Hedon-isme

Jebakan gaya hidup hedon yang telah menyebabkan beberapa orang kehilangan jabatannya menarik untuk dikuliti lebih jauh. Ada yang dicopot dari jabatan menterengnya; ada yang diberhentikan sementara; ada yang sibuk “menangkis” serangan “netizen” karena upaya pengungkapannya; ada yang menghapus med-sos yang selama ini tempat mereka memamerkan gaya hedonnya itu, dan sebagainya.

Sebelum membahas lebih dalam mengenai gaya hidup tersebut, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu persoalan yang terkait dengan istilah yang semakin populer tersebut. 

Hedon berasal dari kata “hedone” yang memiliki arti kesenangan atau kenikmatan. Hedone sebenarnya merupakan kata netral, karena kata ini tidak memiliki tensi negatif. Sebab dengan kata hedon berarti seseorang memang bisa menikmati beragam hal dalam kehidupannya, selama hal tersebut memang bisa menyenangkan dirinya. Namun sebuah kata/ istilah, apalagi sudah ditambah istilah yang kemelekatannya lebih maka dia bisa berubah makna secara tajam. Contoh hedon yang tadinya netral karena berarti kesenangan, ketika menjadi hedonisme maka dia sudah mengalami transformasi kata dan makna yang tidak lagi netral. Di mana hedonisme merupakan ekspresi dari sikap seseorang yang telah menjadi pandangan hidup yang dipegang yang menempatkan kesenangan dan kepuasan pribadi di atas segala tindakan-tindakan sosialnya. 

Awal mula hadirnya istilah ini ketika Aristipus, yang hidup pada abad ke-4 SM, disebut sebagai pendiri dan sekaligus guru aliran Hedonisme. Alirannya itu yang dikenal sebagai Hedonisme Kirene. Aristipus secara radikal mengajarkan bahwa kebahagiaan dapat dicapai melalui pengalaman sensual dan kesenangan jasmani. Kemudian Epikuros, yang hidup pada abad ke-3 SM, juga dianggap mengembangkan aliran Hedonisme ini, yang kemudian dikenal sebagai Hedonisme Epikurea. Epikuros mengajarkan bahwa kebahagiaan dapat dicapai melalui penghindaran dari rasa sakit dan penderitaan. Selain itu kebahagiaan bisa didapatkan pada rasa kepuasan dari kebutuhan dasar manusia seperti makanan, minuman, dan hubungan sosial.

Apa yang menyebabkan orang kemudian sampai kepada tahap hedonis, tentu saja kita bisa menelusurinya dalam beberapa perspektif. Pertama misalnya banyak yang menganggap bahwa hedonisme adalah kunci dari kebahagiaan. Maka dari itu hedonisme harus diperjuangkan. Karena dia menjadi semacam penawar tunggal untuk menghasilkan kebahagiaan dirinya. 

Meski dengan tensi negatifnya, tetapi hedonisme juga sebetulnya memiliki tensi positif. Misalnya seorang hedonis akan selalu termotivasi untuk meraih apa yang ingin dicapainya, karena dalam pikirannya hanya dengan mencapai hal itu dia bisa mencapai kebahagiaan. Namun negatifnya, seorang hedonis bisa kehilangan akal sehat untuk mencapai tujuannya tersebut. Tidak jarang karena capaiannya itu sering  tidak berlanjut atau konsisten, maka dia kembali akan memaksakan beragam hal, termasuk menghalalkan segala cara, yang penting tujuannya tercapai. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang kemudian mengabaikan nilai-nilai etika sosial yang berlaku di masyarakat, maupun nilai-nilai agama yang termaktub dalam beragam kitab suci.

