Warning: Use of undefined constant the_views90 - assumed 'the_views90' (this will throw an Error in a future version of PHP) in /home/kotalogy/public_html/wp-content/themes/oria/single.php on line 14

Bangun Ekoliterasi untuk Hadapi Krisis Iklim dan Bencana

Pada permulaan tahun 2020 masehi, bencana ekologis berupa banjir serta tanah longsor menerjang bagian barat pulau Jawa, khususnya Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan juga Jawa Barat. Kedua bencana ini menghantam, setelah sebelumnya pada tahun 2019, Indonesia mengalami kebakaran (tepatnya, pembakaran) hutan tropis di sejumlah pulau, khususnya Sumatera dan Kalimantan seluas 857.756 ha.

Dampak dari bencana ekologis di awal tahun 2020 ini, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) adalah, sebanyak 60 orang meninggal dan dua orang hilang. Tak hanya itu, jumlah warga terdampak banjir dan longsor di Jabodetabek mencapai 409 ribu jiwa. Dari jumlah tersebut, lebih dari 173 ribu jiwa ada di tempat-tempat pengungsian.

Tepat satu tahun yang lalu, pada permulaan tahun 2019, banjir dan longsor juga menghantam 13 kabupaten/kota di provinsi Sulawesi Selatan. Dampaknya, 59 orang meninggal, 25 orang hilang, 47 orang luka-luka, 6.596 orang terdampak, 3.481 orang mengungsi. Lebih jauh, banjir mengakibatkan 79 unit rumah rusak, 4.857 unit rumah terendam, 11.876 hektare sawah terendam banjir, 10 jembatan rusak, dua pasar rusak, 12 unit fasilitas peribadatan rusak, enam fasilitas pemerintah rusak dan 22 unit sekolah rusak.

Penyebab utama bencana banjir dan longsor yang terjadi dalam dua tahun terakhir, baik di Jakarta-Banten-Jawa Barat maupun di Sulawesi Selatan adalah deforestasi tiada henti serta tata ruang yang tidak berwawasan lingkungan. Di kawasan hulu, misalnya, kawasan hutan di kawasan Puncak-Bogor telah hilang seluas 5700 ha dalam 16 tahun terakhir. Jika dicari padanannya, luas hutan yang hilang di kawasan Puncak-Bogor, setara 66 kali lebih luas dari Kebun Raya Bogor. Mayoritas, luasan hutan tersebut telah berubah menjadi kawasan villa mewah dan hotel-hotel, baik yang dimiliki oleh individu, lembaga negara, maupun entitas bisnis.

Pada saat yang sama, tata ruang di DKI Jakarta tidak mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan. Pembangunan gedung-gedung pencakar langit yang terbukti mengekstraksi air tanah tidak dihentikan. Sejumlah penelitian menemukan bahwa ruang terbuka hijau di Jakarta hanya tersisa tidak lebih dari 15 persen dari total luasan Jakarta. Akibat kondisi hulu (Bogor) dan hilir (Jakarta) yang sudah hancur secara ekologis, maka sampai kapan pun banjir di Jakarta takkan bisa diselesaikan. Provinsi Banten pun mengalami hal serupa. Berdasarkan catatan data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Banten (2020), tercatat 229.840,73 ha hutan di Banten kritis. Rinciannya, 59.224,94 ha masuk kategor sangat kritis dan 170.615,79 ha kritis.

Jika kita kembali membaca kasus banjir di Sulawesi Selatan, akan tampak sekali persoalan deforestasi dan tata ruang bermasalah menjadi penyebab utamanya. Menurut catatan WALHI Sulawesi Selatan (2019), seluas 516,398 ha hutan di Provinsi Sulawesi Selatan dalam keadaan kritis. Penyebabnya, ekspansi proyek tambang, perkebunan skala besar, serta massifnya pembangunan proyek infrastruktur. Hal ini diperparah oleh rusaknya tata ruang di kawasan perkotaan yang lebih mengakomodasi kepentingan proyek property skala besar. Di atas kertas, luasan hutan di Sulawesi berkisar 2,1 juta ha. Namun tutupan hutan tropis atau vegetasinya hanya 1,22 juta ha. Artinya, hampir 900 ribu ha luasan hutan tidak ada.

