Hiling sebagai Gaya Hidup Masyarakat Perkotaan

Saat ini jika kita melihat fenomena akhir pekan, terutama masyarakat kawasan perkotaan, banyak yang bepergian ke luar daerahnya atau wilayahnya untuk menuju titik-titik tertentu. Mereka pergi dengan beragam niat dan motivasi. Di antaranya adalah ingin re-charger mental dan fisiknya. Hal ini dimaksudkan agar ketika hari kerja tiba pada esok atau lusanya mereka merasa segar kembali, bersemangat kembali, atau siap “bertempur” kembali.

Belakangan kebiasaan itu kemudian ada yang dipopulerkan sebagai hiling (mungkin dari Bahasa Inggeris: healing). Sebenarnya istilah hiling itu artinya “sembuh”. Namun kemudian term tersebut ditransformasi dalam bahasa gaul menjadi suatu keadaan atau kegiatan yang merujuk kepada model aktivitas yang diarahkan untuk mengobati rasa sedih atau upaya mengungkapkan segala emosi atau melepaskan beban yang dirasakan oleh seseorang baik dalam hati atau fisik, sehingga kemudian dengan hiling itu, maka dia merasakan sembuh, atau terobati.

Cara hiling itu bisa dilakukan dalam berbagai macam kegiatan. Misalnya sekadar bertemu teman-teman nongkrong; pergi bersama dengan metode touring; olahraga bersama; dan lain-lain sebagainya. Jenis-jenis hiling yang kebanyakan dipilih oleh orang kota itu terutama dengan pergi ke sebuah tempat. Misalnya ke tempat yang indah yang cantik,  sehingga mereka selain bisa melepaskan beban dan kepenatan, mereka juga bisa mendapatkan pengalaman baru, cerita baru, inspirasi baru, yang diharapkan semua itu bisa berkontribusi kepada aktivitas mereka pada minggu berikutnya.

Dengan demikian, hiling bisa dikategorikan pada berbagai aktivitas yang ujungnya adalah aktivitas yang bisa mengurangi atau menghilangkan beban yang selama ini mereka rasakan.

Manusia memang perlu melakukan hiling ini. Ada beberapa alasan yang melatarinya, mengapa manusia, terutama di kota, memerlukan aktivitas yang disebut sebagai hiling.  Pertama, kebanyakan manusia kota itu dikonstruksi oleh satu budaya yang bernama “kerja”.

Kerja dalam struktur sosial dan budaya masyarakat kota itu merujuk pada satu kegiatan rutin yang dilakukan. Kegiatan biasanya dilakukan dalam timeline yang jelas, misalnya dari Senin sampai Jumat, dengan jam tertentu, dengan aktivitas tertentu, bahkan dengan sarana transportasi tertentu, serta kegiatan-kegiatan lain yang baku dan tentu.

Dengan kegiatan itulah kemudian manusia itu memiliki identitas, seperti selain disebut sebagai memiliki pekerjaan, juga dia bisa mendapatkan penghasilan. Belakangan, kalangan millenial bahkan jam kerja mereka itu tidak lagi merujuk kepada model konvensional seperti di atas. Di mana ada hari yang tentu, ada jam yang tentu dan lain-lain. Mereka ini bahkan bisa bekerja 24 jam dengan 7 hari seminggu. Karena basis yang mengkonstruksi pekerjaan mereka bukanlah rutinitas lagi, tetapi output.

Selanjutnya, apakah hiling itu berdampak jangka pendek atau jangka panjang pada kesehatan mental dan fisik pelakunya, biasanya memang momentum hiling itu terjadi ketika seseorang merasakan bahwa beban yang dirasakan demikian berat. Sehingga mereka memerlukan pelepasan.

Pelepasan dari beban itu biasanya dilakukan oleh orang kota ketika beban pekerjaan atau pun beban hidupnya sudah sangat memuncak. Atau hiling juga diperlukan ketika sudah menyelesaikan satu output tertentu. Sehingga hiling menjadi semacam perayaan kesuksesan juga bagi pelakunya.

