KKN Sebagai Literasi Kepemimpinan Pemberdayaan

Setiap tahun, banyak kampus yang melakukan program kuliah kerja nyata atau akrab disebut sebagai KKN. Meski ada yang menggunakan istilah yang berbeda, seperti pengabdian kepada masyarakat oleh mahasiswa, namun substansi kegiatan ini relatif sama. KKN adalah bentuk nyata dari apa yang tercantum dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi pada bagian Pengabdian.

Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 20 ayat 2 dinyatakan: “Perguruan Tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat”. Adapun implementasinya, setiap perguruan tinggi diberikan kewenangan untuk “berijtihad” agar bisa menyesuaikan dengan kekhasannya.

Secara sosiologis, KKN memiliki beberapa tujuan strategis. Pertama, untuk mengenalkan realitas masyarakat yang sebenarnya kepada mahasiswa atau akademisi. Dengan mengenal realitas sebenarnya ini, akademisi dituntut untuk melakukan pengujian atau validasi berbagai teori yang selama ini didapatkan di kelas atau lab untuk didialogkan di lapangan.

Tujuan yang pertama ini tentu saja selain sangat mulia secara akademik, namun juga indah secara kemanusiaan. Bayangkan saja, ribuan mahasiswa yang turun dengan berbagai latar belakang keahlian dan skill, memungkinkan mengasah kecerdasan akademik yang selama ini memantul hanya dalam ruang kuliah, akan diasah, walau sebentar, di lapangan.

Di lapangan KKN ini, mereka sedemikian rupa harus “berjuang” pada ruang atau medium yang bernama masyarakat. Sementara kita mengetahui bahwa masyarakat berbeda dengan kelas, dengan lab, atau kampus sekalipun.

Masyarakat memiliki strata sosial, budaya, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan hal lain, yang memungkinkan semua itu akan menjadi “jamuan” kegiatan mahasiswa. Sehingga mahasiswa mengalami tempaan baru pada arena tersebut. Mereka akan dihadapkan pada kebaruan situasi sosial budaya, rekan atau partner, penyusunan silabus program lapangan, dan yang paling besar adalah entitas yang menjadi tujuan program ini. Maka, KKN menjadi medium cantik untuk mengasah ragam talenta dan keterampilan tersebut.

Sebagai mana sifat alamiahnya dunia akademik, maka KKN sejatinya tetap memiliki ciri khas akademik yang kuat. Di dalamnya tentu selain menerapkan etika dan prinsip keadilan, inklusif dan kesetaraan, serta kritis dan komunikatif, namun di sisi lain bahwa KKN merupakan upaya menjadikan diri dari insan akademis untuk berpijak pada kekuatan isu kemanusiaan, baik pada skala mikro, maupun skala meso dan makro.

Selanjutnya, dengan adanya KKN ini, maka mahasiswa akan mengetahui capaian-capaian utamanya, bukan sekadar menghabiskan jatah waktu di lapangan maupun melaksanakan program.

Program KKN ketika dikaitkan dengan realitas masyarakat, maka mahasiswa akan mengetahui apakah ada korelasi yang kuat antara pesatnya ilmu pengetahuan yang dipelajarinya di kelas bersama para dosen itu, dengan kemampuannya melakukan transformasi pada masyarakat.

Model kecakapan yang kedua ini tentu saja sangat diperlukan supaya kampus tidak seperti yang kadang disebutkan banyak orang sebagai “Menara Gading”. Sehingga dengan model ini para akademisi bukan hanya sekadar membuka diri pada masukan dari luar, tetapi juga mendiskusikannya, baik dengan kolega sesama pendamping KKN, praktik KKN, maupun dengan instansi lain yang berhubungan dengan masyarakat.

Dr. Tantan Hermansah,
Dosen Pemberdayaan Masyarakat dan Sekjen Asosiasi Pengembangan Masyarakat Islam se-Indonesia

https://rm.id/baca-berita/nasional/125596/catatan-dr-tantan-hermansah-kkn-sebagai-literasi-kepemimpinan-pemberdayaan/2

Tinggalkan Balasan