Odong-Odong di Jalanan Kota

Pernahkah kita, ketika sedang berkendara di jalan melihat atau berpapasan dengan sebuah mobil yang dimodifikasi menjadi sedikit lebih lebar dan lebih panjang dan memuat banyak sekali penumpang. Mereka yang menaikinya itu umumnya ibu-ibu dan anak-anak, yang memang sedang menghibur diri dengan cara berjalan-jalan mengitari perumahan, kampung-kampung dan sebagainya. Mobil tersebut kemudian dikenal dengan mobil odong-odong.

Konon, odong-odong itu tadinya merupakan produk seni budaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk mengekspresikan perasaan spiritualitasnya, terutama ketika selesai panen dari kebun dan sawahnya. Dulu Odong-odong melekat pada produk kreatif yang dibuat masyarakat, seperti “Sisingaan ” dari Subang, atau daerah lain. Odong-odong juga kerap dipakai untuk meramaikan acara seperti sunatan, di mana Pengantin Sunat dinaikkan ke Odong-odong lalu diarak secara digotong, sambil diiringi musik, tarian dan sebagainya.

Odong-odong adalah ekspresi syukur dan kegembiraan kelas menengah bawah. Saat ini ekspresi itu masih melekat, terbukti dengan masih banyaknya penumpang yang memanfaatkan odong-odong untuk menghibur anak-anaknya.

Ada bermacam-macam odong-odong ini. Ada yang dikayuh manual menggunakan tenaga orang yang membawanya; ada juga yang bermesin. Odong-odong bermesin lebih disukai saat ini karena, dengan beberapa modifikasi, bisa melakukan perjalanan jauh dan muat banyak. Sebelum menggunakan model transportasi berbasis mesin dalam hal ini mobil, dulu yang suka keliling seperti itu adalah delman atau andong. Kendaraan ini berkeliling membawa penumpangnya dalam rangka mencari sedikit rejeki. Zaman yang berubah kemudian memunculkan odong-odong tipe baru ini. 

Pandemi telah membuat odong-odong ini semakin banyak melata di jalanan kampung.  Apalagi ketika orang-orang dilarang berpergian jauh terutama ke jalan besar. Akhirnya jalanan-jalanan yang ada di kampung-kampung kemudian menjadi tempat untuk odong-odong ini beroperasi. Kadang ada tulisan di kendaraan mereka itu seperti: “Wisata Desa”; “Wisata Ceria”, dan sebagainya. Mereka bisa beroperasi dari pagi sampai sore,  membawa penumpangnya berkeliling baik keliling kampung maupun keliling pinggiran desa.

Namun kemudian sebagaimana fitrahnya manusia, kalau rutenya itu itu saja lama-lama odong-odong itu juga akan kehilangan penumpang. Penumpang bosan, karena odong-odong tidak lagi menyuguhkan pengalaman baru. Di sinilah potensi masalah besar timbul.

Ketika para penumpang itu tidak puas dengan rute yang itu saja, sekarang odong-odong mulai berani memasuki jalan raya. Tentu saja keadaan ini sangat membahayakan baik membahayakan penumpang di dalam odong-odong itu sendiri, maupun kendaraan lainnya.  Karena banyak odong-odong yang dimodif dari kendaraan yang sudah rusak yang tentu saja mereka tidak memiliki laik pakai. Sehingga kendaraan ini rawan mogok apalagi sisi keamanannya sangat-sangat rendah.

Mengapa kita penting memperhatikan persoalan odong-odong ini? Ada beberapa hal yang kemudian harus kita cermati. Pertama , odong-odong bukan transportasi publik legal. Maka kendaraan ini mengangkut penumpang dengan ilegal; Kedua ,  dari sisi keselamatan dalam berkendaranya, pun kita bisa memperhatikan beresiko tinggi. Mereka duduk berhimpitan dan dengan jumlah yang sangat banyak. Ketiga , apalagi di masa pandemi ini, sering saya lihat selain tidak ada jarak, juga tidak menerapkan prokes secara menyeluruh. Keempat , fenomena odong-odong di pinggiran dan kemudian masuk ke kota itu bisa memberikan edukasi negatif kepada anak-anak yang ada di dalam Jalan tersebut. Karena dalam jangka panjang anak-anak ini merasa tidak salah menaiki kendaraan yang tidak legal untuk “berkeliaran” di jalan raya. Apalagi ketika mereka naik odong-odong itu pun ditemani orang tuanya.

Neo-Odong-odong?

Tentu saja odong-odong telah mengalami desakralisasi yang signifikan. Dari tadinya sebagai ekspresi kegembiraan dan rasa syukur yang sangat spiritual, sekarang yang tersisa hanya kegembiraannya saja. Ibu-ibu gembira karena anak-anaknya bisa melepaskan penat setelah gabut karena harus memegang gawai terus, dan hal lain.

Namun dengan sejumlah masalah yang dikemukakan di atas, maka perlu ada perbaikan dalam tata kelola odong-odong ini. Misalnya, kelayakan kendaraan baik dari sisi mesin, desain, dan hal-hal lain perlu ditata sedemikian rupa. Bahkan untuk memastikan ini, pemerintah perlu membuat standarnya. Juga mereka yang membawanya. Para sopir odong-odong ini, meski hanya berkeliling di jalanan kampung misalnya, harus mendapatkan lisensi membawa kendaraan odong-odong tersebut, bahkan juga sedikit pengetahuan tentang wilayah kerjanya. Sehingga ketika mereka berjalan menelusuri desa-desa, sopir-sopir bisa bercerita tentang jalan yang dilewati, sungai-sungai, bangunan khas di situ, dan sebagainya.

Sehingga selalu ada nuansa belajar dan pelajaran di situ. Bahkan jika perlu di dalam odong-odong itu ada penjelasan-penjelasan pendek mengenai persoalan 5M di masa pandemi ini, ataupun pelajaran-pelajaran sekolah yang disajikan pada video pendek.

Odong-odong yang tampil jaman sekarang adalah evolusi produk kreatif rakyat. Kreativitas seperti ini jelas tidak perlu dilarang, justru harus dilindungi. Karena salah satu tugas negara adalah melindungi hajat hidup rakyatnya. Odong-odong, sesederhana apapun merupakan kreasi masyarakat dalam memberikan hiburan murah meriah yang bisa sedikit menghilangkan dahaga wisata dan hiburan mereka.

Telah terbit: https://rm.id/baca-berita/nasional/103864/odongodong-di-jalanan-kota

Dr. Tantan Hermansah, Pengajar Sosiologi Perkotaan, Ketua Prodi S2 KPI, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Anggota Komisi Infokom MUI Pusat

Tinggalkan Balasan