Apa yang terjadi di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan juga Sulawesi Selatan, merupakan potret hancurnya sumberdaya alam dan lingkungan hidup Indonesia. Organisasi WWF mencatat, setiap tahun hutan seluas 1,4 juta ha di Indonesia hilang. Sementara itu, Greenpeace merekam sepanjang 2015-2018 telah terjadi deforestasi seluas 3,4 juta ha. Pada level internasional, angka deforestasi Indonesia berada pada urutan kedua setelah Brazil. Peringkat selanjutnya di bawah Indonesia adalah Myanmar, Nigeria, Tanzania, Paraguay, Zimbabwe, Kongo, Argentina, dan Peru. Dengan kata lain, Indonesia adalah negara yang mengalami percepatan deforestasi di dunia. Tak hanya negara-negara berkembang, 32 negara Industri yang tergabung di dalam OECD juga mengalami deforestasi dalam skala besar.

Deforestasi dan Krisis Iklim

Hilangnya luasan hutan yang terjadi secara konstan bahkan terus meningkat merupakan penanda planet bumi semakin kritis. Dari perspektif iklim, deforestasi di Indonesia, baik karena pembakaran hutan, proyek pertambangan, dan juga ekspansi proyek infrastruktur untuk pembangkit listrik, terbukti telah meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di udara. Diantara gas rumah kaca yang terpenting adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrat oksida (N2O), kloroflourokarbon (CFC). Semua menyumbang pada proses radiasi sinar matahari yang dipancarkan atau dipantulkan bumi, sehingga suhu atmosfer permukaan bumi makin hangat dan memanas serta menyebabkan iklim berubah secara ekstrem. Kondisi inilah yang sering disebut sebagai pemanasan global (global warming).

Dalam jangka waktu yang sangat panjang, perubahan iklim yang diakibatkan oleh kuatnya konsentrasi gas rumah kaca di udara, berbuah menjadi krisis iklim. Bagi sebagian kalangan, khususnya aktivis lingkungan, penyebutan “krisis iklim” dianggap sudah tidak merepresentasikan kondisi bumi yang semakin sekarat. Mereka menawarkan konsep “kiamat iklim” untuk menggambarkan betapa kehancuran ekologis planet bumi sudah berada pada titik puncaknya. Di dalam ungkapan yang sangat berani, Greta Thunberg, seorang remaja dari Swedia, menggambarkan “kiamat iklim” dengan frasa “our house is on fire” (rumah kita sedang terbakar). Salah satu dampak krisis iklim yang paling terasa adalah curah hujan yang sangat tinggi, persis seperti yang terjadi di awal tahun 2020 masehi.

Pemanasan global akan meningkatkan jumlah air pada atmosfer, yang kemudian meningkatkan curah hujan. Meski kenaikan curah hujan sebetulnya dapat meningkatkan jumlah sumber air bersih, namun curah hujan yang terlalu tinggi mengakibatkan tingginya kemungkinan air untuk langsung kembali ke laut, tanpa sempat tersimpan dalam sumber air bersih untuk digunakan manusia. Pada titik inilah pertemuan penting antara isu bencana ekologis, khususnya banjir dan longsor, dengan isu krisis iklim yang bersifat laten (tidak disadari).

Di Indonesia yang beriklim tropis, krisis iklim membuat musim kemarau menjadi berkepanjangan. Kondisi ini sangat tidak baik bagi kesehatan. Kemarau yang panjang sangat baik bagi perkembangan bakteri, virus, jamur dan parasit karena kelembaban udara pada musim kemarau cukup tinggi. Mikroorganisme-mikroorganisme tersebut tumbuh dengan sangat subur dan dapat bertahan hidup lebih lama. Selanjutnya, penyakit yang berhubungan dengan bakteri dan udara semakin banyak terjadi seperti penyakit kulit akibat jamur.

Krisis iklim juga menyebabkan cuaca ekstrem dan sulit ditebak. Di satu wilayah, bisa saja terjadi hujan terus-menerus yang disertai dengan angin kencang dan menyebabkan banjir. Sementara di wilayah lain terjadi kemarau berkepanjangan hingga mengeringkan sawah, ladang dan sumber-sumber air masyarakat. Belum lagi suhu ekstrim yang disebabkan terik matahari dapat membakar kulit.