Sebenarnya jika dilihat bagaimana agama membahas tentang mendapatkan kesenangan ini, kita bisa menemukan beragam penjelasan. Misalnya dalam agama Kristen, sikap hedonis dianggap sebagai manifestasi keserakahan dan dosa. Sebab Tuhan dipandang sebagai sumber segala kesenangan, sehingga jika manusia ingin menemukan dan mendapatkan kesenangan itu bukan dengan cara menumpuk atau mengejar kesenangan yang sifatnya duniawi semata, tetapi justru harus melakukan hubungan intens dengan Tuhan. “Sebab siapa yang ingin menyelamatkan nyawanya ia akan kehilangan nyawanya, tetapi siapa kehilangan nyawanya karena aku iya akan menyelamatkannya” (Markus, 8:35). 

Dalam agama Hindu perilaku hedonis bahkan diposisikan sebagai salah satu dari bentuk nafsu yang akan mendestruksi pencapaian kebahagiaan abadi dan sejati. Pengizinan agar manusia bisa memenuhi kebutuhan duniawi, namun juga harus diperkuat dengan memenuhi dan mengembangkan hubungannya dengan Tuhan, sehingga dengan sikap itu bisa mendapatkan pencerahan batin. “Seorang yang tetap berpegang pada kebijaksanaan tidak tergoyahkan oleh kesenangan atau penderitaan, tidak tergoyahkan oleh keuntungan atau kerugian, dan tidak tergoyahkan oleh kemenangan atau kekalahan” (Bhagavad Gita 2.15).

Sedangkan dalam perspektif agama Buddha perilaku hedonis merupakan bentuk nyata dari suatu keinginan yang bisa menghalangi pencapaian Nirwana. Sebab yang terpenting dalam kehidupan bukan hanya mencapai salah satunya tetapi justru mengejar keseimbangan. “Kebebasan dari kerugian, kebebasan dari penderitaan, kebebasan dari ketakutan – ” (Dhammapada 204) Iniyang disebut Nirwana.

Begitu juga agama Ko Hu Cu, di mana perilaku hedonis dianggap sebagai salah satu bentuk keinginan duniawi yang harus diatasi untuk mencapai kedamaian batin dan Harmoni dengan semesta. Kitab I Ching mengajarkan pentingnya mencari kebijaksanaan melalui tindakan yang seimbang. “Kebijaksanaan adalah menemukan kebahagiaan di dalam diri sendiri, mengatasi nafsu, dan tidak tergoyahkan oleh kegembiraan dan kesedihan yang berlebihan” (I Ching, Hexagram 26). 

Apalagi dalam Islam. Sikap dan perilaku hedonis dianggap sebagai perbuatan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Alquran menegaskan bahwa kesenangan duniawi itu sangat sementara dan tidak membawa manfaat panjang bagi manusia.  Allah berfirman “Kamu menginginkan kenikmatan yang sementara, padahal di sisi Allah ada kenikmatan yang lebih baik dan lebih kekal” (QS. Al-A’la 16-17). Begitu juga dalam Ayat lain: “Sesungguhnya, di sisi Allah-lah kebahagiaan yang sejati” (QS. Yunus 10: 64).

Hedonisme Pejabat

Lalu bagaimana kita membaca dan memahami gaya hidup hedonisme yang ditunjukkan oleh para pejabat saat ini. Tentu saja kita tidak bisa melakukan penilaian secara general. Seperti menjustifikasi pandangan bahwa para pejabat adalah pribadi-pribadi yang kerap dan hobi pamer serta hedon. Karena dari perspektif kemampuan, tidak bisa dipungkiri bahwa banyak para pejabat yang terlihat memamerkan barang-barang mewah yang dimilikinya, yang mungkin bagi sebagian kalangan itu terlihat mahal, sebenarnya memang terjangkau dengan penghasilannya. Tidak ada yang salah ketika seseorang, buah kerja kerasnya itu dialokasikan untuk membeli barang-barang yang diinginkannya meski mahal dan mewah. Bahkan justru itu merupakan hal yang wajar jika, selama masih bisa dibuktikan secara logis dan rasional, semua visualisasi penampilan yang menunjukkan kemewahan itu masih ada dalam taraf dan batasan yang wajar. 

