Peristiwa pekan ini yang cukup heboh di republik ini, yang kemudian direkam dengan detail dalam media, mengundang banyak publik ikut menganalisis memberikan opini dan lain sebagainya. Satu di antara sekian yang kemudian muncul di hadapan publik adalah persoalan CCTV (Closed Circuit Television). Di mana persoalan CCTV ini di awal-awal mengundang kontroversi karena hilang atau tidak lengkap, karena satu dan lain hal, yang kemudian dianggap mengganggu kinerja aparat penegak hukum.
Artikel ini bukan untuk membahas tentang persoalan CCTV pada peristiwa yang sedang heboh ini, namun ingin membahas bagaimana masalah CCTV dalam kehidupan masyarakat modern, terutama di kota saat ini. Berbeda dengan 15 atau 20 tahun lalu, di mana CCTV demikian eksklusif. CCTV biasanya hanya dimiliki dan digunakan oleh kalangan tertentu. Mereka yang memiliki CCTV bukan hanya golongan yang secara sumber daya memiliki kapasitas dan kualitas lebih dibanding masyarakat kebanyakan, tetapi juga dari sisi lain misalnya aspek sosial-budaya pun tentu harus berbeda, misalnya karena dia adalah tokoh atau orang penting.
Namun seiring dengan capaian-capaian teknologi yang ditemukan oleh umat manusia saat ini, terutama infrastruktur teknologi, maka pengadaan CCTV bukan lagi menjadi barang mewah. Bahkan saat ini CCTV hadir dalam berbagai jenis dan kapasitasnya, termasuk tentu masalah harga. Maka wajar jika kemudian sekarang banyak orang menggunakan CCTV di tempat kediaman, tempat usaha, dan sebagainya.
CCTV dipasang untuk melakukan beberapa hal, misalnya mengawasi aset, melihat dan memastikan keamanan dari sesuatu dan yang terakhir adalah karena CCTV bersifat real time, kadang-kadang bisa dijadikan bukti kuat untuk mengungkap kebenaran suatu peristiwa.
Masyarakat kontemporer (untuk tidak menggunakan istilah “modern”) merasa memerlukan CCTV dalam kehidupannya karena beberapa alasan. Secara sosiologis, relasi-relasi antar individu dalam masyarakat modern semakin intens tetapi sekaligus terbatas. Intens karena ruang sudah dikonversi ke ragam media berbasis internet— sehingga memangkas jarak dan waktu; tetapi di sisi lain interaksi dengan mode konvensional/ tradisional mulai meluruh bahkan hilang.
Di sisi lain, ruang lingkup relasional dibatasi dengan frasa kerja. Kerja bukan hanya sebagai aktivitas, tetapi lebih jauh “kerja” adalah kode budaya yang menunjukkan bahwa seseorang memiliki sesuatu yang bisa ditransaksikan. Karena batas-batas transaksi ini sudah terbatasi, maka banyak orang memerlukan instrumen lain untuk “melembagakan” keterbatasan relasional tersebut. CCTV kemudian menjadi representasi lembaga yang mengatasi celah keterbatasan itu.
Sehingga di ruang kerja yang semakin padat dan intens, di mana ruang relasi di luar kerja menjadi semakin sempit, maka hadirnya teknologi untuk memastikan bahwa semua proses berjalan berbarengan, maka alat yang membantu kenyamanan seseorang ini mengambil fungsinya. CCTV membuat seseorang bisa tetap tenang mengawasi aset, keluarga, atau orang-orang yang perlu diberi perhatian khusus itu, tanpa harus langsung berdekatan dengan subyek atau objek tersebut.
Dalam konteks kehidupan sosial di mana CCTV salah satunya secara jujur bisa merekam perilaku dan hal lain yang berkaitan dengan manusia. Termasuk ketika berhubungan dengan peristiwa yang melekat kepada orang-orang tertentu. Dengan kata lain CCTV memberikan kontribusi kepada menguat atau mengendurnya relasi-relasi sosial yang kemudian juga akan berdampak lebih jauh kepada kualitas kehidupan masyarakat itu sendiri.
Pada masyarakat modern, CCTV adalah kode budaya yang mengandung penanda juga pertanda akan positioning seseorang dalam konteks kehidupan bermasyarakat. CCTV tidak bisa hanya dilihat sebagai benda material semata. Ia telah berubah seperti memiliki nyawa yang memiliki beragam fungsi: sosial, budaya, dan bahkan ekonomi; selain fungsi tradisionalnya untuk merekam peristiwa secara real-time dan kemudian bisa dibuka kembali jika diperlukan hasilnya.
Dalam CCTV ini tampil subyektivitas dari pemilik, di mana seolah-olah dia memiliki kuasa melakukan pengawasan total dan menyeluruh. Sehingga hadirnya CCTV dalam budaya modern, ketika human being tidak bisa lagi diandalkan secara sosial maupun secara moral dan budaya, untuk mengekspresikan sikap jujur dalam kehidupan sehari-hari. Sikap jujur yang menjadi barang langka inilah menjadi alasan banyak masyarakat memerlukan CCTV. CCTV dianggap sangat imparsial karena ketika seseorang mengekspresikan kejujurannya pun, belum tentu dianggap jujur.
Maka ketika ada peristiwa di mana seseorang melakukan kebohongan dengan membuat satu rekayasa peristiwa sosial tertentu, di mana kebohongan yang kemudian diekspresikan secara visual dan demonstratif dalam ruang media, dan secara dramatis diberikan dukungan-dukungan sosial psikologis yang terstruktur, maka bisa jadi realitas akan berubah. Kebohongan menjadi dan dianggap sebagai hal yang benar.
Tentu saja ini adalah di antara pertanda bahwa degradasi moralitas manusia sebagai sosok yang jujur saat ini telah mengalami peluruhan yang demikian tajam. Degradasi moral inilah yang menyebabkan manusia mewakilkan kuasa persaksiaannya dalam kehidupan sehari-hari pada benda yang bernama CCTV tersebut.
Transformasi sosial budaya pada suatu benda yang bernama CCTV hari ini bahkan dilakukan sebagian publik. Sebagai bukti nyata, di level mikro di lingkungan RT tempat saya tinggal, dan mungkin juga terjadi di komunitas level RT lainnya, untuk memastikan keamanan penghuninya pada setiap gang antar blok itu dipasangi CCTV.
Hal ini terjadi karena model pengawasan berbasis manusia itu telah mengalami penurunan kualitas. Misalnya manusia tidak mungkin bisa 24 jam penuh mengawasi segala hal yang terjadi. Kemudian manusia juga memiliki keterbatasan lain, seperti mobilitas dan sebagainya. Sehingga pilihan pada CCTV bagi sebagian orang dianggap bukan hanya persoalan sosial, tetapi juga ekologi dan budaya.
Maka menjadi terang bahwa CCTV menjadi semacam standar baru dimensi relasional manusia modern. Meski realitas ini juga menjadi penanda, sedikit demi sedikit teknologi akan mengikis pola-pola hubungan manusia secara mendasar.
Dr. Tantan Hermansah
Pengajar Sosiologi Perkotaan dan Ketua Prodi Magister Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta
Rabu, 24 Agustus 2022
https://rm.id/baca-berita/humaniora/137608/cctv-di-kota