Berita tentang tutupnya beberapa pusat perbelanjaan yang biasa diakses masyarakat banyak tentu saja harus dicermati dengan baik dan tepat. Karena pusat perbelanjaan di Indonesia, selain menjadi institusi tempat banyak orang menggantungkan hidupnya untuk bekerja dan berusaha, mal juga telah menjadi ruang publik, di mana masyarakat berinteraksi, melepas lelah, berekreasi, dan hal lainnya di tempat tersebut.
Bahwa pandemi Covid-19 telah memukul sektor ini memang tidak bisa dibantah. Namun ternyata ada banyak pusat perbelanjaan yang sudah mengalami declining jauh sebelum masa wabah. Maka dari sini muncul pertanyaan apa yang menyebabkan banyak pusat perbelanjaannya itu mengalami penurunan pengunjung; dan bagaimana sebenarnya masa depan pusat perbelanjaan tersebut dalam ranah sosiologi ekonomi di Indonesia.
Harus diakui seperti sudah disinggung di atas bahwa pusat perbelanjaan di Indonesia merupakan salah satu ruang publik yang kemudian dijadikan destinasi sosial budaya masyarakat. Maka kemudian para pemilik modal berlomba-lomba untuk memanfaatkan fenomena tersebut untuk menambang keuntungan dengan berbagai modus. Misalnya dengan membangun pusat pusat belanja yang lengkap, serta menyewakan sebagian ruangannya kepada pihak lain untuk ikut berjualan dan memanfaatkan banyaknya pengunjung yang datang ke tempat tersebut.
Mungkin Indonesia merupakan satu di antara negara yang mengalami shifting public space yang radikal. Karena public space idealnya disiapkan oleh negara bukan oleh swasta. Sehingga kemudian para pebisnis berlomba-lomba mendirikan berbagai pusat perbelanjaan dengan beragam gimmick untuk memancing pengunjung.
Para pengusaha itu sadar bahwa karakter para pembeli di Indonesia itu sangat khusus sehingga memerlukan pendekatan yang spesifik pula. Maka wajar jika ada pusat perbelanjaan yang kemudian sekaligus menjadi tempat wisata keluarga.
Dalam konteks sosiologi ekonomi, mal adalah institusi sosial yang di dalamnya merupakan wujud dari lembaga-lembaga tempat masyarakat menerapkan berbagai pranata sosialnya. Namun mal juga merupakan ada presentasi dari institusi simbolik yang dalam prosesnya tidak selalu menyajikan realitas yang sebenarnya. Jika meminjam istilah yang dikemukakan oleh filsuf Boudieu (1930 – sekarang) pada tahun 1977, maka mal memang telah memberikan kontribusi kepada terlembagakannya ekspresi simbolis berikut pengakuan eksistensinya. Bahkan bisa dikatakan bahwa di dalam mal proses-proses produksi yang terjadi lebih banyak merupakan proses simbolik ketimbang substansi yang nyata.
Akibatnya nilai tambah pada barang barang produksi lebih banyak dikerek oleh hal hal yang bersifat simbolis dan abstrak seperti status sosial, eksistensi diri, dan sejumlah penamaan yang tidak nyata tetapi seperti ada. Hal ini bisa dilihat pada mereka yang rutin berkunjung ke mal, lebih sebagai upaya untuk melakukan integrasi sosial, ketimbang sekedar memenuhi kebutuhan yang real dan nyata. Dengan bahasa lain pergi ke sebuah pusat perbelanjaan hanya untuk memenuhi syahwat gengsi dan ekspresi pamer, ketimbang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Maka dengan demikian kita bisa memahami data yang dikemukakan oleh Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), bahwa ada 197 pusat perbelanjaan atau mal yang harus menutup sebagian besar aktivitasnya, mulai dari ujung Sumatera Utara hingga Sulawesi selama pandemi. Data ini semakin mengkonfirmasi bahwa kehadiran mal di tengah masyarakat lebih karena persoalan persoalan yang justru tidak berkaitan langsung dengan kebutuhan dasar manusia, tetapi lebih kepada pemenuhan kebutuhan sekunder saja.
