bahkan kemudian seperti digerakkan oleh kekuatan besar, warga kota justru sama-sama melakukan self – control pada berbagai isu yang berpotensi mengguncang tatanan tersebut. Tentu saja, apa yang tampil tidak selalu merupakan titik puncak idealitas keberadaban kota. Masih ada waktu bagi warga kota, tidak selalu harus dipicu momen politik sebenarnya, untuk melakukan koreksi diri (self – correction) agar nilai-nilai keberadaban kota tertanam dan menancap pada nadi kehidupan.
[terbit di Rakyat Merdeka]