Memberdayakan Taman Kota Sebagai Ruang Publik Inklusif

Ada yang cukup menggembirakan kita semua ketika banyak Pemda melakukan revitalisasi taman-taman kota. Bahkan beberapa merevitalisasi dengan serius sehingga taman-taman kota mengalami transformasi signifikan dari berbagai aspek: desain, tata kelola, dan manfaat bagi masyarakat.

Taman-taman kota saat ini telah menjadi salah satu destinasi yang accessible bagi warga untuk melakukan beragam aktivitas. Selain gratis, taman-taman kota juga menerapkan berbagai hal yang memungkinkan warga semakin menikmatinya. Bahkan, selain toilet dan tempat ibadah, beberapa taman kota menyediakan koneksi internet, instagramable, dan dekat dengan tempat makan.

Jika melihat bagaimana jenis dan kuantitas kunjungan ke taman-taman kota tersebut, sudah waktunya para pihak meningkatkan kualitas dari taman kota tersebut. Dari hanya untuk mengistirahatkan pikiran, rilek dan santai, tidak ada salahnya arena tersebut dijadikan medium untuk melakukan kampanye dan edukasi. Mengingat banyak dan beragamnya pengunjung taman, maka agenda atau program kampanye dan edukasi untuk isu-isu tertentu menjadi sangat strategis.

Salah satu isu yang strategis terus dikampanyekan adalah tata cara dan perilaku hidup inklusif. Selama ini banyak kampanye untuk isu ini hanya fokus pada kelompok-kelompok dan momen tertentu seperti di sekolah, pengajian/ majlis-majlis ilmu, atau forum-forum khusus yang didesain untuk kegiatan itu. Tentu saja, selain berbagai forum di atas, menjadikan taman-taman kota sebagai salah satu arena untuk melakukan edukasi inklusif sangat menarik. Apalagi jika desain acaranya pun tidak mengabaikan aspek-aspek kehadiran orang di taman: rileks, santai, dan gembira.

Di Jawa Barat (dan tentu juga di kota-kota lain) kesadaran mengoptimalkan taman sudah mulai dilakukan. Kampanye sayang lingkungan, manajemen sampah, gaya hidup sehat, dan sebagainya dikemas dengan menarik. Namun, sependek kunjungan saya ke berbagai taman tersebut, kampanya yang sifatnya mendidik hidup inklusif, melawan bahaya radikalisme, dan sebagainya, hampir belum pernah ditemui.

Padahal jika ditelisik lebih jauh, taman-taman kota dengan sendirinya sudah mencerminkan bagaimana inklusifitas dalam hidup bukan hanya anjuran, tetapi kebutuhan. Kita bisa mengajak banyak orang di taman tersebur, yang pasti sangat beragam latar belakangnya, untuk berbincang, berbagi, sampai memberikan pandangan tentang isu-isu yang kita lemparkan kepada mereka.

Sebagai tempat yang sepenuhnya mengusung agenda dan program inklusif, maka taman-taman ini bisa berperan lebih. Tidak hanya sebagai obyek, tetapi medium untuk menularkan semangat kebangsaan, kebhinekaan, dan penghargaan atas keragaman. Jadi, pasca revitalisasi fisik yang nilai anggarannya cukup besar itu, nilai tambah taman akan semakin kuat dan luas ketika diisi lagi dengan program-program pemberdayaan masyarakat, khususnya yang mengusung agenda-agenda inklusif.

Mengapa merawat nilai-nilai inklusif ini sangat penting, karena Indonesia, masih dihantui oleh berbagai cara pandang dan sikap yang mengancam demokrasi dan semangat keindonesiaan itu sendiri. Cara pandang tunggal dan memaksa ini, jelas tidak bisa ditolelir jika kita mengharapkan keberlajutan Indonesia.

Caranya, pemda yang membuat atau merevitalisasi taman-taman tersebut bisa berkolaborasi dengan berbagai pihak yang concern pada isu merawat dan memperkuat semangat inklusif untuk membuat berbagai event, program, dan berbagai kegiatan di taman-taman tersebut. Diskusi sersan (serius tapi santai) bisa dilaksanakan sambil menikmati orang-orang yang lalu lalang. Oleh karena itu, melalui keindahan taman, interaksi antar berbagai kelompok, beragam indahnya keberbedaan itu bisa kita tranformasikan dalam semangat kehidupan berbangsa dan bernegara.

Oleh: Tantan Hermansah
(Pengajar Sosiologi Perkotaan, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)
(Ketua Program S2 KPI; Sekjen P2MI)

(Dimuat di koran RM)

Tinggalkan Balasan