Problem Ekologis Budaya Ngabuburit di Kota

Salah satu peristiwa yang unik dalam konteks bulan Ramadan adalah budaya “ngabuburit”. Kata atau istilah “ngabuburit” sendiri sebenarnya diambil dari kata “burit” dalam bahasa Sunda, yang artinya waktu sore menjelang magrib. Tambahan awalan “nga” menjadikan kata benda “burit” menjadi suatu aktivitas, di mana ngabuburit berarti menikmati suasana pada waktu sore menjelang magrib. Kegiatannya pun beragam, terserah bagaimana si pelaku memaknai istilah ini.

Dalam tradisi masyarakat Sunda, waktu yang duapuluh empat jam memang dibuat terperinci. Ada “isuk-isuk” untuk menunjukkan waktu pagi, lalu “pecat sawed” menunjukkan waku setelah pagi tetapi belum terlalu siang, dan seterusnya.

Siang sendiri kemudian diistilahkan dengan “beurang”. Ketika ditambahkan awalan “nga”, maka “beurang” menjadi “ngabeubeurang”, sebuah kata yang menunjukkan ada aktivitas di dalam waktu menjelang siang.

Maka karena “burit” yang menunjukkan satu fenomena waktu, sebagaimana kalau menjelang siang “beurang”, maka kadang “ngabuburit” dilawankan dengan kata “ngabeubeurang”. Maka pada saat adzan tiba atau magrib, di situlah kemudian kata atau istilah ngabuburit menjadi matching atau bersandingan dengan kegiatan menjelang buka puasa. Karena peristiwanya terjadi beriringan.

***

Lalu bagaimana fenomena ngabuburit, khususnya di kota, jika ditilik dari beberapa cara pandang ekonomi dan ekologi?

Jika ngabuburit dipandang secara ekonomi, maka kegiatan ngabuburit memiliki dampak pada bergeraknya roda ekonomi terutama sektor konsumsi. Seperti kita ketahui, sektor konsumsi ini berkontribusi sangat signifikan pada perekonomian negara.

Hal ini terjadi karena pada umumnya di saat ngabuburit yang dilakukan oleh banyak orang adalah pergi, kebanyakan untuk jajan atau membeli sesuatu, keluar. Mereka keluar sebagai “para pencari takjil” untuk membatalkan puasa. Para pencari takjil yang sekaligus ngabuburit ini biasanya berkeliling ke banyak tempat, sekalian “menghabiskan” waktu sampai menjelas datangnya kumandang adzan.

Maka secara positif, kita bisa melihat bahwa fenomena ngabuburit dapat berkontribusi pada bergeraknya ekonomi sektor konsumsi. Ragam kegiatan seperti mencari takjil maupun belanja harian untuk sahur, yang tidak jarang dengan kuantitas yang lebih banyak dari biasanya, sangat berdampak kepada akumulasi aktivitas ekonomi.

Selain itu, tidak jarang juga momentum Ramadan dan ngabuburit dimanfaatkan oleh banyak rumah tangga untuk menjadi “pedagang dadakan”. Sehingga hal ini pun menggerakan ekonomi pada sector produksi—meski mungkin kebanyakan masih didominasi usaha kecil dan mikro. 

Problem Ekologi

Namun di sisi lain, banyak sekali kegiatan ngabuburit yang dilakukan masyarakat ini lebih banyak diisi oleh sesuatu yang kurang produktif bahkan cenderung berkontribusi pada masalah ekologi. Hal ini bisa dilihat pada beragam perilaku masyarakat yang kerap berkeliling, berputar-putar dengan kendaraan bermotor, dengan dalih menunggu bedug magrib.

Padahal secara tidak sadar aktivitas tersebut jelas menghabiskan banyak sumberdaya energi BBM. Coba bayangkan jika ada puluhan ribu atau malah jutaan orang keluar menjelang buka dengan kendaraan nya masing-masing. Maka berapa ratus ribu liter BBM (bahan bakar minyak) yang terbuang hanya dipakai untuk orang baik mencari takjil atau sekedar menghabiskan waktu tersebut. Jika saja aktivitas muter-muter itu bisa dikurangi, maka bisa dipastikan bahwa hal itu akan berdampak pada penghematan BBM. Tentu ini selain dampak lain seperti meningkatnya karbon dioksida di tempat keramaian menjelang buka tersebut. 

Sebenarnya, kultur ngabuburit yang positif tersebut bisa saja diubah agar eksistensinya tidak hilang tetapi lebih ramah lingkungan. Misalnya dengan dikampanyekan agar menggunakan kendaraan yang ramah lingkungan seperti sepeda, sepeda listrik, atau maksimal sepeda motor listrik. Sehingga dengan cara seperti itu maka kegiatan mengisi aktivitas ngabuburit akan lebih bermakna dan tidak memberikan dampak negatif secara ekologis.

Selain berkendaraan, kegiatan ngabuburit yang ramah lingkungan pun bisa dilakukan dengan cara lain, seperti mengaji (tadarus) Al Qur’an di masjid atau mushalla di dekat rumah. Atau melakukan olah raga ringan seperti jogging dan atau lari santai. Sehingga selain akan mendapatkan manfaat ganda, yakni mendapatkan pahala dan kesehatan, juga jelas-jelas tidak merusak lingkungan.

Tinggalkan Balasan