Generasi Tanpa Rumah

Beragam teknologi yang memberikan kemudahan kepada  banyak orang untuk berinteraksi pada medium yang bernama kerja atau dengan institusi pemberi kerja saat ini telah menyebabkan di masa mendatang akan banyak generasi yang tidak memerlukan rumah atau tempat tinggal permanen.

Hal ini disebabkan kebutuhan akan rumah biasanya didasari oleh faktor-faktor sosial dan kultural yang mulai mengalami transformasi radikal.

Pertama, di masa lalu rumah diperlukan mendekat ke tempat kerja karena bisa meminimumkan biaya transportasi. Biaya tersebut bisa menyebabkan tergerusnya sebagian pendapatan.  Kedua, rumah diposisikan sebagai arena untuk membesarkan dan mengembangkan keluarga biasanya dipilih pada lingkungan yang dianggap cocok untuk bersosialisasi, berinteraksi, dan sebagainya. Ketiga, rumah atau kepemilikan terhadap rumah adalah simbol yang melekat pada persepsi orang untuk menunjukkan bahwa mereka sudah mencapai taraf mapan. 

Tetapi di masa mendatang ketiga hal itu ternyata tidak akan lagi menjadi faktor penentu seseorang untuk memiliki tempat tinggal. Pertama, karena bekerja tidak lagi menjadi keharusan harus selalu hadir di tempat kerja. Keberadaan sistem kerja berbasis virtual office yang menggunakan teknologi digital akan memberikan pengaruh dan pada sistem kerja itu sendiri. Sehingga kehadiran fisik tidak lagi menjadi faktor utama dan indicator produktivitas. Beberapa kalangan muda yang bekerja pada sektor pelayanan yang berbasis IT malah sudah melakukan model kerja tanpa hadir fisik di kantor ini sejak lama, tanpa harus menurunkan kualitasnya.

Kedua, pengalaman baru adalah hal yang selalu menjadi impian bagi banyak kaum muda. Apalagi di masa mendatang, dengan sarana yang semakin bagus, sistem transportasi yang semakin terjangkau, maka hidup dengan cara berpindah-pindah tanpa harus kehilangan pendapatan, ini akan memberikan pengaruh kepada kepentingan dan kebutuhan memiliki tempat tinggal permanen. Sebab ketika seseorang tidak lagi memiliki rumah tinggal, dia akan merasa bebas dan merdeka untuk bisa tinggal di manapun. Kemudian dengan bisa tinggal di mana pun, mereka bisa mendekat ke ruang yang bisa memberikan pengalaman baru, yang itu justru akan dianggap lebih seru dan mengasyikkan.

Ketiga, saat ini sebagian masyarakat dunia ada pada fase keinginan untuk berbagi momen. Maka dengan sistem hidup yang nomaden tersebut, keseruan ini pun bisa berkontribusi kepada konten yang akan mereka share kepada banyak orang di ruang media sosial yang mereka miliki.

Keempat, beban rumah permanen sangat tinggi, seperti selalu membutuhkan perawatan dan kebutuhan-kebutuhan rutin lainnya yang sangat costly. Berbeda dengan kalau dia mengandalkan rumah dengan sistem sewa, selain dia bisa dengan mudah pindah ke tempat baru yang lebih cocok dengan pengalaman yang ingin mereka gali dan rasakan, mereka juga tidak akan terlalu dibebani biaya perawatan. Sementara pendapatan yang ada, sebagian bisa disimpan untuk memenuhi kebutuhan lain, misalnya untuk memiliki rumah impian di masa tua.  

“Homeless Generation” atau enerasi tanpa rumah di masa depan bukanlah kelompok masyarakat yang tidak mampu memiliki rumah. Sebaliknya mereka adalah generasi mapan yang memiliki kebebasan untuk memilih rumah tempat mereka tinggal.

Lalu bagaimana kita membaca fenomena ini? Dari perspektif sosiologi, proses perubahan model kepemilikan atau keinginan untuk memiliki sebuah rumah itu bisa dilihat dari cara pandang fungsional.

Pertama, zaman dulu rumah memang cerminan dari banyak hal misalnya kemapanan, harkat, martabat, dan bahkan wibawa seseorang. Hal ini terjadi karena rumah dulu adalah ruang pemilik untuk berinteraksi dengan publik luas seperti tetangga se-kampung atau se-komplek.

Saat ini fungsi-fungsi itu sudah tergerus sedemikian rupa. Misalnya ketika seseorang mengadakan pesta untuk pernikahan atau ulang tahun atau kegiatan lain yang bersifat publik, saat ini sudah tersedia gedung yang siap disewa dengan daya tampung yang jauh lebih besar ketimbang di rumah. Termasuk kenyamanan sarana pendukung seperti ruang parkir, toilet dan sebagainya. Sehingga kebutuhan untuk memiliki rumah yang luas karena akan ada ngumpul seperti itu pun menjadi berkurang.

Terlebih lagi tidak sedikit sekarang acara-acara pertemuan kecil berbasis keluarga pun juga, dengan beragam alasan seperti: ribet, sibuk dan capek, mereka mengandalkan jasa pihak ketiga seperti restoran atau kafe untuk mewakili kebutuhan tersebut. Sehingga dalam pertemuan tidak perlu lagi dipusingkan masalah makanan dan sarana lainnya itu.

Kedua, aspek fungsionalisme lain yang berkaitan dengan rumah seperti tempat berkumpul dan kemudian menyemai kehidupan pun sudah bisa diwakili oleh institusi lain seperti di rumah atau di apartemen sewa ini. Bahkan mereka jika memiliki uang lebih justru tinggalnya dari hotel ke hotel. Alasannya sederhana: semua sarana tersedia lengkap dan dekat, seperti sarana olahraga karena kuliner dan sebagainya. Sehingga tinggal di hotel menjadi pilihan dan itu lebih memudahkan yang secara kalkulatif menekan pengeluaran.

Ketiga, aspek fungsional lain secara sosiologis hari ini memang kita mengalami transformasi relasional yang luar biasa besar, di mana acara-acara berbasis kumpul-kumpul yang dulu begitu melekat dan itu menghasilkan perikatan perikatan antar sesama dan bertetanggaan, hari ini sudah berkurang drastis. Ruang-ruang sosial sekarang jauh lebih rame lebih sibuk pada medium virtual seperti sosial media maupun hal-hal lain. Sementara ketika mereka pulang ke tempat tinggal yang diinginkan hanya untuk beristirahat dan atau bercengkrama dengan keluarga inti saja.

Jika pun ada ruang sosial lain yang dijadikan tempat pertemuan atau membangun dan mempererat komunitas yang bersifat fisik, biasanya ada di tempat-tempat ibadah seperti masjid, gereja dan sebagainya, atau dalam kegiatan sosial. Bahkan mungkin tempat ibadah jauh lebih intens lagi, disbanding kegiatan sosial seperti kerja bakti dan hal serupa. Dengan cara pandang seperti inilah maka wajar jika ke depan generasi tampa rumah ini akan semakin besar. Bisa jadi keinginan untuk memiliki rumah permanen hanya mereka putuskan ketika usia sudah mulai senja, dan pada saat itu keinginan untuk bercengkrama dan lebih dekat dengan keluarga akan semakin besar.

Tinggalkan Balasan