Pidato pendiri dan sekaligus CEO Facebook Mark Zuckerberg yang dibawakan selama 1 jam 17 Menit tentang “Metaverse” menghanyutkan masyarakat dunia. Hal ini bisa dilihat pada beragam respons atas pidato tersebut. Sehingga kita semua bisa memberikan penilaian bahwa pidato tersebut bisa dikatakan menjadi salah satu pidato yang paling berpengaruh abad ini.
Apa yang disampaikan Mark kemudian menjadi perbincangan publik dari berbagai kalangan, tanpa terbatasi negara, bahasa, budaya dan bahkan agama dan kepercayaan. Artinya yang disampaikan oleh Mark ini mampu melampaui segala sekat yang selama ini menjadi pembatas. Bisa jadi pesan yang ingin disampaikannya memang seperti ini. Sebuah tawaran dunia baru, Metaverse, yang dimaknai sebagai dunia yang sebenarnya secara symptomatic telah mengaharubirui kita selama beberapa tahun belakangan. Metaverse menjadi seperti semacam puncak dari tujuan akhir dari apa yang sudah dibangun oleh Mark selama ini.
Metaverse menawarkan satu dunia baru tempat interaksi manusia. Pada dunia baru ini, kita, sebagai manusia dijanjikan bisa berperilaku layaknya seperti kehidupan di dunia saat ini. Tentu saja kemampuan ini tetap melalui medium virtual berbasis internet. Dalam promosinya, dunia baru ini begitu menawarkan kebebasan yang selama ini memang menjadi dasar dari kreativitas manusia. Manusia bebas menjadi apa saja, berprofesi apa saja, berpenampilan sehendaknya dan sebagainya. Dalam keseluruhan relasionalnya, manusia penghuni metaverse ini akan menggunakan “avatar” (obyek buatan yang merupakan proyeksi dari imajinasi pelaku) yang tersedia atau yang dikonstruksinya sendiri. Bahkan di metaverse ini manusia bisa membangun dunia kecilnya sendiri.
Meskipun Mark mengatakan bahwa Metaverse belum hadir dalam satu atau dua tahun mendatang, namun dampaknya sudah mulai menggema. Gema inilah yang kemudian memunculkan sejumlah tantangan sosiologis. Misalnya, bagaimana model relasional manusia modern di dunia virtual ini akan benar-benar merepresentasikan realitas manusia sebenarnya?
Sebelum menjawabnya, mari kita jelaskan dulu dasar-dasar hubungan manusia saat ini, atau sebelum relasional berbasis virtual seperti metaverse atau semacamnya.
Manusia (human being) merupakan subyek hidup yang di dalamnya terdiri dari dua dimensi: fisik dan non-fisik. Dimensi fisik ini yang kemudian menjadi identitas ketika mereka melakukan beragam relasi dan interaksi pada suatu ruang yang bernama dunia sosial. Fisik seseorang adalah subyek yang juga menjadi penciri utama di dunia sosial, atau dunia di mana banyak penghuninya menghadirkan beragam identitas, beragam ekspresi, beragam karakter dan sebagainya. Fisik itu juga yang kemudian menjadi penanda kehadiran dan perannya dalam dunia sosial manusia.
Interaksi, yang di dalam model pola dan modelnya disupport oleh keragaman manusia dalam beragam dimensinya yang kompleks, merupakan proses natural yang melekat pada karakter bawaan manusia itu sendiri. Maka dari sinilah kemudian manusia disebut sebagai mahluk sosial, yang salah satu ikatannya adalah adanya kepercayaan antara pribadi maupun kelompok. Kepercayaan merupakan fondasi setiap ikatan-ikatan tersebut. Kepercayaan itu juga yang kemudian menghasilkan kualitas relasional dalam suatu kelompok atau komunitas.
