Pada banyak negara, ketika ada satu jalan raya yang bersentuhan dengan banyak ruang publik seperti kawasan perumahan, kawasan perniagaan, maupun kawasan pendidikan, maka sarana vital kedua setelah jalan raya itu sendiri adalah trotoar. Fungsionalitas trotoar sesungguhnya cukup banyak: arsitektur, sosial, ekonomi, dan bahkan budaya. Bisa dikatakan, trotoar adalah “teras depan peradaban kota”.
Namun ternyata jika kita melihat pada banyak kota di Indonesia, fungsi-fungsi yang disebutkan di atas itu banyak yang hilang atau berganti. Banyak sekali trotoar, yang padahal itu fasilitas milik publik, justru diakuisisi karena memiliki fungsi ekonomi yang besar. Oleh sebagian orang trotoar dijadikan ruang untuk mereka melakukan sejumlah usaha. Mulai dari meletakkan tiang-tiang penyangga kabel-kabel; pot tanaman bunga dengan logo-logo, dan tidak sedikit yang memang merupakan aktivitas bisnis langsung seperti jualan.
Sebagai publik, kita tidak mendapat penjelasan, apakah usahanya itu dengan menganeksasi ruang yang bernama trotoar itu berbayar atau tidak. Jika membayar, kepada siapa, dan mengapa hal ini bisa terjadi.
Realitas ini jelas mengganggu fungsi dari trotoar yang sejatinya untuk membuat orang memiliki aksesibilitas pada suatu tempat, atau melakukan mobilitas antar titik. Akibat ketika banyak ketika trotoar tidak memiliki atau keluar dari fungsi utamanya, akhirnya orang-orang malas berjalan kaki. Karena ketika dia berjalan kaki pun, sering harus turun dari trotoar dan masuk ke Jalan raya karena trotoarnya yang terhalangi.
Namun jika kita melihat Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 03/Prt/M/2014 /2011 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan, pada Pasal 13 dikatakan “Pemanfaatan prasarana jaringan pejalan kaki hanya diperkenankan untuk pemanfaatan fungsi sosial dan ekologis yang berupa aktivitas bersepeda, interaksi sosial, kegiatan usaha kecil formal, aktivitas pameran di ruang terbuka, jalur hijau, dan sarana pejalan kaki.”
Akibat trotoar seperti ini, jelas orang akan malas melakukan perjalanan antar titik dengan berjalan kaki. Dampaknya dalam jarak yang pendek pun, masyarakat tidak mengoptimalkan jalan kaki, tetapi menggunakan kendaraan, minimal sepeda motor. Sehingga menjadi masuk akal jika akhirnya banyak orang berpindah moda dengan menggunakan kendaraan bermotor. Jadi jika Pemerintah menganggap bahwa membengkaknya subsidi BBM karena perilaku masyarakat yang tidak hemat, karena memang masalah yang melatarinya tidak tunggal.
Contoh sederhana pada kantor yang merupakan sebuah lembaga pendidikan tinggi tempat saya bekerja misalnya. Banyak orang yang cuma mau pergi ke depan dekat pintu gerbang kantor saja mereka harus menggunakan kendaraan bermotor. Padahal jaraknya tidak terlalu jauh. Alhasil mereka akhirnya jadi membutuhkan sarana transportasi. Termasuk mungkin para mahasiswa dan dosen yang tinggal di sekitar kampus pun lebih senang membawa kendaraan ke kantornya. Meski di dalam kampus tersedia sarana buat jalan kaki walau belum ideal.
Contoh yang bisa kita dapatkan dengan mudah adalah adanya trotoar tapi kemudian dia terputus pada titik lain. Entah karena terputus oleh adanya yang menganeksasi, atau terputus karena memang trotoarnya tertutup jalan dan sebagainya. Sehingga kadang banyak trotoar bukan hanya tidak pantas secara estetika, tetapi juga kalau misalnya difungsikan untuk jalan kaki terlalu banyak hambatan.