Argumen bahwa pemenuhan kebutuhan Sekunder jauh lebih besar ketimbang kebutuhan primer pada institusi mal, semakin terkonfirmasi dengan adanya Pandemi, seperti data yang dikemukakan di atas. Sebab jika saat pusat perbelanjaan tersebut merupakan bagian dari kebutuhan primer maka masyarakat di mana pun akan memaksakan diri untuk mendatangi mengunjungi dan belanja di tempat tersebut. Namun ternyata fakta menunjukkan sebaliknya bahwa masyarakat kemudian melakukan peralihan secara signifikan pada perilaku memenuhi kebutuhan primer dari pusat perbelanjaan besar mencari masuk ke tempat tempat yang jauh lebih kecil dan lebih dekat dengan tempat tinggal.
Realitas ini hanya terjadi jika masyarakat semakin rasional dan kemudian mempertimbangkan aspek aspek yang lebih substantif, yakni memenuhi kebutuhan dasarnya ketimbang sekedar memenuhi syahwat ekspresinya. Apalagi disisi lain ruang untuk mengekspresikan kebutuhan eksistensinya itu bisa dilekatkan pada media baru yang saat ini sangat digandrungi oleh sebagian besar masyarakat di dunia yakni sosial media.
Jadi masyarakat sekarang jika ingin eksis tidak perlu lagi melakukan kunjungan kunjungan konvensional seperti ke pusat perbelanjaan. Namun cukup melakukan belanja pada marketplace yang tersedia pada beragam aplikasi yang sudah terinstal pada gawainya. Hasil dari belanja itu kemudian dipamerkannya di sosial media mereka sendiri.
Apa yang dipamerkan pada ruang media sosial, saat ini bahkan bisa mendatangkan benefit yang besar bagi pelakunya. Dari keuntungan tersebut, seseorang bisa mengakumulasi kapitalnya untuk dijadikan sebagai keuntungan material seperti kekayaan.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah pusat perbelanjaan atau mal akan kembali berjaya kembali pasca pandemi? Tentu saja pertanyaan ini akan terjawab jika syarat yang diajukan pada pertanyaan ini, yakni virus covid-19 sudah bisa diatasi. Akan tetapi jika dibaca dari analisis di atas ada beberapa gejala yang patut dipertimbangkan untuk mempertajam analisis atas fenomena pusat perbelanjaan ini.
Pertama, tren pergi ke mal tidak akan lagi sebesar dulu. Akibatnya akan banyak institusi mal ini melakukan konsolidasi organisasi dan akhirnya menyisakan mal yang besar dan memiliki modal kuat untuk tetap menjalankan sistem bisnisnya di tengah masyarakat;
Kedua, akan terjadi perubahan pada institusi mal itu sendiri, sebagai respons atas perilaku konsumen, yang tidak lagi tradisional. Misalnya mal yang menawarkan kelengkapan sarana untuk kenyamanan pengunjung akan jauh lebih menjadi magnet ketimbang mal yang hanya menawarkan fasilitas yang standar;
Ketiga, mal yang memastikan bahwa para pengunjungnya akan tetap sehat selama dan sesudah di mal, pasti akan jauh lebih diminati, ketimbang mal yang abai dengan persoalan itu, meski mungkin menyajikan harga yang penuh diskon; Keempat, mungkin di sinilah meredupnya barang-barang simbolik yang dijual pada institusi mal itu, karena mengalami perubahan dan peralihan institusional dan perilaku konsumennya. Perubahan yang sifatnya yang institusional adalah berpindahnya para pelaku atau pengusaha barang-barang simbolik itu dari tempat seperti mal ke tempat lain seperti di marketplace atau di komunitas. Begitu juga perilaku konsumen yang akan merasa efektif ketika perlu untuk memenuhi kebutuhan dengan cara mengubah pola dan sistem belanja dari yang tradisional ke digital.
Telah terbbit:
Dr. Tantan Hermansah, pengampu MK Sosiologi Perkotaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Anggota Komisi Infokom MUI Pusat.