Cuaca ekstrim seperti hujan kencang yang terjadi terus-menerus akan menyebabkan banjir jika daratan tidak siap menampung limpahan air yang banyak. Kondisi banjir menyebabkan lingkungan kotor dan menjadi lingkungan yang sangat baik bagi sarangga dan nyamuk penyebar penyakit untuk hidup dan bereproduksi. Dengan kondisi seperti ini, kasus penyakit seperti malaria dan demam berdarah dengue akan sangat banyak. Sementara kondisi ekstrim lingkungan mempengaruhi daya tubuh manusia sehingga mudah sekali menjadi sakit.

Bangun Ekoliterasi

Jika memperhatikan uraian di atas, maka kita akan menemukan satu alur logika yang jelas, yaitu: bencana (banjir dan longsor) terjadi akibat krisis ekologis (kerusakan hutan dan tata ruang). Pada saat yang sama, krisis ekologis mengakibatkan krisis iklim. Krisis iklim turut memperparah dampak bencana. Dari alur logika tersebut, kita melihat bahwa krisis ekologis menyebabkan bencana dan krisis iklim. Dengan demikian, krisis ekologis adalah akar masalahnya. Kenapa tidak menggunakan terminologi “krisis lingkungan”? Jawabannya, karena krisis ekologis tidak hanya menyentuh aspek fisik, berupa rusaknya planet bumi, tetapi juga aspek non-fisik berupa rusaknya pemikiran/mindset, perilaku dan juga spiritual manusia yang merupakan pemukim planet ini. Jadi, krisis ekologis lebih luas dari krisis lingkungan.

Banyak penjelasan mengapa krisis ekologis terjadi, diantaranya adalah karena persoalan paradigmatik, politik, hukum, pendidikan, sosial dan budaya. Jika dilihat dari sisi paradigmatik, krisis ekologis adalah buah dari hilangnya penghayatan religius manusia terhadap alam. Kitab Suci al-Qur’an, misalnya, menyebutkan bahwa seluruh entitas di alam ini bertasbih memuji Allah swt. Pada titik ini, alam dilihat oleh Kitab Suci sebagai entitas sakral. Namun, penghayatan ini telah diganti oleh pandangan antroposentris, yang menyatakan bahwa alam hanyalah komoditas ekonomi yang disediakan untuk memenuhi kepentingan manusia. Dalam wacana Kapitalisme, alam diperlakukan sebagai alat untuk mengakumulasi keuntungan tanpa batas.

Dari sisi politik, krisis ekologis terjadi karena sumberdaya alam adalah alat negosiasi para pihak yang akan maju dalam sebuah kontestasi politik praktis. Demi memenangkan suatu ajang pilkada, misalnya, para pihak tak segan memberikan ijon politik berupa konsensi kepada pihak-pihak yang berani memberikan “modal politik”. Jika calon yang didukung tersebut memenangkan pertarungan, maka ijon politik tersebut akan berubah menjadi ijin eksploitasi sumberdaya alam, dalam bentuk proyek pertambangan, perkebunan, properti, dan lain sebagainya. Selama satu periode kepemimpinan, tak sedikit kebijakan yang dikeluarkan untuk melayani kepentingan pemodal untuk mengeruk sumberdaya alam. Itulah fakta yang terjadi di Indonesia.

Dari sisi hukum, krisis ekologis terjadi karena lemahnya penegakan hukum, khususnya hukum lingkungan. Padahal, Indonesia saat ini memiliki UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, Indonesia memiliki sejumlah aturan lain yang sangat kuat membela keberlanjutan lingkungan hidup, diantaranya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010.

Dari sisi pendidikan, krisis ekologis terjadi karena secara umum lembaga pendidikan di Indonesia masih mengabaikan persoalan planet bumi. Baik di lembaga pendidikan agama, maupun pendidikan umum, dua-duanya masih memposisikan Bumi sebagai alat untuk memenuhi kepentingan manusia. Jika di lembaga pendidikan umum, Bumi selalu didefinisikan sebagai objek pembangunan, maka di lembaga pendidikan agama, Bumi didefinisikan sebagai objek untuk konsep ke-khalifahan manusia. Lembaga pendidikan belum mampu membangun kesadaran kritis anak didik terhadap berbagai persoalan krisis di planet bumi.

Dari sisi sosial dan budaya, krisis ekologis terjadi karena secara umum masyarakat di Indonesia masih belum memiliki kesadaraan dan kebiasaan untuk menjaga keberlanjutan lingkungan. Maraknya pertambangan liar, membuang sampah sembarangan, abai terhadap deforestasi dan kerusakan di kawasan pesisir, juga turut memperparah bangunan krisis yang telah ada.