Kepercayaan memang merupakan sesuatu yang abstrak. Sehingga ketika ketidakpercayaan itu bisa diminimalisir, maka masyarakat kemudian mentransformasikan kepercayaan tersebut pada satu lembaga/ institusi. Lembaga itu yang kemudian membuat berbagai aturan untuk mengelola permasalahan tersebut, yang akhirnya membentuk sistem sosial. Contoh, ketidakpercayaan kita pada orang lain dalam memegang uang, maka ditransformasi pada institusi bank. Bank merupakan institusi yang di dalamnya ada akumulasi kepercayaan, dalam hal ini pengelolaan uang masyarakat. Begitu juga hal lainnya, mulai dari institusi sekolah atau lembaga pendidikan, sampai kepada institusi negara, semua berpijak pada kepercayaan.
Pada penjelasan di atas, subyek utama yang memberikan dan diberikan kepercayaan adalah manusia, yang secara fisik dan nyata, sehingga bisa divalidasi dengan baik dan benar. Jadi ketika dua orang bertransaksi pada ruang yang bernama bank, meski tidak ada pertemuan fisik, namun kedua orang tersebut bisa diverifikasi sebagai subyek yang nyata.
Di sinilah problematikanya pada metaverse. Subyek manusia bisa dengan sendirinya “hilang” dalam berbagai sudut pandang. Mereka, para penghuni metaverse, bisa menghadirkan tubuhnya dengan wujud virtual yang bisa jadi berbeda dengan aslinya. Akibatnya, model-model relasi pada dunia tersebut tidak akan pernah menemukan keutuhan. Subyek-subyek virtual akan berkenalan, berinteraksi dengan cara pandang yang sangat bebas, karena setiap orang bisa mengekspresikan dan menampilkan diri sesuai kemauannya, serta sebaliknya, mereka juga bisa menutupi sebagian dari dirinya.
Dengan sendirinya, kemanusiaan bukan hanya hilang, meski tidak sepenuhnya, tetapi bisa jadi dipinggirkan secara sedemikian sehingga, karena tidak sesuai dengan alam Metaverse tersebut. Subyek-subyek yang berelasi demikian dibatasi karena memang dunia metaverse ini sangat terbatas.
Masih ada kesempatan? Apakah benar semengerikan itukah dalam dunia metaverse?
Tentu saja secara utuh, pertanyaan ini akan tervalidasi ketika kita benar-benar sudah hadir dalam alam metaverse ini. Atau metaverse ini sudah ada bersama kita. Namun demikian, ada beberapa prediksi yang bisa kita temukan pada “dunia baru” ini, yaitu:
Manusia akan semakin luas pergaulannya, meski dengan konsekuensi mengurangi pergaulan di lingkungan sekitarnya, karena alam ini akan memberikan pengalaman baru dalam kehidupan sosial mereka. Apalagi sebagaimana dikemukakan banyak pihak bahwa di alam baru ini manusia bukan hanya bisa bersenang-senang, tetapi juga bekerja, berproduksi dan sebagainya.
Selanjutnya manusia akan membangun dunia sosial baru, sebagai sebuah dunia yang belum pernah ada sebelumnya. Di mana dunia sosial baru itu pun akan membangun fondasinya sendiri, yang bisa jadi terlepas dari dunia sosial yang ada saat ini. Apalagi karena kebutuhan fisiknya berbeda dengan dunia nyata, maka sistem dan model relasi bahkan sistem etiknya pun bisa jadi sangat berbeda.
Di sinilah kemudian, kita semua harus waspada. Karena ketika di alam seperti itu, hukum rimbanya akan berbeda dengan dunia sosial yang sudah ada saat ini. Bisa jadi, di dunia itu, kita akan menemukan kebuasan seseorang melebihi sejarah kebuasan yang terjadi pada dunia selama ini (di dunia nyata).
Jika demikian halnya, maka siapapun yang concern pada masa depan ummat manusia harus segera merapatkan barisan untuk merespons persoalan ini agar segala ancaman yang ada bisa diubah menjadi harapan yang mencerahkan.
Telah terbit:
Dr. Tantan Hermansah [Penulis adalah Doktor Sosiologi Universitas Indonesia (UI), Pengampu MK Sosiologi Perkotaan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Anggota Komisi Infokom MUI Pusat]