Tantangan Sosiologis Generasi Digital

MERUJUK data Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa sekitar 27,94 persen penduduk Indonesia merupakan generasi kelahiran antara tahun 1997 – 2012. Saat ini mereka berusia antara 10 tahun sampai 24 tahun. Para ilmuwan yang berkutat pada ilmu kependudukan mengategorikan mereka yang lahir tahun tersebut merupakan generasi Z. Oleh sejumlah ilmuwan lain, mereka juga disebut generasi native digital. Namun, generasi digital ini memiliki sejumlah tantangan dan permasalahan yang harus dicermati oleh berbagai pihak. Tantangan dan permasalahan ini bisa jadi sangat baru, tidak pernah terjadi atau dialami oleh generasi sebelumnya. Artikel ini secara ringkas hanya ingin membahas tantangan-tantangan yang sifatnya sosiologis bagi generasi digital ini. Apa saja tantangan sosiologis yang akan dan sedang dihadapi oleh gen Z? Tantangan sosiologis pertama adalah problem relasional. Generasi-generasi sebelumnya atau sebelum generasi Z ada, mereka memiliki karakter sangat komunitarian dan cair. Hubungan atau relasi antarindividu dalam satu kelompok menghasilkan satu model masyarakat yang sangat guyub. Masyarakat yang sangat guyub biasanya sukarela mengikatkan diri pada struktur dan sistem masyarakat, serta (harus) menerima apa yang ditetapkan dan digariskan di dalam masyarakat. Dalam sosiologi, realitas itu disebut sebagai sistem sosial. Dengan kata lain, masyarakat non-generasi Z mengikatkan diri pada satu sistem dan struktur sosial yang dianggap baku. Namun tidak demikian dengan generasi Z. Mereka terlahir pada suatu struktur masyarakat berbeda. Realitas kehidupannya banyak tidak in group dalam kelompok masyarakat seperti dipahami secara tradisional. Mereka justru berelasi dengan entitas lain di luar. Mereka telah menjalin ikatan melalui suatu medium yang bernama internet. Dari sini kemudian generasi Z mengalami problem relasi di mana tidak sedikit dari mereka yang tidak atau kurang berinteraksi dengan lingkungan sekitar tempat tinggalnya, tetapi begitu melekat dengan entitas di luar lingkungan sosialnya. Dengan problem relasional ini maka tingkat kemelekatan dan kedalaman relasi dan cara generasi Z secara fisik dan lingkungan sosial tempat mereka hidup menjadi demikian rapuh dan lemah. Mereka menjadi pribadi yang gampang terpengaruh narasi-narasi yang beredar pada ruang di mana mereka berinteraksi. Terkadang narasi itu memang tidak hadir seutuhnya. Generasi Z memang menjadi native di dunia digital, tetapi mereka bisa menjadi stranger di lingkungan sosialnya. Tantangan sosiologis berikutnya adalah problem profesi. Generasi Z adalah entitas yang hadir pada suatu realitas di dunia baru. Kapasitas tidak lagi diukur dengan kesarjanaan. Kualitas tidak lagi diukur dengan jenjang pendidikan dan lain-lain. Realitas baru ini dibuktikan dalam situasi di mana pendidikan formal tidak mesti menjadi basis mendapatkan dan menemukan fondasi kesejahteraan hidupnya. Faktanya, banyak sekali perusahaan besar bisa menerima mereka tanpa mempersoalkan ijazah pendidikan. Tantangan sosiologis ketiga adalah kompetisi. Dunia hari ini ruang kompetisinya menjadi tidak lagi berbasis pada hal-hal yang formal-prosedural dan administrasi. Maka generasi Z akan menghadapi persoalan di mana ruang kompetisi demikian sesak. Setiap orang sangat mungkin memasuki ruang itu secara bebas hambatan. Di ruang ini tidak ada lagi persoalan bagaimana dia memperoleh ilmu dan keahlian, karena yang paling penting adalah bagaimana ilmu dan keahlian yang dia miliki bisa mengalahkan lawan-lawan dari kompetitifnya. Tantangan sosilogis berikutnya yang dialami generasi Z adalah masalah konstruksi budaya. Konstruksi budaya disumbang oleh banyak variabel seperti bahan bacaan, pengajaran, ruang interaksi, nilai-nilai yang diajarkan di rumah dan ruang pendidikan. Semuanya akan sangat mencair. Sehingga konstruksi budaya Generasi Z memang tidak lagi mendesain dirinya untuk berkaitan dengan konstruksi yang sebelumnya. Contoh budaya kerja. Bagi generasi lawas, kerja identik dengan pergi pagi dengan durasi yang baku. Namun bagi generasi Z, bekerja adalah menghasilkan sesuai yang bisa dilakukan di mana pun tanpa jam kerja khusus. Budaya ini tentu menjadi tantangan karena berbeda paradigma, sehingga dengan konstruksi baru yang mereka bawa berpotensi menimbulkan friksi dan gesekan pada setiap unit sosial masyarakat. Jika hal ini terjadi, maka generasi Z akan kembali mencari ruang di mana mereka bisa mengekspresikan diri pada apa yang mereka yakini dan membuat senang tanpa memedulikan bagaimana lingkungan sosial. Dengan kata lain, generasi Z telah melakukan transformasi sistem sosial dalam apa yang disebut sebagai masyarakat. Transformasi ini mereka lakukan bisa sebagai “pelarian” atau juga sebagai kebutuhan—yang dalam perspektif mereka dianggap sebagai kenyataan. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Tantangan Sosiologis Generasi Digital”, Klik untuk baca: https://www.kompas.com/tren/read/2022/09/19/121753965/tantangan-sosiologis-generasi-digital?page=all#page2.

Dr. Tantan Hermansah
Pengajar Sosiologi Perkotaan dan Ketua Prodi Magister Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta

Tinggalkan Balasan