Sebab bisa jadi penampilan yang terlihat serba wah itu sangat kontekstual dengan wewenang dan jabatan yang diembannya. Sehingga karena posisi yang demikian itulah maka visualisasi kemampuan dan kapasitas yang dimilikinya akan memberikan nilai tambah bagi jabatan yang diembannya. 

Karena kita harus jujur bahwa masyarakat kita masih mengagungkan kemewahan dan kegagahan yang sifatnya fisik material. Kharisma dan kelebihan seseorang kadang-kadang masih disandarkan pada apa yang melekat kepadanya, bukan pada tindakan dan keputusan yang diambilnya. 

Namun jika visualisasi kemewahan yang ditunjukkan secara riil melalui pembelian barang-barang yang branded dari luar negeri, dan itu ternyata tidak masuk akal secara jabatan yang diembannya, misalnya dia ada pada eselon tengah, dengan jumlah pendapatan yang bisa ditelusuri karena ada aturannya, serta dia tidak memiliki pendapatan tambahan di luar jabatan yang diembannya itu, maka hal ini patut dicurigai. Ini persis seperti para pejabat yang saat ini mendapatkan “duka” karena public melihat korelasi yang terlalu jauh atau gap yang dalam antara jabatan yang diemban dengan kekayaan yang dimilikinya.

Namun di luar semua kebolehan karena kepantasan dan kapasitas, tetap saja bermewah-mewah di depan publik, apalagi kalau mereka yang dilayaninya itu rakyat jelata, terlebih banyak yang miskin dan papa, maka visualisasi hedonisme dan kemewahan itu menjadi tidak pantas secara etis dan moral. Kita memang tidak bisa menelusuri atau mengungkap apa yang ada dalam hati dan niat seseorang ketika berpenampilan. Namun setidaknya dalam konteks seseorang yang memiliki kewenangan yang besar, maka kewajaran dan kepantasan harus menjadi visi dan tindakan sosial yang diambil agar kemudian tidak menjebaknya pada ruang kesalahan. 

Sebab seseorang yang kemudian membiasakan untuk berpenampilan wah karena jabatan yang diembannya, padahal support pendapatannya tidak sebanding dengannya, berpeluang dia akan melakukan tindakan korupsi karena kekuatan atau kekuasaan yang dimilikinya. Sebab hanya dengan korupsi itu, maka ia bias memenuhi hasrat pribadi yang terlanjur terbiasa itu. 

Bagaimana Publik

Sebenarnya, secara sosiologis, hedonisme itu terpelihara karena sikap masyarakat juga. Selain itu, hedonisme bukan hanya milik mereka yang ada pada tataran sosial tertinggi atau menengah saja. Hedonisme ini merebak pada semua strata sosial, mulai dari atas sampai paling bawah. Setiap strata sosial mengekspresikan sikap dan perilaku hedonnya sesuai dengan kapasitasnya.

Sebagian mereka menganggap ragam kemewahan penampilan itu, bahkan sudah di atas patuh dan dogma agama. Apalagi tidak sedikit para pemuka masyarakat maupun agama, juga memvisualisasikan indahnya kemewahan-kemewahan itu. Bahkan dengan kemewahan beragam hal yang dikenakan itu pula, kemudian tidak sedikit dari para pemuka masyarakat dan agama itu ”menyihir”  jamaahnya. 

Maka dari sini jelas bahwa jika dilihat dari berbagai perspektif mengenai hadirnya hedonisme dalam masyarakat tidak diakibatkan oleh subjek pelaku (pemamer) secara tunggal, namun juga ada subjek penerima (terpamer). Kedua subjek ini dipertemukan oleh suatu medium yang bernama produk. 

