Mengemis di Bulan Puasa

Seperti sudah menjadi fenomena umum bahwa pada bulan Ramadhan didapati banyak sekali pengemis yang ada di berbagai tempat. Tentu saja pemandangan ini beberapa kalangan iba dan Simpatik; namun ada juga yang kemudian merasa risih atas kehadiran mereka di lingkungan tempat tinggal.

Jika kita menelusuri sejarah kehadiran pengemis dalam struktur masyarakat bisa dikatakan sama usianya dengan umur masyarakat itu sendiri. Pengemis adalah bagian dari masyarakat yang karena satu dan lain hal mereka melakukan pekerjaan dengan cara memanfaatkan kedermawanan dan kemanusiaan banyak orang untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Istilah pengemis di Indonesia sendiri masih debatable. Ada yang mengatakan bahwa pengemis muncul karena sebuah tradisi nanti kerajaan Nusantara, di mana sang raja selalu memberikan sedekah kepada masyarakat pada hari Kamis. Maka muncullah istilah “ngemis”. Berasal dari kata kamis.

Terlepas dari setelah itu tetapi mengemis merupakan bagian dari sejarah budaya dan ekonomi umat manusia. Kelompok pengemis ada yang terorganisir dengan baik, namun ada juga yang parsial dan sangat pendek kedua. Pengemis yang terorganisir, sebagaimana kelompok masyarakat pada umumnya mereka memiliki organisasi dan sistem yang harus mereka taati. Mulai struktur organisasi, tata kerja, area kerja dan sebagainya. Kelompok kami seperti ini tidak jarang diorganisasi oleh seseorang atau sekelompok orang dengan modus untuk mendapatkan keuntungan bagi kelompok. Para pengelola atau mereka yang “memelihara” kelompok pengemis ini kemudian memberikan “perlindungan” dan “keamanan” bagi para pengemis. Hubungan simbose-mutualistis ini umumnya dipergunakan untuk memastikan keberlanjutan kelompok pengemis.

Namun ada juga kelompok pengemis yang dia bekerja secara individu dan juga ada yang bekerja secara temporer saja. Maksudnya bahwa ada kelompok pengemis yang tidak masuk kepada kelompok organisasi mana pun; dan ada juga individu pengemis yang mereka melakukannya hanya pada waktu-waktu tertentu saja.  

Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk melacak mengapa tradisi atau kebiasaan mengemis ini tidak bisa hilang dari kehidupan kita sehari-hari. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kelompok ini tetap bisa eksis meski sudah berkali-kali dirazia oleh satpol PP, dan bahkan sudah diberikan pembinaan oleh pemerintah maupun diberi bantuan peningkatan skill dan modal usaha.

Pertama, dalam agama salah satu di antara kebaikan yang dianjurkan adalah memberi atau berbagi. Bahkan nilai-nilai kebaikan dari berbagai atau memberi ini, bukan hanya ada di hampir semua agama, tetapi juga sangat dianjurkan oleh agamawan dan para tokohnya. Apalagi tidak jarang anjuran untuk berbagi dan memberi ini dilegitimasi oleh diktum-diktum keagamaan yang kental. Sehingga karena memberi dan berbagi ini sangat dianjurkan maka tidak mungkin menghilangkan tradisi ini dari masyarakat yang beragama. Kehadiran pengemis di jalanan atau di tempat tempat lain sangat berkaitan dengan hadirnya anjuran ini, karena para guru agama maupun tokohnya tidak memberikan batasan teknis mengenai kepada siapa dan di mana serta waktu apa, ketika ingin melakukan aktivitas memberi dan berbagi ini. Alhasil kelompok masyarakat yang ingin melakukan kegiatan memberi dan berbagi pun bisa melakukannya kepada siapa saja dan di mana saja, termasuk di dalamnya kelompok pengemis ini.

Seandainya saja kaum agamawan atau para tokoh penganjur kebaikan ini membatasi ruang lingkup teknis memberikan sedekah atau pemberian ini, misalnya berbagi dan bersediakah hanya boleh dilakukan di institusi agama maupun institusi resmi lainnya maka bisa jadi ada Transformasi perilaku dari para pengemis yang ada di tempat umum ini.

