Ketika harga minyak goreng mahal, banyak pihak menjerit agar pemerintah segera turun tangan meredakan dan mengendalikan harga dari komoditas tersebut. Selain berbagai seruan tersebut, sejumlah kalangan langsung mencari jawaban atas permasalahan tersebut.
Terdapat sejumlah jawaban yang bisa kita dapatkan, seperti: kenaikan harga minyak goreng ini akibat dari menurunnya produksi dari sejumlah Negara penghasil, pandemi covid 19, shifting ke biodiesel, dan berbagai argumentasi lainnya dengan limpahan data yang mendukung argumen tersebut.
Hal yang tidak disadari semuanya adalah bahwa betapa minyak goreng merupakan bagian dari kehidupan kita semua, yang juga telah membentuk suatu kultur dan bahkan struktur sosial masyarakat. Minyak goreng telah dengan signifikan memberikan pengaruh kepada terbangunnya pola-pola hubungan antar orang dalam suatu entitas masyarakat. Sehingga karena posisinya yang mendekati esensial, dinamika pada benda ini, jika terlalu tajam turun naiknya, akan menghasilkan guncangan sosial.
Konsumsi Minyak Goreng
Bagaimana struktur minyak goreng ini memberikan pengaruh kepada kehidupan sosial masyarakat Indonesia, bisa kita lihat mulai dari kuantitas produksi. Realitas konsumsi minyak goreng selain karena status Indonesia sebagai penghasil minyak sawit terbesar di dunia, di mana produksi crude palm oil (CPO) atau minyak sawit pada 2021 mencapai 46.888 juta ton. Jumlah yang tinggi ini tentu karena didukung oleh permintaan dalam negeri juga yang besar.
Secara kasat mata, kita bisa melihat realitas sehari-hari, di mana nyaris seluruh kebiasaan hidup orang Indonesia tidak bisa lepas dari minyak. Contoh, pagi-pagi bangun tidur, minum kopi sambil memakan kudapan gorengan, lalu makanan pun kerap ada goreng ikan, goreng ayam, goreng tempe, atau minimal goreng kerupuk. Bahkan dalam kondisi minimal, ketika bahan-bahan mentah untuk sambal saja, sebagian digoreng dulu sebelum diulek. Persenyawaan dengan minyak goreng ini berlangsung dari pagi sampai sore bahkan malam. Bahkan ketika rapat di kantor, atau sekedar hang out di café atau warung kopi, camilan gorengan itu mesti menjadi “teman” yang wajib menyertai.
Maka wajar jika para pemilik modal sangat antusias dengan bisnis yang selalu mengkilat ini. Belum lagi turunan lain dari minyak sawit saja sangat banyak dan tidak kalah akrab dengan kehidupan kita. Produk-produk seperti sabun, mentega, bahkan beberapa produk kecantikan. Artinya, bisa dikatakan bahwa kebudayaan kita tidak bisa dilepaskan dari minyak goreng ini—langsung atau tidak langsung.
Struktur Sosial dan Ketergantungan
Dari kultur itu, maka struktur sosial dari minyak goreng pun tumbuh dan berkembang. Mereka yang memiliki kapasitas di aras produksi, kemudian membangun imperiumnya sendiri. Sehingga posisi ini demikian kuat karena mencengkeram pada kultur masyarakat tadi. Lihat saja, ketika minyak goreng ini gonjang-ganjing, muncul empat “penguasa” (Tempo, 28/01/2022) yang kemudian bisa disebutkan sebagai usaha yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
Keterikatan yang dalam pada minyak goreng ini, selain dari sisi bisnis menggiurkan, namun dari perspektif lain, seperti medis atau kesehatan, justru memiliki sejumlah permasalahan. Ketergantungan yang besar terhadap minyak goreng ini telah menyebabkan terpicunya berbagai penyakit seperti obesitas, kolesterol berlebih, asam urat, gangguan jantung, diabetes, terganggunya fungsi otak, kanker dan sebagainya.