Pada titik inilah, kita semakin sadar bahwa krisis ekologis adalah persoalan yang sangat kompleks. Ada persoaan kebijakan politik di satu sisi, tetapi ada juga persoalan pendidikan dan kebiasaan masyarakat di sisi lain. Untuk dapat memecahkan persoalan ini pada masa-masa yang akan datang, ada satu hal yang dapat kita lakukan saat ini, yaitu membangun gerakan ekoliterasi (Bahasa Inggris: ecoliteracy). Apa itu ekoliterasi? secara kebahasaan, ekoliterasi berasal dari dua kata: eco atau ecology, yang berarti ilmu yang mempelajari interaksi antara manusia, alam, serta interaksi diantara keduanya; dan literasi (Bahasa Inggris: literacy) adalah istilah umum yang merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.

Daniel Goleman dalam buku Ecological Intelligence (2010), menjelaskan bahwa ekoliterasi adalah suatu gerakan tentang penyadaran kembali akan pentingnya kesinambungan atau kelestarian lingkungan hidup. Orang yang memiliki ekoliterasi diharapkan memiliki pemahaman yang komprehensif tentang aspek ekologis, baik ekologi manusia dan konsep kesinambungan lingkungan hidup sebagai alat untuk memecahkan masalah, khususnya krisis di planet bumi.

Dalam konteks politik dan hukum, kita harus membangun ekoliterasi dengan terlibat penuh di dalam berbagai forum perumusan perencanaan pembangunan, mulai dari tingkat nasional hingga ke tingkat desa. Jika keterlibatan di dalam forum perumusan perencanaan pembangunan dirasa berat, maka yang paling minimal adalah mempelajari dokumen-dokumen perencanaan permbangunan mulai dari RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional), RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah), sampai dengan dengan RPJMDes (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa). Dalam konteks ini, kita diharapkan memiliki informasi yang utuh mengenai rencana pembangunan Indonesia dari pusat sampai ke desa, khususnya proyek pembangunan yang bersifat ekstraktif dan eksploitatif.

Di dalam konteks pendidikan, sudah saatnya lembaga pendidikan menyusun satu kurikulum yang mengenalkan mengenai krisis ekologis, krisis iklim, dan dampaknya terhadap bencana di Indonesia. Lebih jauh dari itu, anak didik perlu dibangun perspektif kritis mengenai persoalan di Planet Bumi. Tujuannya, membangun kesadaran berpikir yang bersifat global, tetapi mendorong mereka untuk bertindak lokal (to think globally, but act locally).

Perlu juga dibangun gerakan sosial dan budaya yang terus menerus mengkampanyekan keberlanjutan lingkungan di tingkat akar rumput. Salah satu hal yang dapat didorong adalah masyarakat perlu memulai gerakan kedaulatan pangan dengan cara membangun gerakan fermakultur atau agroekologi. Kampanye untuk tidak menggunakan plastik kemasan sekali pakai perlu terus ditingkatkan. Secara kultural, kearifan masyarakat yang mengemas makanan dengan menggunakan daun, perlu terus diringkatan untuk memiminalisir penggunaan plastik kemasan yang terbukti terus mencemari. Hal lain yang juga penting dilakukan di tingkat masyarakat adalah membudayakan untuk tidak menggunakan kendaraan berbasis bahan bakar fosil, seperti bensin, solar, dan lain sebagainya.

Untuk kebutuhan advokasi kebijakan, pada level sosial dan budaya, perlu dibangun satu konsolidasi strategis yang ditujukan untuk melakukan upaya kritik terhadap berbagai kebijakan publik yang dinilai akan melakukan eksploitasi sumbedaya alam, merampas ruang hidup masyarakat, dan tentunya akan merugikan masyarakat banyak.

Pada level yang lebih dalam, yaitu pada level paradigmatik, kita perlu terus mempelajari dan mengembangkan kajian-kajian ekologis yang ditilik dari tinjauan filsafat, fikih, tasawuf, maupun teologi. Sudah saatnya kita mengkaji pemikiran para penekun kebijaksanaan yang memiliki perhatian dan keprihatinan tehadap krisis ekologis. Di dalam tradisi pemikiran barat, kita harus mulai mempelajari gagasan  yang ditulis oleh seorang Environmentalist Norwegia, Arne Naess tentang deep ecology,  atau gagasan yang ditulis oleh Fritjof Capra tentang krtitiknya terhadap paradigma Cartesian-Newtonian yang mendorong orang untuk mengekploitasi alam. Karya lain yang penting dipelajari juga adalah Marx’s Ecology karya John Bellamy Foster.