Kedua , tindakan memilih menjadi pengemis dilakukan oleh seseorang karena mereka tidak memiliki pilihan. Kelompok ini melakukan kegiatan mengemis karena tidak lagi memiliki kapasitas produktif yang kemudian dengan kapasitasnya itu bisa menghasilkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan itu mereka mau tidak mau melakukan kegiatan mengemis ini. Kelompok ini adalah mereka yang memiliki kelemahan mendasar yang sudah tidak bisa lagi ditingkatkan atau diperbaiki seperti ada cacat fisik, sudah rapuh karena usia, serta sejumlah hal lain yang menyebabkan mereka tidak bisa lagi beraktivitas seperti orang normal pada umumnya.

Ada kelompok ini sejatinya memang negaralah yang kemudian mengambil alih peran untuk menyelamatkan kehidupan mereka. Dan Undang-undang Dasar  1945 pun menyebutkan bahwa mereka merupakan salah satu subjek yang harus dipastikan kehidupan melalui berbagai program dan anggaran yang di siapkan oleh pemerintah.

Ketiga , faktor kedermawanan yang secara akumulatif sangat besar, yang ada pada banyak orang, karena keyakinan bahwa ketika mereka banyak memberi maka mereka pun akan mendapatkan banyak keuntungan secara religius dan spiritual, maka semangat kedermawanan ini kemudian menjadi peluang yang dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk menjadi penerima manfaat dari semangat itu.

Mengemis di Bulan Puasa

Seperti diketahui bersama bahwa Bulan Ramadhan adalah bulan yang kemudian diistimewakan oleh kaum muslimin untuk melakukan sejumlah kebaikan. Selain ritual ritual yang berbasis individu seperti Sholat Tarawih dan puasa itu sendiri, ritual berbagi atau bersedekah pun meningkat signifikan di bulan ini.

Sejumlah anggapan bahwa melakukan berbagai kebaikan di Bulan Ramadhan ini memiliki nilai tambah dan nilai lebih dibandingkan di bulan lainnya. Sehingga jumlah orang atau lembaga yang berbagi kebaikan ini mengalami kenaikan yang sangat pesat. Orang-orang bersedekah berlomba-lomba baik secara pribadi maupun melalui lembaga.

Kedermawanan sosial yang luar biasa ini, tentu tidak bisa dicegah, termasuk lembaga yang menjadi penyalurnya seperti masjid atau institusi lainnya. Bahkan banyak lembaga yang kemudian mengelola peluang kebaikan pada Bulan Ramadhan ini untuk mengakumulasi “pendapatan” lembaganya, yang kemudian akan dikelola pada kegiatan kegiatan di bulan berikutnya. Di kota-kota, kebaikan dan kedermawanan berbasis berbagi di bulan Ramadhan jauh lebih besar lagi. Sehingga ini menyebabkan perbaikan yang dilakukan oleh orang kota yang sangat banyak itu, menyedot perhatian para pengemis di daerah untuk mencari peruntungan pada kebaikan tersebut. Maka berlomba-lombalah para pengemis dari daerah pergi menuju kota. Bahkan ada sekelompok pengemis yang sering disebut sebagai pengemis musiman. Mereka hanya menjadi pengemis ketika Bulan Ramadhan saja. Mereka ini mengorganisir diri baik ketika pergi maupun ketiga pulang serta area tempat mereka “bekerja”. Hal ini dilakukan semata-mata untuk berbagi peluang antar sesama pengemis maupun juga untuk memastikan keamanan ketika mereka pulang kembali ke kampung halaman menjelang Idul Fitri.

Telah terbit: https://rm.id/baca-berita/nasional/120802/mengemis-di-bulan-puasa

Dr. Tantan Hermansah, pengampu MK Sosiologi Perkotaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Anggota Komisi Infokom MUI Pusat

Tinggalkan Balasan