Ondel-Ondel di Perkotaan

Pernahkah kita dalam perjalanan melihat sekelompok orang, biasanya 3-4 orang, berjalan beriringan sambil salah satunya memegang pemutar musik dan yang lain memegang kecrekan, serta tentu saja ada Ondel-ondel?

Bagaimana kita memotret fenomena Ondel-ondel ini dan bagaimana kita membacanya dalam konteks permasalahan perkotaan? Artikel sederhana ini ingin memotret pesan simbolik yang ingin disampaikan atraksi Ondel-ondel kepada kita semua.

Menurut Wikipedia, “Ondel-ondel yang berupa boneka besar itu tingginya sekitar 2,5 meter dengan garis tengah ± 80 cm, dibuat dari anyaman bambu yang disiapkan begitu rupa sehingga mudah dipikul dari dalamnya.”

“Bagian wajah berupa topeng atau kedok, dengan rambut kepala dibuat dari ijuk. Wajah Ondel-ondel laki-laki biasanya dicat dengan warna merah, sedangkan yang perempuan warna putih.”

Penampilan Ondel-ondel jika kita bedah menggunakan pendekatan sosiologis, maka pertama-tama kita harus mengenali dulu apa dan siapa karakter-karakter dalam sistem sosialnya.

Ekosistem Ondel-ondel ini yang pertama sistemnya tentu memerlukan, pertama, infrastruktur yang dalam hal ini terdiri dari boneka Ondel-ondel. Kedua, musik yang ramai dan berisik serta menjadi peminatan kalangan menengah bawah. Yang ketiga, alat kecrek untuk menampung donasi.

Sedangkan dari sisi karakter pemain, ada orang di balik Ondel-ondel. Lalu yang memegang kecrek, dan yang ketiga adalah pemegang alat pemutar musik.

Rombongan ini berjalan menelusuri gang, jalanan di perkampungan pinggiran dan lain-lain, sambil memberisiki masyarakat untuk menunjukkan kehadiran mereka. Kemudian, Si Ondel-ondel dipertontonkan dengan gerakan yang hanya itu-itu saja.

Hal ini mungkin karena memang tidak ada panduan gerakan baku. Karena yang terpenting bagi mereka adalah tampil, terlihat dan terakui. Bukan untuk membangun sensasi sebagaimana umumnya pertunjukan.

Mereka bukan mau menghibur. Mereka hanya sekadar mengetahui bahwa dengan cara ini bisa melenakan dan memberisiki publik, bahwa mereka sedang bekerja, dan karena itu membutuhkan partisipasi masyarakat dalam bentuk donasi.

Musik yang dipilih tidak pernah musik yang biasanya dikonsumsi oleh kalangan menengah atas, karena itu jelas tidak perlu. Musik yang dipilih adalah musik yang biasa menjadi konsumsi kelas menengah bawah. Karena jumlah mereka yang mayoritas dari sisi jiwa, namun minoritas dari sisi kekayaan.

Karena memang mungkin kebanyakan dari para designer pertunjukan ini tidak dimaksudkan untuk kalangan yang melek kondisi lingkungan, tetapi lebih untuk meninabobokan orang-orang bawah.

Mungkin mereka punya persepsi, bahwa selain mereka adalah orang bawah, jadi mereka tidak perlu menampilkan permainan Ondel-ondel yang bagus dan memesona, berkarakter serta didukung kualitas musik yang apik-ciamik dan keren.

Bisa jadi sebetulnya para pemain Ondel-ondel sedang menyindir kita. Mereka ingin menunjukkan, bahwa apa yang terjadi saat ini seperti apa yang mereka tampilkan itu. Di mana mereka yang sering dianggap berpengaruh dan kerap tampil di publik, adalah mereka yang memang tidak memiliki pikiran skenario sendiri dalam menentukan kebijakan. Persis seperti Ondel-ondel itu. Sebab ada sosok di baliknya yang kita tidak tahu siapa.

Tapi yang pasti, kalaulah ondel-ondel ini bisa jadi adalah kita semua. Kita yang sedang bergoyang sporadis dengan goyangan yang nyaris mirip dan direplikasi terus-menerus. Kita yang bergoyang, tapi goyangnya itu-itu saja; kita berisik, tapi stuck pada berisik yang itu-itu juga.

Kemudian yang selanjutnya, agar publik mengetahui, bahwa mereka “seperti bekerja”, meskipun dengan gerakan yang itu-itu saja, tanpa harus memeras akal pikiran yang luar biasa, maka musik berisik perlu dimainkan.

Musik berisik dengan koor yang sama adalah alat efektif untuk menjustifikasi pikiran pendek masyarakat. Koor ini menggema dalam ruang-ruang media; diorkestrasi dengan rapih pada berbagai kanal, lalu mengklaim sebagai suara publik. Hal ini dilakukan supaya masyarakat tidak perlu melek mata (dan pikiran), bahwa hidup kita ada yang memainkannya. Yang penting, tutup mata dan rasakan goyangannya saja.

Sementara itu, supaya masyarakat terlibat dan terlihat bahwa ada keberpihakan, maka ada seseorang yang keliling meminta donasi atau kontribusi. Kontribusi tidak memaksa ini, memang tidak penting donasinya berapa. Tetapi ketika masyarakat ikut berdonasi, maka itu dianggap sebagai kontribusi. Ketika kontribusi itu ada, maka mereka akan melegitimasi bahwa dukungan itu masih kuat.

Ondel-ondel yang sekarang berjalan menyelusuri jalanan adalah kritik tajam yang mencoba mengingatkan kita semua, bahwa hidup bukan hanya sekadar bergoyang. Karena jika goyang saja, ondel-ondel yang merupakan boneka pun bisa bergoyang.

Hidup juga bukan sekadar berisik. Tetapi hidup harus memberikan makna. Hidup juga bukan sekadar telah berpartisipasi, tetapi harus kritis bahwa jika ingin berubah, harus ada kebersamaan.

Jika sebelumnya kita pernah diharubiru dengan pertarungan ‘kekitaan’, seperti: “Pancasila adalah kita”. Maka jangan-jangan kita adalah Ondel-ondel. 

Dr. Tantan Hermansah, pengampu MK Sosiologi Perkotaan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan Anggota Komisi Infokom MUI Pusat

Sabtu, 6 Nopember 2021, selengkapnya:

https://rm.id/baca-berita/nasional/98550/ondeondel-di-perkotaan

Tinggalkan Balasan