Warga Kota dan Budaya Klik

Mungkin ke depan kita akan menghadapi dunia yang didikte dengan sebuah ketukan jemari tangan pada gawai. Meski hanya satu ketuk, tapi tiba-tiba banyak orang sangat menginginkan dan mendambakannya.

Inilah dunia di mana rating akan menjadi alat ukur dalam semua ruang pergaulan dan merangking hubungan-hubungan. Dunia yang akhirnya menampilkan seluruh kepalsuannya dengan total.

Betapa tidak. Seorang pelayan jasa transportasi misalnya, akan sangat mendambakan klik tersebut. Karena hal itu berkaitan dengan keberlangsungan dan keberlanjutan kehidupannya. Maka tidak akan mengherankan lagi jika kita, setelah mendapatkan pelayanan dari seseorang, ujungnya akan mendapatkan sapaan: “Tolong kasih bintang lima, ya”, katanya, dengan wajah yang sangat berharap.

Lalu apakah memang kita benar-benar mendapatkan pelayanan bintang lima, atau hanya karena wajah memelas yang ditampilkannya, akhirnya kita memberikan rating bintang lima.? Tentu hanya kita yang tahu.

Tidak mustahil, ke depan, tidak hanya pemberi jasa yang harus diberikan penilaian. Mereka yang kategori kelompok konsumen atau penerima jasa dari satu pelayanan tertentu pun akan mendapatkan rating dari pemberi jasanya.

Demikianlah dalam skala mikro, kekuasaan menjelma dalam berbagai lini kehidupan masyarakat. Dan sekecil apapun kekuasaan itu, ternyata bisa diagregasi dan kemudian akan memberikan dampak besar kepada seseorang.

Pada 1998, Bourdieu, menulis sebuah buku berjudul “On Television”. Sebuah analisis tentang kehidupan manusia yang terbangun karena sebuah temuan: televisi. Di mana, antara lain ia mengatakan: “layar televisi saat ini menjadi semacam cermin bagi Narcissus, ruang bagi eksibisionisme narsistik”.

Betapa banyak di antara kita yang dibangun, dibentuk, ditumbuhkan oleh televisi. Benda yang tadinya merupakan produk kreatif kita untuk “hanya” memanjakan tontonan, kemudian berubah menjadi alat yang akhirnya membentuk kebudayaan.

Dari televisi, banyak dari kita yang belajar, mendapatkan informasi, lalu mendapatkan perspektif tentang idola, dan kemudian melakukan reifikasi atas apa yang terlihat. Bahkan, tidak sedikit melalui gambar yang ditayangkan pada televisi itu juga, kita kemudian menautkan segumpal emosi. Seakan-akan kita terlibat dan menjadi bagian dari tayangan.

Di sini, televisi seakan-akan punya jiwa yang kehadiran tayangannya layak ditunggu. Sapaan umum dari pengisi acara di sana, seakan-akan merupakan sapaan personal, yang kemudian menyebabkan aspek emosinya makin terikat.

Para pemirsa tidak terlalu peduli jika apa yang dilakukan oleh pengisi acara, pemilik stasiun TV, maupun setiap kru yang bertugas dalam menyukseskan acara, merupakan upaya-upaya terukur dan terencana dari apa yang disebut sebagai kapitalisme televisi itu sendiri. Sebab bagi penonton, yang terpenting adalah bahwa dahaga hiburan mereka terpenuhi, walau harus menunggu jam tayang yang terbatas dan berwaktu.

Namun seperti diketahui bersama, kehausan kita akan hiburan bukanlah puncak dari semua kesenangan lahiriah manusia. Bahkan bisa dikatakan justru dalam kesenangan itu, yang ada adalah kehausan yang tidak berkesudahan. Seperti seseorang yang merasa haus ketika di tengah lautan, lalu ia meminum air laut sebagai penawar. Alih-alih kehausan itu akan hilang, yang terjadi malah rasa hausnya semakin berlipat.

Demikian pula industri hiburan berbasis visual seperti televisi. Penonton, yang katanya raja itu, akan mencari model tayangan yang terasa memuaskan yang tidak ada ujung dan akhirnya.

Di sini kemudian kita melihat bahwa industri tayangan kemudian mengubah pola dan durasinya. Dari yang tadinya mingguan, menjadi harian; dari yang tadinya tayang jam-jaman saja, berubah menjadi tayang berjam-jam sekaligus.

Penonton pun seperti terpuaskan. Di studio, penonton berjoget, tertawa, gembira dengan durasi yang lama. Di rumah, pemirsa menyaksikan kegembiraan itu dan seperti ikut larut. Di kantor-kantor stasiun tv, para investor, petinggi tv dan para direktur tertawa lega karena jualan mereka laku keras, yang berarti iklan akan mengalir deras.

Padahal setiap puncak selalu ada ujungnya. Dalam industri tayangan, durasi lama dan partisipatif itu adalah puncak. Karena di ruang sebelah, industri hiburan yang tiada akhir dan tiada habis, justru hadir langsung di kamar-kamar, pada gawai yang bisa dipegang dan dibawa ke mana pun, serta bisa disetel tanpa menunggu jam siaran.

Terlebih lagi, selain tontonannya lebih demokratis, sistem produksinya pun tidak hanya bisa diproduksi oleh talenta tv, tetapi oleh semua orang. Dari kualitas yang jelek karena diproduksi seadanya, sampai yang dibuat dengan kualitas seperti studio profesional. Semua ada dan bisa tayang.

Di ruang-ruang itulah kanal-kanal hiburan-hiburan menyala, mengisi ruang-ruang kesepian manusia yang haus hiburan, sambil berharap ada keajaiban.

Sementara di sana, stasiun tv mulai kalang kabut. Di mana produksi tayangannya mulai dijauhi para penonton militannya. Hal ini dikarenakan keterbatasan dari sistem industri televisi itu sendiri yang memang tidak bisa seperti tayangan YouTube atau kanal lain.

Di kanal baru ini, aspek partisipasi muncul dalam beragam ikon emosi yang merepresentasikan sesuatu: “Like” atau gambar jempol ke atas, “Subscribe” dan sebagainya menjadi kosa kata baru dalam ruang diskusi dan pergaulan.

Namun yang lebih dalam dari itu, budaya baru itu pun perlahan kemudian membentuk model-model relasi dan sistem komunikasi masyarakat. Bahkan dalam beberapa hal, budaya klik itu akhirnya membentuk struktur masyarakat itu sendiri. Sehingga tidak sedikit, demi klik “Like”, misalnya, seseorang siap melakukan banyak hal, bahkan ke taraf tindakan yang sangat unik, khas, bahkan ekstrim.

Telah terbit: https://rm.id/baca-berita/nasional/115477/warga-kota-dan-budaya-klik/4

Dr. Tantan Hermansah, pengampu MK Sosiologi Perkotaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Anggota Komisi Infokom MUI Pusat

Tinggalkan Balasan