Di dalam tradisi Islam, gagasan yang dikembangkan oleh Said Nursi di dalam karya Risalah Nur sangat penting dipelajari. Tak hanya itu, karya-karya Seyyed Hossein Nasr, seperti Man and Nature, Islam and the Plight of Modern Man, dan Religion and the Order of Nature, adalah sejumlah karya penting. Selain Nursi dan Nasr, Ulama Fiqh semacam Yusuf Qardhawi juga menulis satu buku khusus mengenai hal ini dengan judul Ri’ayatul Bi’ah fi Syari’atil Islam. Sebuah karya yang penting dipelajari, khususnya di lembaga-lembaga pesantren.

Ada juga karya-karya pemikir kontemporer. Diantaranya adalah Ibrahim Ozdemir, seorang filosof lingkungan berdarah Turki, dimana penulis pernah berada di bawah bimbingannya saat sedang menyelesaikan Tesis mengenai pemikiran Teologi Lingkungan Said Nursi. Salah satu karyanya yang penting adalah The Ethical Dimension of Human Attitude Towards Nature. Di Indonesia, kita mengenal sosok Fachruddin Mangunjaya, yang banyak bicara mengenai konservasi alam dari perspektif Islam. Beliau merupakan guru penulis saat mengambil mata kuliah New Theology, khususnya teologi lingkungan. Salah satu karya Fachruddin Mangunjaya yang penting dipelajari adalah mengenai Konservasi Alam dalam Pandangan Islam.

Membangun gerakan ekoliterasi membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Tetapi akan berpengaruh terhadap cara pikir dan perilaku masyarakat dalam jangka panjang, bahkan akan terjadi perubahan kebijakan. Inilah proyek amal soleh yang harus menjadi agenda bersama. Sebab jika ekoliterasi telah terbangun dengan kuat, maka masyarakat akan memiliki kesadaran mitigasi dan adaptasi krisis iklim sekaligus bencana yang dapat menyerang kapan saja.

Memedomani Petunjuk Al-Qur’an

Membangun gerakan ekoliterasi, pada dasarnya adalah menerjemahkan pesan penting Kitab Suci al-Qur’an untuk terlibat memperbaiki bumi. Secara spesifik Al-Qur’an mengisyaratkan beberapa hal di dalam Surat al-Ghasiyah [88] ayat 17-20 dengan terjemah sebagai berikut: “Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana unta diciptakan,” “dan langit bagaimana ditinggikan,” “dan gunung-gunung bagaimana ditegakkan,” “dan bumi bagaimana dihamparkan.”

Jika dimaknai lebih dalam, ayat-ayat ini menyampaikan pesan kepada kita untuk selalu terlibat aktif membaca dan memperhatikan apa yang terjadi terhadap lingkungan kita. Uniknya, susunan empat ayat ini diletakkan setelah ayat-ayat yang membahas kondisi surga yang di dalamnya ada permadani terhampar, gelas-gelas yang tersusun rapi, serta memiliki mata air yang terus mengalir. Penghayatan kita akan mengatakan bahwa al-Qur’an sesunggunya memerintahkan kita untuk terlibat aktif memelihara bumi supaya dapat merasakan surga dunia sebelum menempati surga di akhirat nanti.

Ayat tentang unta dan gunung dapat dimaknai sebagai simbol mengenai pentingnya keanekaragaman hayati yang menjadi penanda keseimbangan ekosistem planet bumi. Keberadaan keduanya sangat penting untuk dijaga karena manusia memiliki kebutuhan yang sangat tinggi terhadap hewan dan juga gunung atau juga hutan karena di dalamnya ada sumber air bersih. Ayat tentang langit, dapat dimaknai sebagai simbol pentingnya kita selalu memperhatikan keseimbangan iklim planet bumi. Oleh karena itu, para pemukim bumi, khususnya para pembaca dan pengiman kitab suci al-Qur’an wajib terlibat aktif dalam menjaga keseimbangan iklim.