Sementara itu, kesadaran untuk melepaskan dari produk ini jelas bukan hal mudah. Apalagi kalangan menengah bawah, di mana kehadiran minyak goreng dalam setiap kesempatan jelas tidak terhindarkan. Di sinilah kemudian tampak sekali jelas bahwa aksesibilitas atas minyak goreng pada akhirnya menghasilkan realitas struktur sosial masyarakatnya. Di mana, gambaran sederhananya adalah sebagai berikut:
Ada minyak goreng murah, yang gampang diakses masyarakat, meski dengan harga yang dinamis, namun dari sisi kesehatan justru kurang menyehatkan—untuk tidak mengatakan sebagai berpotensi memicu beragam penyakit. Minyak goreng level ini jelas makanannya kelas bawah. Bahkan tidak jarang, model penggunaannya pun, kadang jauh dari kata sehat. Misalnya ada minyak goreng yang dipakai terus menerus, tidak pernah diganti, hanya jika volumenya kurang, cukup ditambah lagi dan lagi. Mereka ini umumnya pedagang kelas kecil yang justru menjadi tujuan “jajan” kalangan bawah ini.
Kelompok masyarakat ini yang jika minyak goreng kemudian susah diakses dan atau mahal, akan berteriak karena ada kebutuhan hariannya yang terganggu.
Lalau ada kelompok masyarakat kelas menengah, yang mengaksesnya pada minyak goreng kelas menengah juga. Dengan gaya akses pada minyak goreng jauh lebih sehat daripada kelas bawah yang umumnya mengakses minyak goreng curah, mereka justru mengelola konsumsinya atas minyak goreng ini cukup terkendali. Mereka juga sangat memperhatikan setiap asupan berbasis minyak ini. Lalu ada kelompok masyarakat yang, katakanlah kelas atas, dengan kemampuan mengakses justru hanya pada minyak yang langka, sehat, terbatas. Sehingga mereka ini hidup lebih sehat karena tidak mengakses minyak goreng dengan lebih, bahkan cenderung sangat kurang.
Kedua kelompok ini sebenarnya tidak cukup terganggu oleh dinamika harga minyak goreng, bukan karena kemampuan finansial, tetapi karena gaya hidup mereka pun jauh lebih membatasi pada akses atas minyak goreng ini.
Dari ketiga level tersebut, terlihat bahwa semakin bawah, ketergantungan pada minyak goreng ini semakin tinggi dan semakin mengikat karena dipengaruhi oleh gaya hidup pengguna juga. Di sisi lain, kelompok ini juga yang, selain kebutuhan akan minyak goreng ini besar, pun kuantitas yang membutuhkannya pun sangat besar dan bahkan paling tinggi.
Gaya Hidup Berminyak
Dengan penjelasan di atas, maka terlihat bahwa pemicu lain dari tingginya harga minyak goreng di tengah masyarakat, adalah gaya hidup berminyak yang ditunjukkan dan ditampilkan dengan masif oleh masyarakat itu sendiri. Akibatnya, karena sudah menjadi bagian dari gaya hidup, maka ketika variabel ini terganggu, mereka akan langsung berteriak. Oleh karena itu, sudah saatnya dikembangkan gaya hidup baru yang merupakan transformasi menyeluruh dari sistem konsumsi kita atas produk-produk berbasis minyak goreng. Targetnya transformasi budaya baru ini adalah mengurangi konsumsi dan ketergantungan kita pada minyak goreng saat ini. Jika hal ini bisa dilakukan maka dengan sendirinya hal-hal yang sifatnya struktural seperti naik turunnya minyak goreng, tidak akan terlalu membuat masyarakat berteriak.
Telah terbit:
Dr. Tantan Hermansah, pengampu MK Sosiologi Perkotaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Anggota Komisi Infokom MUI Pusat