Peristiwa Lebaran adalah perayaan sosial-ekonomi-spiritual yang dilakukan kaum Muslim di Indonesia setiap tahun. Beberapa kebiasannya yang melekat bisa kita baca sebagai bagian dari distribusi keadilan ekonomi berbasis ekonomi silaturahim.
Sebelum membahas lebih dalam mengenai pemaknaan tentang keadilan, mari kita lihat dulu data-data yang menunjukkan bagaimana persoalan distribusi “kue” ekonomi secara adil di Indonesia begitu menyedihkan. Jurang atau gap ekonomi tercermin dalam beberapa indikator umum berikut: (1) Tingkat kemiskinan; (2) Kesenjangan pendapatan; (3) Kesenjangan akses terhadap layanan dasar; (4) Tingkat pengangguran; (5) Kesenjangan akses terhadap modal dan sumber daya; dan (6) Kesenjangan dalam penguasaan aset.
Jika merujuk kepada data BPS, sejak tahun 2017 misalnya, tingkat kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi, dengan jumlah penduduk miskin berada pada 25 – 27 jutaan orang. Kemudian data indeks gini, di mana pada tahun 2016 sebesar 0,389 dan meningkat menjadi 0,393 pada tahun 2019. Nilai ini menunjukkan adanya ketimpangan pendapatan yang cukup tinggi di Indonesia. Lalu merujuk laporan Oxfam International pada tahun 2019, 1% orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan yang sama dengan 49% penduduk termiskin. Beberapa indikator yang disebutkan di atas memang mengalami perbaikan, meski belum sesuai dengan idealitasnya.
Dengan merujuk kepada berbagai pemaknaan terhadap konsep keadilan, ada beberapa pandangan yang bisa dikutip dari sini. Menurut Plato, keadilan terbagi menjadi tiga macam: keadilan sosial, keadilan individual, dan keadilan rohaniah. Dari perspektif ini, maka Lebaran memberikan kontribusi kepada terciptanya keadilan sosial, karena dalam peristiwa ini terjadi pengaliran sumberdaya dari entitas yang lebih berhasil secara ekonomi, biasanya orang kota, kepada entitas lain, umumnya di desa.
Sedangkan Aristoteles mengartikan keadilan sebagai keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan distributif adalah ketika sumber daya dan kekayaan didistribusikan secara adil dan proporsional, sedangkan keadilan korektif adalah ketika tindakan dilakukan untuk memperbaiki kesenjangan atau ketidakadilan yang sudah terjadi. Dalam konteks ini, Lebaran bisa menjadi perwujudan dari distribusi ekonomi, yang meski sesaat, namun alokasi sumberdaya mencerminkan adanya distribusi ini.
Selain Plato dan Aristoteles, Mubyarto (1995) pernah membahas tentang pentingnya redistribusi kekayaan dan sumber daya bagi tercapainya keadilan sosial. Maka dari itu, Lebaran yang diisi dengan kegiatan mudik ini, secara tidak langsung seperti moda perekonomian berbasis masyarakat, karena di dalamnya terdapat partisipasi masyarakat dalam distribusi ekonomi.
Nathanson dalam buku “Economic Justice”, (1998) mengusulkan dasar keadilan ekonomi pada gagasan kesempatan yang sama yang dilekatkan kepada setiap individu dalam mencapai tujuan mereka. Meski usulan ini terasa sangat kapitalistik, namun satu hal yang harus menjadi perhatian adalah pemberian kesempatan yang sama pada setiap individu–yang justru menjadi pangkal masalah terjadi gap pada akses.
Ekonomi Partisipasi
Dengan manfaat yang begitu besar dari aktivitas mudik pada setiap peristiwa lebaran, kita juga menemukan bahwa fenomena ini merupakan bentuk dari model ekonomi partisipasi. Di mana masyarakat adalah subjek utama yang kemudian berkontribusi pada bentuk partisipasi ini.
Lihat saja fakta masyarakat dengan sukarela berani dan bersabar untuk mengumpulkan sumber daya yang dihasilkan di tempat mereka bekerja, lalu berbagi dengan saudara-saudaranya di daerah tujuan mudik. Jika merujuk kepada data yang dikeluarkan oleh pemerintah, nilai dikumpulkan dan dialokasikan sebagai dana mudik ini sangatlah besar. Data tahun 2023, misalnya diperkirakan bahwa perputaran uang selama mudik yang dipergunakan masyarakat bernilai 240,1 triliun.
Artinya ini merupakan bentuk nyata dari model ekonomi partisipatif yang didukung pemerintah secara tidak langsung. Dalam hal ini pemerintah hanya menyediakan sarana untuk mempermudah perjalanan para pemudik ke daerah tujuannya masing-masing.
Adapun segala macam yang berkaitan dengan keperluan mudik termasuk untuk berbagi ekonomi dan sumber daya, mungkin yang dilakukan langsung oleh pemerintah adalah peraturan mengharuskan setiap instansi maupun lembaga usaha yang memiliki pekerja untuk mengalokasikan THR (Tunjangan Hari Raya) kepada para pekerjanya dengan besaran yang sudah tentu.
Hal lain yang lebih menggembirakan dengan ekonomi mudik selama lebaran ini adalah terciptanya potensi distribusi kue ekonomi yang berkeadilan. Tentu saja istilah berkeadilan di sini harus diletakkan dalam proporsi yang minimal, karena tidak dilengkapi seluruh instrumen keadilan itu sendiri. Ekonomi berkeadilan yang dimaksud lebih kepada distribusi ruang saja. Di mana ada aliran deras sumberdaya ekonomi dari daerah pemudik ke daerah tujuan.
Insentif?
Berkaca dari fenomena yang sudah menjadi budaya ini, maka aktivitas mudik dan Lebaran sejatinya diberikan ruang insentif yang lebih luas. Memang selama ini beragam insentif tidak langsung sudah dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk perbaikan sarana perjalanan seperti jalan, rest area, dan bahkan mudik gratis, serta kewajiban THR. Namun ada hal lain yang sebenarnya terjadi di mana aliran ekonomi di lingkaran pelaku pemudik lebih banyak hanya untuk konsumtif. Tentu saja ini bukan berarti jelek, tetapi alangkah lebih baik jika ke depan, para pemudik maupun mereka yang mendapatkan aliran dana dari pemudik ini, sama-sama memikirkan untuk sedikit mengalokasikan sebagian “pendapatan” atau alokasi tersebut untuk hal-hal produktif lain, yang bentuknya harus kita pikirkan bersama. Jika saja, misalnya, dari alokasi dana pemudik itu bisa diaktifkan untuk kegiatan produktif sebesar 20%, pasti merupakan hal cukup besar untuk meningkatkan produktivitas bangsa pasca mudik.