Sedangkan ayat tentang bumi adalah simbol tentang rumah kita bersama yaitu planet bumi, dimana kita tinggal di atas tanahnya. Bumi, yang di dalam bahasa Arab disebut ardh dan Bahasa Inggris disebut earth, tidak membutuhkan sistem ekonomi yang ekstraktif dan eksploitatif. Bumi juga tidak membutuhkan orang-orang yang hanya memiliki kecerdasan teknis. Sebaliknya, bumi membutuhkan sistem ekonomi berdaya pulih yang tidak mengeruk, tetapi memulihkan keseimbangannya.

Dalam konteks dorongan untuk menjaga keanekaragaman hayati, al-Qur’an memiliki nama surat yang menggunakan sejumlah nama hewan yang disebutkan dengan jelas, yaitu: al-Baqarah (sapi), al-Naḥl (lebah), al-Ankabūt (laba-laba), dan al-Naml (semut).  Selain itu, al-Qur’an juga menyebutkan sejumlah nama hewan, diantaranya: unta, kambing/domba, anjing, sapi, kuda, keledai, semut, lebah, babi, ular, nyamuk, serangga, laba-laba, dan juga burung.

Selain menyebut nama hewan. Al-Qur’an juga menyebut entitas pohon. Menurut hitungan Muhammad Fuad Abdul Baqi, di dalam kitab al-Mu’jam al-Mufahras Kata pohon diungkapkan dengan berbagai derivasinya disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 27 kali. sedangkan kata-kata taman atau kebun dengan berbagai derivasinya disebut sebanyak 146 kali. Walaupun al-Qur’an tidak menyebutkan perintah menanam pohon secara eksplisit, namun pohon sering disebut-sebut dalam al-Qur’an karena pentingnya keberadaan mereka bagi kehidupan manusia. Sejumlah ayat menyebutkan kata pohon, buah-buahan, kebun-kebun atau taman-taman secara eksplisit. Selain disebutkan untuk menunjukkan entitas nabati, kata pohon –dengan berbagai derivasinya- digunakan dalam al-Qur’an untuk menjelaskan sejumlah perumpamaan. Tujuan utama dari hal ini adalah untuk menjaga agar konsep tentang pohon senantiasa hidup dalam hati dan pikiran manusia. 

Penutup

Bencana alam, ibarat bom waktu. Ia bisa meledak kapan saja tanpa diketahui. Penyebabnya adalah krisis ekologis yang semakin parah. Dampak bencana alam semakin memburuk akibat krisisis iklim yang tak banyak disadari. Dalam pada itu, krisis iklim adalah buah nyata dari krisisi ekologi. Dalam hal ini, masyarakat di tingkat akar rumput adalah pihak yang paling banyak merasakan dampak buruk bencana alam, khususnya bencana ekologis yang diakibat oleh aktivitas manusia.

Untuk mengatasi dampak buruk bencana, kita tidak bisa lagi bertindak seperti pemadam kebakaran, menolong orang dan memberikan donasi kepada korban terdampak bencana. Sudah saatnya kita menyelesaikan persoalan ini dimulai dari hulunya, yaitu menyelesaikan krisis ekologis dengan cara membangun gerakan ekoliterasi.

Gerakan ekoliterasi dapat dilakukan oleh siapa saja yang memiliki kepedulian terhadap masa depan planet bumi. Ia bisa dimulai dari pendekatan hukum, politik, pendidikan, sosial-budaya, bahkan agama. Gerakan ini harus semakin dimassifkan karena krisis ekologis dan bencana terus terjadi dengan tingkat keparahan yang semakin tinggi.

Dalam konteks ini, kitab suci al-Qur’an telah memberikan panduan etis dan filosofis bahkan praktis kepada kita untuk membangun gerakan ekoliterasi. Tak sedikit ayat-ayat al-Qur’an yang mendorong kita memperhatikan dan menjaga keseimbangan planet bumi, dengan cara tidak terlibat dalam aktivitas merusak. Akhirnya, planet bumi akan terus rusak dan bencana akan terus datang menerjang jika kita tidak segera memulai gerakan ekoliterasi dari rumah, masyarakat, dan lembaga pendidikan. Memahami krisis planet bumi memang butuh pemahaman global yang bersifat komprehensif, tetapi gerakannya harus dimulai dari konteks lokal. Jika bukan kita siapa lagi? Jika bukan sekarang, lalu kapan lagi? (*)

Oleh: Parid Ridwanuddin (Penulis adalah Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina Jakarta serta aktivis lingkungan pada lembaga KIARA.)

Tinggalkan Balasan