Learning Loss dan Masa Depan Kota

Pernyataan Mas Menteri Nadiem Makarim yang kemudian dikutip banyak media, tentang “Pembelajaran Jarak Jauh bisa sebabkan learning loss terbesar dalam sejarah Indonesia”, perlu kita sikapi secara kritis.

Bahkan, Mas Menteri menambahkan, “Kita kehilangan satu tahun pembelajaran. Bisa permanen dampaknya”. Hal ini dikatakan saat rapat membahas pembelajaran tatap muka (PTM) dengan Gubernur Sumut Edy Rahmayadi di Medan, Sumut, Senin (25/10/2021).

Pernyataan Mas Menteri di atas harus direspons secara kritis. Karena Mas Menteri seperti tidak melihat konteks yang membuat peristiwa learning loss itu terjadi.

Kita semua tahu bahwa learning loss itu diakibatkan oleh peristiwa pandemi Covid-19 yang dialami tidak hanya oleh bangsa Indonesia, tetapi juga oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Sejatinya Mas Menteri harus melihat bahwa konteks ini terjadi dalam skala global.

Namun demikian apa yang dikatakan oleh Mas Menteri juga secara positif seharusnya membuat kita langsung melakukan introspeksi mendasar pada tata laksana dan pengelolaan sistem belajar kita selama ini. Di mana sistem belajar atau proses belajar mengajar (PBM) kita selama ini yang notabene ada di era revolusi industri 4.0 menuju era 5.0, ternyata tidak berbanding lurus dengan peningkatan kapasitas infrastruktur maupun supra-struktur PBM itu sendiri.

Kita melihat bahwa di awal-awal ketika kita melakukan sistem pembelajaran jarak jauh atau PJJ, kegagapan terjadi di mana-mana. Mulai dari kapasitas dari para pendidik yang tidak sanggup melakukan proses PJJ dengan baik. Kegagapan juga terjadi pada sarana dan prasarana pendukung yang tidak memadai, baik dari institusi pendidikan maupun dari mitra didik, dalam hal ini orang tua.

Maka kemudian dari sini kita bisa melihat bahwa masalah learning loss itu tidak bersifat tunggal. Tetapi lebih bersifat masif terstruktur dan tentu saja komprehensif dan kompleks.

Karena itu Mas Menteri tidak hanya bisa melakukan kritik pada peristiwa ini, tetapi lebih jauh, harusnya menegaskan bahwa harus ada komitmen mendasar untuk melakukan pembaruan pada infrastruktur dan supra-struktur PBM di Indonesia saat ini. Sehingga PBM ini bisa menghadapi apa yang saat ini disebut sebagai VUCA (volatility, uncertainty complexity dan ambiguity).

Pada masa VUCA ini kita bisa melihat dan menemukan, bahwa suatu sistem harusnya memiliki daya lenting atau fleksibilitas yang kuat. Sehingga ketika ada persoalan terkait dengan dirinya, bisa dengan mudah diatasi atau menyesuaikan diri dengan cepat.

Lalu bagaimana menyikapi pernyataan yang dikemukakan oleh Mas Menteri mengenai learning loss ini dalam konteks masa depan perkotaan?

Untuk menjawabnya, kita harus memahami bahwa kota adalah ruang tempat entitas manusia membangun dan mengembangkan peradaban. Di dalamnya terdapat sejumlah variabel yang saling kait mengait dengan sangat kompleks.

Karena itu untuk membacanya maka kita harus mengaitkan semua variabel itu agar bisa dibaca dengan lebih teliti dan benar. Variabel pertama adalah manusia, sebagai variabel terpenting dalam konteks memahami kota. Sebab ada tidaknya hidup, bergerak tidaknya sebuah kota itu sangat berkaitan dengan manusia yang hidup di kota-kota itu sendiri.

Variabel kedua adalah infrastruktur kota saat ini. Infrastruktur menjadi penting dalam konteks variabel perkotaan, karena dia menjadi bridging atau jembatan yang mempertemukan antara ide-ide tentang perubahan dan peradaban di kota yang di-support oleh ilmu pengetahuan dengan kemampuan mengeksekusi atau mengimplementasikannya di lapangan.

Kekuatan ilmu pengetahuan yang melatari seluruh infrastruktur dan konektivitas itulah yang kemudian menghasilkan wujud peradaban kota saat ini. Di sini juga kemudian kita penting memperhatikan variabel yang ketiga, yakni ilmu pengetahuan. Alasannya jelas dan ini sangat relevan untuk merespons apa yang dikatakan oleh Mas Menteri mengenai learning loss.

Learning loss itu berarti kita akan menemukan satu masa, di mana entitas belajar masyarakat Indonesia tidak mendapatkan asupan ilmu pengetahuan yang cukup pada masa tertentu. Sehingga ini tentu memberikan pengaruh kepada masa depan kota itu sendiri.

Bagaimana tidak. Kota akan disanggakan pada pundak dan bahu generasi yang sempat terputus karena mereka mengalami learning loss. Sehingga keterputusan ini tentu akan memberikan dampak signifikan pada kota itu sendiri di masa nanti. Dengan kata lain, kota yang sempat terputus ilmu pengetahuannya tentu akan mengalami juga cedera perjalanan peradabannya.

Maka, apa solusi yang bisa ditawarkan untuk mempertemukan antara krisis ilmu pengetahuan akibat fakta learning loss yang saat ini terjadi?

Untuk mengurangi dampak negatif dari learning loss ini diperlukan langkah-langkah berani dan kurang biasa. Misalnya, pemerintah membuat satu proyek khusus, misalnya satu provinsi satu program, yang tentu saja memerlukan curahan sumber daya yang lebih besar dari biasanya untuk mencoba menemukan sisi paling mendasar dalam konteks learning loss itu sendiri.

Kedua, adalah dengan penuh keberanian pemerintah memang harus membuat kebijakan untuk menyediakan sumber daya yang kapasitasnya untuk mengatasi ini dalam bentuk mengubah kebijakan, misalnya menetapkan PTM 100% pada beberapa sekolah di Indonesia, meski dengan aturan yang sangat ketat. Atau mungkin kita harus mengubah seluruh tata kelola sistem pendidikan kita dengan model yang benar-benar baru segalanya.

Jika pilihan-pilihan tersebut dilakukan, maka ancaman akan kota masa depan yang akan dihuni oleh kaum muda saat ini, bisa berkurang. Kota di mana peradaban manusia disemai dengan indah, hanya bisa terjadi karena hanya di kota, sekolah-sekolah, kampus-kampus, kantor-kantor dan bahkan manusia-manusia unggul tinggal dan berkarya.

Dr. Tantan Hermansah, pengampu MK Sosiologi Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan Anggota Komisi Infokom MUI Pusat

Jumat, 29 Oktober 2021 14:30 WIB, selengkapnya:

https://rm.id/baca-berita/nasional/97433/learning-loss-dan-masa-depan-kota

Tinggalkan Balasan