Generasi AI

Jika kita membaca penjelasan tentang fase-fase atau penamaan terhadap sebuah entitas generasi, maka setiap penamaan dibangun menggunakan perspektif momentum atau peristiwa khas nan unik yang melekat kepada generasi tersebut.

Sebagai contoh: generasi baby Boomer adalah generasi tua dari generasi yang ada pada saat ini, yang lahir di masa ketika masih perang fisik atau sesaat sesudahnya. Momentum perang yang banyak merenggut manusia dewasa, meyebabkan ledakan kelahiran mereka begitu signifikan. Setelah itu muncul generasi X, yang diperkirakan lahir antara 1965 sampai sebelum tahun 80-an (sebagian menyebutkannya sampai tahun 1976), di mana mereka diberikan karakteristik sebagai generasi yang hidup mengalami peralihan teknologi, sehingga cenderung mandiri dan bekerja keras, meski kadang juga skeptis terhadap otoritas dan ragam kesepakatan.

Setelah generasi X, lalu muncul Generasi Y. Generasi ini kadang disebut sebagai Millennials, di mana mereka tumbuh pada era internet dan teknologi digital yang sedang mencari bentuk dan berkembang. Secara umum, sifat dari Generasi Y dikenal kreatif, fleksibel, suka dengan harmoni. Setelah generasi Y, lalu lahir Generasi Z. Diidentifikasi sebagai mereka yang lahir antara tahun 1997 sampai 2012. Generasi ini tumbuh pada era teknologisme komunikasi yang semakin mendominasi, seperti media sosial dan smartphone. Mereka karena hidup di ruang digital, maka tidak sedikit yang terhubung secara digital pula.

Sedangkan Generasi Alpha (Gen-A) merupakan  kelompok orang yang lahir setelah tahun 2012, sehingga masih anak-anak. Tetapi entitas ini tumbuh pada era teknologi yang lebih keren lagi, seperti kecerdasan buatan, augmented reality, dan virtual reality.

Jika kita perdalam, masing-masing generasi dinamai bukan berdasarkan tahun ketika mereka lahir, namun justru karena situasi sosial politik yang terjadi pada saat itu. Sebagai contoh generasi milenial yang sering disebut sebagai generasi migran digital, yang berbeda dengan mereka dengan generasi yang merupakan yang sering disebut sebagai digital native atau native digital pada generasi A.

Artikel ini akan mendiskusikan atau menawarkan penamaan baru pada generasi yang sudah ada, yang dinamai sebagai generasi artifisial intelijen atau generasi AI (biasa dilafadzkan: e-ai). Disebut demikian karena beberapa alasan yang sifatnya sosio-antropologis berikut:

Mereka hidup di masa kehadiran artifisial intelijen demikian besar dan memberikan manfaat serta memiliki fungsi sosial ekonomi yang kuat pada masyarakat. Contoh jika pada generasi X saja misalnya, jika seseorang mau melakukan kegiatan bepergian ke suatu tempat menggunakan pesawat, maka dia harus mendatangi travelagent untuk mencarikan kursi, menemukan pesawat, mencocokan jam dan akhirnya mendapatkan tiket.

Berbeda dengan generasi AI ini. Di mana mereka tidak lagi memerlukan semua hal itu, karena melalui gawai  yang dimiliknya, artifisial intelijen akan melayani dengan sangat mudah: kapan mau pergi, berapa harganya, jam berapa ingin pergi, bahkan berat barang yang boleh dibawa, serta jenis camilan atau makanan yang bisa dipesan. Semuanya bisa dilakukan dalam satu langkah. Hal ini terjadi karena AI yang menggawangi sistem tersebut sudah dengan sangat baik bisa melayani kebutuhan setiap subjek yang menggunakannya. Sehingga AI saat ini bukan hanya sudah menjadi kebutuhan tetapi bahkan sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat modern.  

Begitupun dengan kegiatan-kegiatan yang dulu demikian melibatkan banyak orang, sekarang mungkin cukup dilayani oleh satu server yang di dalam ada suatu program saja. Di mana dengan program itu server tersebut bukan hanya bisa melayani jumlah orang yang sangat banyak, tetapi juga jumlah dan variasi pesanan yang demikian beragam pun bisa dilayani dan ditangani dengan baik.

Generasi AI ini hidup pada zaman seperti seperti sekarang di mana beragam kemudahan dan efisiensi telah terjadi, bahkan menjadi budaya keseharian. Rambahannya itu, bahkan hari ini sudah sampai kepada tidak hanya pada kegiatan-kegiatan yang sifatnya pelayanan kebutuhan harian semata seperti: makan, minum, dan lain-lain, tetapi juga sudah merambah kepada hal-hal yang sifatnya peningkatan kapasitas dan ilmu pengetahuan. Banyak AI yang sekarang sudah bisa mendesain grafis, membuat narasi artikel, membangun argumen untuk menyiapkan debat, membuat script untuk suatu video, serta kegiatan-kegiatan lain yang dulu itu hanya bisa dilihat oleh manusia saja.

Apakah generasi bisa menduplikasi realitas melalui kecerdasan yang dimilikinya itu? Sebetulnya belum tentu juga. Sebab AI adalah produk budaya yang dikonstruksi oleh manusia menggunakan logika matematika dengan memasukkan informasi menjadi bit-bit yang kemudian melalui kode tertentu, setiap bit itu dipelajari dan kemudian dikoneksikan dengan bit lain sehingga menjadi suatu informasi. Dengan kemampuannya itu maka AI memiliki kemampuan untuk menjawab beragam pertanyaan dan permintaan dari penggunanya.

Namun demikian ada problem yang justru lebih substantif. Di mana AI kebanyakan dikonstruksi oleh para pembuatnya dengan pendekatan subjektif mereka. Hal ini terbukti misalnya, salah satu isu yang sekarang lagi populer (contoh keengganak punya anak, dan sebagainya) AI membuktikan bahwa memiliki ideologi tertentu. Tentu saja ideologi ini lahir dan hadir dari para pembuatnya, meski mereka mendesainnya demikian rupa. Sehingga ketika ada inputan informasi yang meskipun inputan itu diwarnai oleh ideologi tertentu, namun oleh AI akan diubah sesuai dengan konstruksi dan struktur sang pembuat sendiri.

Lalu apakah dengan konstruksi begitu ada potensi masalah di kemudian hari? Tentu saja ada, terutama bagi yang sekarang manfaatkan kehidupan menggunakan AI. Karena interaksi yang kuat, dan AI itu pro kepada suatu kelompok atau pemikiran tertentu, maka pengguna dipastikan akan terpengaruh. Apalagi jika AI ini kemudian menjadi mitra belajar dari generasi sekarang. Maka bisa jadi mereka yang belajar bersama setiap hari itu akan terpapar dari ideologi si pembuat AI. Maka dari itulah siapapun, terutama orang tua dan pendidik perlu dibekali spirit nilai dan perspektif kemanusiaan yang kuat agar sedikitnya tidak terganggu.   Generasi AI adalah keniscayaan. Sehingga kita tidak perlu menolaknya, namun justru mengoptimalkannya untuk menambang manfaat yang sebesar-besarnya bagi penyiapan generasi pasca AI nanti.

Tinggalkan Balasan