Mendefinisikan Ulang Kegembiraan Warga Kota

Salah satu dampak paling nyata dengan adanya lockdown (meski istilah ini tidak menjadi kebijakan resmi setiap pemerintahan di Indonesia) telah membuat banyak orang ridho untuk membatasi diri keluar rumah. Lalu, bagaimana dampak ikutan dari kesukarelaan diri untuk tidak keluar rumah itu pada warga kota? 

Dalam kehidupan manusia, banyak hal yang tercipta secara berpasangan. Seperti kiri dan kanan, realitas didefinisikan oleh manusia secara binerial dan diametratif. Ada memang posisi yang berada di antara keduanya. Namanya posisi di tengah. Tetapi, penempatan posisi tengah biasanya jika sisi yang bersebelahan secara ekstrim mulai saling mendekati. 

Contoh, ketika Marx (ditemani Engels) menulis satu monografi panjang tentang masyarakat dalam “ Manifesto of The Communist Party ” (1872), ia terlebih dahulu melakukan kategorisasi masyarakat dalam dua kutub kelas: Atas atau elite atau borjuis dan bawah atau proletar. Kontestasi antara kedua entitas inilah yang kemudian menghasilkan konflik. Belakangan Marx kemudia menambah kategor baru yakni kelas menengah. 

Kembali ke masalah yang dibahas di atas, di mana binerial realitas yang dirasakan oleh manusia atau masyarakat kota hari ini, adalah kegembiraan. Lawannya adalah kedukaan.

Kegembiraan merupakan salah satu pilar kebahagiaan. Masalahnya, sebelum bencana virus ini ada, kegembiraan yang didefinisikan oleh warga kota, banyak yang dikaitkan dengan aspek-aspek di luar diri mereka sendiri. Misalnya, mereka akan gembira jika setiap akhir pekan pergi berbondong-bondong ke puncak, menyewa vila, bermacet-macet, nongkrong dari mall ke cafe atau sebaliknya, serta sejumlah visualisasi mengenai kegembiraan. Mereka akan gembira jika di luar rumah, berkumpul bareng gank, ketawa-ketiwi smbil (sedikit) menghibah, dan sebagainya. 

Dengan kata lain, visualisasi kegembiraan melekat pada sesuatu di luar dirinya. Alhasil, karena di luar rumah maka gembira membutuhkan modal. Ini persis seperti rumus Marx juga ketika ia menceritakan seorang yang bekerja untuk mendapatkan upah, dan dengan upah itu ia akan membeli kebutuhan pokoknya untuk menyambung hidupnya. 

Modal dikeluarkan untuk mendapatkan yang lain: kegembiraan. Mereka kadang tidak peduli ketika modal yang dikeluarkan untuk “membeli” kegembiraan itu, akhirnya harus mengorbankan yang lain, misalnya: waktu untuk keluarga. 

Definisi akan kegembiraan seperti ini memang menghasilkan nilai sosial baru, yakni gaya hidup. Gaya hidup itu ada biaya/ modalnya. Semakin besar modalnya, maka gaya hidupnya pun bisa dikelaskan. Secara sederhana: berapa modal yang dimiliki, maka gaya hidup pasti tersedia. 

Namun wabah yang hari ini tengah kita hadapi telah membuat kita harus mencerna ulang. Kita kemudian diistirahatkan untuk memvisualisasikan kegembiraan dalam wujud yang selama ini ada. Kegembiraan yang kemudian bisa diraba dalam Bahasa dan pesan simbolik pada media sosial, dituntut untuk ditafsirkan ulang lagi. Karena hari-hari belakangan kita diminta untuk merawat kegembiraan itu justru di dalam rumah.

Bayangkan, warga kota hari ini dituntut untuk membangun kegembiraannya sendiri-sendiri. Di dalam rumahnya masing-masing. Dengan anggota keluarganya saja. Serta membatasi diri untuk berinteraksi di luar rumah. Warga kota harus membangun dan mengembangkan kegembiraan itu tanpa harus bermacet ria ke tempat hiburan atau tempat indah seperti puncak dan pantai.

Di sinilah proses mendefinisikan ulang kegembiraan warga kota ini kemudian muncul. Seperti bisa dilihat dari media sosial, dengan kreativitas bahkan beberapa dari warga kota itu bisa berbagi kegembiraan. Mereka merianggembirakan diri dengan beragam cara: konser, melompat-lompat, olahraga, membuat masakan sendiri, dan beragam kegiatan lain yang cukup menggembirakan. Mereka seperti menemukan kesejatian dari kegembiraan itu sendiri. Di rumah, pada keluarga, bukan di mana-mana. Memang untuk mengelola ruang dan waktu seperti sekarang, kita harus kembali ke dalam diri kita sendiri. Seperti pesan lagu Ebiet G. Ade: “ … Tengoklah ke dalam sebelum bicara.. Singkirkan debu yang masih melekat … ”

Oleh: Tantan Hermansah
(Pengajar Sosiologi Perkotaan, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)
(Ketua Program S2 KPI; Sekjen P2MI)

Tinggalkan Balasan