Kontribusi hiling pada manusia sangat besar. Pertama, tentu saja hiling berkontribusi pada kesehatan fisik. Banyak mereka yang melakukan hiling dengan aktivitas yang sangat baik dan positif. Misalnya melakukan kegiatan olahraga bersama atau melakukan kegiatan outdoor activities yang kemudian mereka bisa mendapatkan terpaan sinar matahari dan udara bersih yang baik.

Hal ini itu tentu saja akan memberikan efek kesehatan. Di mana hormon positif: dopamin, serotonin, oksitosin, dan endorphin, yang tadinya beku kemudian bisa mencair.

Kedua, kontribusi berikutnya adalah tentu saja secara psikologis. Karena banyak mereka yang melakukan hiling itu justru sebetulnya ingin melepaskan kepenatan yang sifatnya psikis. Sebab dengan pergi ke tempat baru yang bisa memberikan inspirasi baru dan lain-lain, dari situ dia bisa menemukan kesadaran baru pada persoalan-persoalan yang dihadapi dalam kehidupannya.

Ketiga, hal lain juga yang merupakan kontribusi hiling adalah menguatnya hubungan-hubungan sosial. Sebagaimana diketahui bersama bahwa dunia kerja mengkonstruksi sedemikian rupa subyeknya untuk bekerja layaknya mesin. Ketika mereka bekerja layaknya seperti mesin ini, maka berarti hubungan hubungan yang sifatnya kemanusiaan harus sedikit dieliminasi.

Hubungan-hubungan kemanusiaan itu harus diubah menjadi hubungan yang sering disebut sebagai hubungan profesional. Di mana ketika kita mendengar kata profesional ini di ruang kerja, berarti aspek-aspek lain seperti kemanusiaan, saudara dan lain-lain itu harus sama sekali atau sedikit diabaikan, atas nama objektivitas. Maka dengan hiling ini, relasi-relasi sosial kemanusiaan kembali dirajut, direkatkan dan diperkuat.

Keempat, kontribusi hiling ini tentu saja adalah ekonomi. Karena orang yang kemudian melakukan hiling di luar ruang kehidupan hariannya, maka tentu membutuhkan sarana-sarana penunjang. Sarana penunjang inilah yang kemudian tentu memiliki nilai-nilai ekonomi. Seseorang berkumpul di kawasan Puncak, atau ketika seseorang berkumpul bersama dengan teman-temannya, tentu ada biaya yang harus dikeluarkan.

Contohnya adalah ketika kegiatan bernuansa hiling dalam acara yang bertajuk memancing bersama yang dilakukan Yayasan Syarif Hidayatullah di Parung Bogor. Di mana kegiatan memancing itu dilakukan dengan penuh keceriaan, senda gurau, dan tiada batasan antara pimpinan dan bawahan, maka paling tidak hubungan hubungan sosial antar pelaku itu semakin meningkat. Selain bahwa kegiatan itu menghasilkan ekonomi bagi banyak pihak.

Kemudian untuk meningkatkan kualitas hiling ini, tentu saja pemerintah harus memberikan perhatian. Sebab jika semuanya disandarkan dan diserahkan kepada masyarakat begitu saja, tentu hiling ini hanya akan menjadi ladang bisnis an sich. Maka peran pemerintah sesungguhnya sangat signifikan meningkatkan kualitas hiling ini. Karena bangsa yang sehat atau masyarakat yang sehat, akan mendukung agenda bangsa yang sehat. Lalu bangsa yang sehat tentu saja akan menghasilkan negara yang sehat.

Tentu saja sehat di sini harus kita maknai dalam beragam bentuk. Sehat secara fisik, psikis, sosiologis bahkan secara budaya dan ekonomi. Jika semua ini bisa dilakukan dan pemerintah benar-benar memfasilitasi kegiatan, kita bisa punya harapan bahwa ke depan kita akan mendapatkan masyarakat yang meski mereka memiliki jam kesibukan tinggi, tetapi dengan hiling berkualitas, mereka kemudian lebih cepat melakukan recovery dan siap kembali berkontribusi untuk negeri.

Dr. Tantan Hermansah
Pengajar Sosiologi Perkotaan dan Ketua Prodi Magister Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) 

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta

https://rm.id/baca-berita/life-style/138197/hiling-sebagai-gaya-hidup-masyarakat-perkotaan

Tinggalkan Balasan