Produk ini bersifat relatif, karena tidak selalu merupakan hal-hal yang material. Tetapi produk ini pula lah yang mempertemukan antara pemamer dan terpamer pada suatu medium yang akhirnya kita sebut sebagai tindakan sosial hedonisme. 

Maka dari itu, yang perlu dibangun adalah cara pandang objektif dan tidak perlu melakukan generalisasi yang kemudian menyesatkan. Justru yang harus dibangun adalah cara pandang yang bijak dan proporsional, sebab siapapun harus menyadari bahwa memenuhi kebagiaan dan kesenangan itu merupakan hal yang subyektif. Sehingga setiap orang punya caranya sendiri-sendiri.

Mempertemukan Budaya Hedonis sebagai Peluang

Menyikapi fenomena hedonisme yang sudah membudaya di masyarakat, maka melarangnya apalagi secara total menjadi tidak elok. Sebab hedonisme sebetulnya tidak mengganggu kehidupan seseorang kecuali yang dilakukan oleh pelaku melalui proses atau cara kriminal seperti melalui tindakan korupsi, memeras, membegal dan yang lain-lainnya. 

Karena itu, budaya, sikap dan perilaku hedonisme ditangkap oleh pemerintah sebagai peluang untuk meningkatkan kesejahteraan rakyanya. Terutama untuk meningkatkan kinerja ekonomi masyarakat. Sebab dalam hedonisme di dalamnya setidaknya terdapat tiga entitas: produsen, pemanfaat (konsumen) dan produk.

Produsen adalah kalangan yang mampu memproduksi barang-barang yang kemudian akan dinikmati oleh konsumen secara pantas dan membahagiakan untuk dinikmati karena kualifikasi dan kualitasnya. Jika saja pemerintah fokus pada aspek produsen ini, sehingga bisa ditingkatkan kualitasnya maka, hobi pamer barang mewah yang sering dilakukan oleh para pejabat dan yang lainnya itu mungkin bisa dialihkan menjadi berburu kesenangan barang mewah tetapi brand lokal.

Dulu kita ada kampanye massif “Aku Cinta Buatan Indonesia”. Jika hal ini kembali bisa dilakukan maka perilaku hedon akan memberikan manfaat kepada bergerak dan berputarnya roda ekonomi bangsa. Sebab sudah manusiawi jika seseorang ingin menikmati apa yang dimilikinya itu. Maka dengan hedonisme yang dialirkan dan dikelola secara tepat, justru alih-alih akan berbuah cibiran maka yang terjadi bisa saja malah menuai pujian. 

Di sinilah tantangannya, bagaimana kita sebagai bangsa mengubah citra produk lokal yang tadinya dipandang sebelah mata, sebagai produk sampingan, dari budaya hedon menjadi produk utama untuk diburu dan dinikmati oleh para pelaku hedon ini. Pengubahan citra ini tentu memerlukan strategi yang khusus, massif, dengan keteladanan yang tinggi. Sehingga jika semua pihak bisa melakukannya, maka hedonisme bisa menjadi salah satu sumbu bergeraknya roda ekonomi.

Pun dalam perspektif keagamaan, hampir semua agama menyepakati bahwa perilaku hedonis ini bisa menjadi instrumen yang membuat pelakunya celaka jika tidak diimbangi dengan meningkatnya kualitas tindakan spiritual. Maka dari itu, perlu upaya kritis dari berbagai pihak agar terjadi keseimbangan perilaku di setiap kalangan yang hobi hedon ini. Misalnya, mengubah senang berburu barang mewah, tapi tidak pernah kurang zakat; senang liburan ke tempat mahal, tetapi tidak pernah berhenti beramal sholeh, dan seterusnya. Di sinilah kemudian para pendidik (guru, ustadz, tokoh-tokoh publik lainnya), di aras manapun harus memiliki kesamaan visi menghasilkan nalar obyektif. Nalar inilah yang kemudian akan menjadikan setiap strata berinteraksi dengan aktif tetapi tetap harmonis.

Tinggalkan Balasan