Maka dari itu, persoalan tidak biasa jalan kaki jangan hanya dilihat apa yang terjadi sekarang saja. Selain bahwa meninggalkan budaya jalan kaki merupakan buah dari industrialisasi yang antara lain meningkatnya jumlah produksi kendaraan bermotor setiap tahunnya. Beralihnya budaya jalan kaki karena memang trotoar kita tidak didesain secara serius untuk digunakan sebagai area jalan kaki.
Maka bisa disimpulkan bahwa untuk konteks Indonesia, persoalan jalan pada trotoar ini begitu rumit dan kompleks. Sehingga untuk menyelesaikannya, yakni mengembalikan fungsi utama trotoar dan membudayakan kembali jalan kaki, memerlukan kekuatan kekuasaan.
Pertama, Pemerintah Kota atau Pemerintah Kabupaten harus membuat planning bagaimana menghubungkan trotoar yang ada dalam lingkup kekuasaannya terhubung dengan fasilitas-fasilitas maupun sarana-sarana penunjang kehidupan banyak orang. Contohnya trotoar itu menghubungkan seluruh kantor di mana orang banyak berkantor di situ; juga menghubungkan seluruh pusat perniagaan atau tempat-tempat usaha banyak orang. Di mana kalau orang-orang mau berbelanja berganti tempat mereka tidak perlu mengambil kendaraannya dahulu, tetapi cukup berjalan menyusuri trotoar tersebut.
Kedua, kenyamanan trotoar itu perlu dipastikan. Jangan sampai ketika aksesibilitasnya mulai difungsikan kembali, atau dikembalikan kepada hakikat dari keadaan dan keberadaan trotoar itu sendiri, justru pengguna merasakan tidak nyaman.
Maka segala hambatan mulai dari pot tanaman yang mengganggu, kabel dan tiang-tiang, PJU, sampai ketinggian dan kualitas dari pijakan juga diperhatikan, seperti tidak licin dan sebagainya. Secara ringkas, kenyamanan itu akan hadir jika trotoar desainnya fungsional.
Ketiga, keamanannya. Keamanan berjalan kaki di trotoar selain pengguna bisa aman dari kendaraan bermotor yang tidak bisa naik ke trotoar, juga dari gangguan kejahatan dan sebagainya. Hal ini dikarenakan di beberapa tempat sudah ada yang membuat trotoar dengan sangat baik bahkan diberi kursi buat duduk. Kursi terbuat dari besi dan plastik tahan cuaca yang kemudian di baut ke jalanan itu, tentu merupakan upaya yang bagus untuk memastikan bahwa trotoar itu nyaman digunakan, termasuk jika sekadar dipakai untuk istirahat sesaat atau ketika menunggu seseorang.
Keempat, edukasi tiada henti. Ini merupakan agenda besar jika ingin mengembalikan dua entitas agar kembali saling berinteraksi. Entitas pertama tentu pengguna trotoar dan entitas kedua adalah trotoar dengan segala hal yang berkaitan dengannya. Mulai dari kebijakan pemerintah, sanksi bagi mereka yang melakukan pemanfaatan trotoar bukan untuk peruntukannya, serta memberikan teladan untuk menggunakan trotoar kembali ke semula.
Hal ini hanya mungkin jika semua pihak diedukasi dengan cermat dan pas. Sebab bisa jadi, mereka yang sekarang lebih banyak menggunakan kendaraan bermotor itu, sebenarnya tidak mengetahui bahwa jika mau ke destinasi yang dekat, ada trotoar yang bisa difungsikan untuk menuju ke sana.
Dr. Tantan Hermansah
Pengajar Sosiologi Perkotaan dan Ketua Prodi Magister Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta
https://rm.id/baca-berita/megapolitan/140970/trotoar-bukan-untuk-jalan-kaki