Ekspresi (palsu) di Spanduk

Pada momentum politik seperti tahun 2023 ini, juga pada momen-momen serupa pada tahun-tahun sebelumnya, ruang-ruang strategis, atau setidaknya yang dianggap seperti itu, tetiba semarak dengan tempelan spanduk maupun bendera-bendera. Mereka yang memasang dan memajangnya itu umumnya para pelaku politik atau organisasi lainnya, baik yang berafiliasi kepada organisasi politik atau ke pelakunya.

Jumlah spanduk yang dipampang pada berbagai media: tembok, tiang listrik, pohon-pohon, baligo, kabel-kabel, dan sebagainya, itu seakan memadati semua narasi dan pandangan. Jika dilihat semaraknya, bisa dipastikan kuantitasnya mengalahkan jumlah spanduk yang biasanya dipajang oleh para makelar perumahan, iklan mobil, diskon mall, PPDB sekolah, tukang AC, apalagi flayer badut sulap, ulang tahun, dan semacamnya.

Mereka umumnya, atau setidaknya sebagian besar, memasang tampang atau ekspresi yang tentu dalam persepsi pemasangnya, memancarkan sukses atau pantas. Meski bisa jadi eskpresi itu, sebagiannya hasil editan. Beragam raut muka itu pun sangat mungkin hasil pelatihan singkat dari konsultan atau tim-nya, untuk menyampaikan narasi bahwa dia pantas mendapatkan atensi  masyarakat.

Tangan bersedekap, bibir tersenyum, atau tangan merapat sambil menempel di dada, atau tangan mengepal ditambah muka bersemangat, menjadi ekspresi standar yang paling banyak dipakai. Ekspresi itu dipertegas dengan busana, baik yang mencerminkan identitas partai atau organisasinya, seperti warna, desain, gambar dan sebagainya, dengan gaya yang resmi formal, yang cool santai, atau perpaduan keduanya. Ada yang menggunakan jas, ada juga yang berpakaian kaos; Ada yang menggunakan bando, kerudung, ikat kepala, kopiah, topi biasa, namun ada juga polos klimis.

Inilah era dimana maka kita kebanjiran beragam ekspresi. Ekspresi selama ini merupakan jelmaan dari hati dan jiwa seseorang. Saat ini melalui kanal industri, ekspresi telah dijelmakan sebagai produk fisik-material. Replikasi dan reifikasi ekspresi terjadi dengan massif mengisi ruang publik. Kekosongan regulasi menjadi alasan paling kuat, mengapa ekspresi-ekspresi yang kadang “palsu” itu memenuhi ruang nalar, membuat masyarakat tidak punya pilihan: menatap atau menunduk.  

Pada aras makna, terus terang saya tidak atau kurang bisa membaca pesan dari setiap spanduk yang ditampilkan. Hal ini terjadi karena hampa dan kosongnya narasi–selain gambar muka yang didandani dan dirias saja. Apakah itu menyimbolkan kepercayaan, kesuksesan, atau kepemimpinan, mungkin hanya mereka yang memasangnya saja yang paham.

Para pemasang spanduk sepertinya sudah sadar bahwa bangsa Indonesia ada dalam keadaan literasi yang rendah. Jangankan membaca tulisan di spanduk, membaca buku saja yang lebih mudah mengalami dehidrasi yang luar biasa. Jadi untuk apa ruwet-ruwet membangun narasi lewat spanduk.  

Maka selain terlalu mewah dan ideal, bahkan terlalu dramatis jika kita berharap bahwa spanduk-spanduk itu bisa mengedukasi dan memberikan makna kepada publik. Narasi politik yang mendidik hampir tidak pernah dalam spanduk. Narasi yang agak panjang dalam suatu spanduk hanya ada pada PPDB penerimaan siswa baru di sekolahan atau kampus-kampus saja.

Maka dari itu, kita bisa membacanya bahwa apa yang ditampilkan oleh kebanyakan organisasi politik dengan para pelaku politik yang ditampilkan pada spanduk itu, maksudnya hanya ingin menjelaskan eksistensinya saja di lingkungan tempat tinggal kita. Atau mungkin mereka itu sadar jika terlalu banyak menaruh kata dan janji, khawatir suatu saat menjadi tagihan kepada mereka. Sebab tulisan di situ menjadi bukti agar janji mereka dipenuhi.

Meskipun sangat tidak enak untuk dipandang apakah adanya beragam spanduk dengan beragam ekspresi, warna dan gambaran yang demikian banyak itu menunjukkan kualitas kepolitikkan kita? Jawabannya jelas tidak. Spanduk-spanduk yang dipajang, yang terkadang cukup mengganggu pemandangan, seperti sudah disinggung di atas, hadir bukan melakukan edukasi politik, atau yang lain. Spanduk hadir hanya untuk menegaskan kehadiran calon-calon atau para pelaku politik di wilayah tersebut.

Makanya dalam satu spanduk yang ditampilkan oleh para pelaku itu bisa dikatakan nir-pesan dan ketiadaan nilai edukasi. Jika demikian publik bertanya lalu di mana kita bisa mendapatkan semangat kepolitikan yang murni, yang melenting dari niat mengedukasi publik.  

Tentu saja Ini bisa jadi suatu harapan palsu karena jauh panggang dari api. Apa yang dipikirkan oleh rakyat, atau para pemilih itu, memang tidak pernah bersambung dengan apa yang dipikirkan oleh pelaku-pelaku politik. Sebab di benak mereka adalah proses memenangkan persaingan dan kontestasi, terutama dukungan suara,  sementara rakyat berharap mendapatkan pemimpin yang amanah, yang bisa mengelola semua sumber daya negara untuk meningkatkan kesejahteraan dan marwah kehidupannya. Maka wajar jika pertanyaan lain muncul seperti di manakah edukasi politik, sementara dua entitas: politisi yang dipilih dan rakyat yang memilih mengalami beragam gap yang demikian dalam dan tajam urusan kepolitikan.

Tata Kelola Ruang Berkeadilan

Maka sudah waktunya pemerintah melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencermati persoalan pengelolaan ruang ini agar tidak menjadi liar seperti sekarang. Sebab jika diperhatikan lebih jauh, yang terjadi saat ini, adalah aneksasi ruang (publik) oleh kekuasaan uang. Tentu saja ini sangat tidak fair dan adil, sebab semua ruang publik yang strategis akan dikuasai oleh calon yang memiliki limpahan dana. Sementara mereka yang dananya terbatas, jelas bisa hanya menjadi penonton saja. Selain itu, upaya penataan ruang untuk peletakan gambar, biasanya disebur kanvasing, selain akan meningkatkan kualitas demokratisasi, juga akan sedikit memberikan pengaruh kepada nalar publik yang tidak direcoki gambar-gambar tidak perlu (dan tidak mutu) itu. Jika saja nalar ini kemudian diisi oleh narasi-narasi positif dan memiliki nilai edukasi politik, maka kita bisa optimis meningkatkan kesehatan system demokrasi di republik tercinta ini.

Tinggalkan Balasan