Membayangkan Kota Tanpa Plastik

Salah satu tantangan ekologi kota yang patut mendapatkan perhatian serius adalah penggunaan produk plastik, terutama plastik sekali pakai. Seperti kita ketahui bersama bahwa produk ini merupakan ancaman nyata bagi tata ekologi kota. Sebab selain tingkat penggunaannya tinggi, harganya murah, dan masyarakat sudah addict dengan produk ini. Padahal, produk ini susah didaur ulang. 

Sementara itu, kita patut gembira karena beberapa kota sudah mulai concern untuk mengurangi penggunaan plastik. Di Kota Bogor misalnya, Walikota Bima Arya sudah sejak tahun lalu melarang keras penggunaan plastik sekali pakai ini di mall dan minimarket. Kini kebijakan itu sudah mulai berdampak. Jika ke mini market, banyak pembeli membawa tempat belanjaan sendiri, atau jika hanya membeli sedikit, mereka menentengnya tanpa harus dibungkus kantong plastik. 

Menurut INAPLAS dan BPS, sebanyak 64 juta ton sampah plastik pertahun dihasilkan bangsa ini. Sebanyak 3,2 juta ton dibuang ke laut. Ini angka yang sangat besar untuk menghancurkan tata ekologi kita di masa mendatang. Lalu, bagaimana seandainya semua kota di Indonesia melarang total penggunaan plastik sekali pakai? 

Pertama, ketika kantong plastik sekali pakai dilarang, maka masyarakat akan memaksakan diri memiliki kantung belanjaan sendiri. Produk kreatif berbasis tas-tas kecil fungsional akan muncul di masyarakat. Bahkan, barang-barang bekas akan dimanfaatkan kembali sebagai alat pembungkus, atau didesain ulang menjadi kantong/ tas belanja. 

Kedua, penggunaan barang-barang yang ramah lingkungan akan kembali meningkat. Contoh, jika selama ini barang daun pisang sebagai pembungkus makanan sudah mulai ditinggalkan, jika plastik sekali pakai sudah dilarang, maka penggunaan daun pisang akan kembali meningkat. Bukan hanya daun pisang, bahkan daun waru, daun singkong, daun jati, akan kembali digunakan. Pembungkus berbasis daun-daun tersebut jelas sangat ramah lingkungan.

Ketiga, dalam tahun kedua pelarangan total plastik sekali pakai, maka pelarangan produk plastik lain harus direncanakan oleh pemerintah. Produk-produk minuman dan makanan yang berbasis plastik seperti botol sekali pakai, pun mulai dilarang. Industri akan mulai merespon itu dengan menciptakan pembungkus makanan itu dari bahan ramah lingkungan, atau dari kaca yang bisa ditukar. 

Keempat, akan muncul tradisi baru di masyarakat jika mau belanja, akan membawa tempat makanan dan minuman sendiri yang lebih sehat dan bersih, seperti rantang, toples, botol dan sebagainya. Tidak akan ada lagi membeli bubur ayam atau nasi uduk yang disimpan pada styrofoam. 

Kelima, karena plastik-plastik dan turunannya sudah mulai berkurang, maka limbah plastik akan menurun drastis, sungai-sungai dan selokan mulai bersih dan berkurang tingkat mampetnya, dan yang lebih menggembirakan, pantai, muara, dan laut akan mulai bersih. Ikan-ikan tidak lagi tersedak karena makan sedotan dan sandal bekas, dan alam akan lebih mudah memperbaharui diri. 

Keenam, setelah beberapa tahun, sungai-sungai dan muara semakin berseri. Orang mulai senang menghabiskan waktu di sempadan sungai yang tertata dan asri. Mereka bisa berwisata dengan biaya murah: menikmati semilir air sungai yang semakin indah karena ikan-ikan sudah mulai nyaman hidup di sana. Mungkin sebagian orang juga memancing beragam ikan tersebut, tetapi sebagian lagi justru senang menebarkan bibit ikan. Sehingga ekologi sungai terjaga dengan baik. 

Kota tanpa plastik sejatinya bukan ilusi. Dengan komitmen yang kuat, visioner, dari hal kecil seperti pelarangan plastik sekali pakai secara konsisten, di masa mendatang justru memberikan warisan yang sangat berharga bagi alam dan lingkungan.

Oleh: Tantan Hermansah

(Pengajar Sosiologi Perkotaan, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)

Telah terbit di koran harian Rakyat Merdeka, 05 Agustus 2019.

Tinggalkan Balasan