Kota Yang Terkunci dan Nasib Usaha Kelas Bawah

Bencana yang sedang dihadapi masyarakat saat ini jelas akan memukul banyak sektor. Salah satunya adalah sektor pariwisata. Industri pariwisata sejak lama sudah menjadi salah satu tulang punggung perekonomian Negara. Bahkan pada tahun 2019, PDB sektor ini menjadi yang tertinggi dengan jumlah kunjungan wisata manca Negara mencapai 20 juta serta kontribusi devisa mencapai 280 triliun (Eva Fitriani, investor.id, 2019).

Lalu, bagaimana jika sektor ini terpukul dengan musibah yang terjadi saat ini. Jelas bahwa selain kita akan kehilangan potensi devisa, juga banyak sektor wisata turunannya akan juga terganggu signifikan. Salah satunya adalah wisata kota atau urban tourism. Terutama sektor pariwisata yang dikelola oleh usaha kecil menengah di perkotaan.

Meski urban turism lebih mengandalkan wisatawan lokal, tetapi jika sektor makronya tidak berjalan dengan normal, dipastikan akan banyak terganggu juga. Sektor yang cukup banyak dikelola oleh usaha kecil menengah ini dalam beberapa hal cukup tergantung dengan usaha besar.

Kembali ke masalah wisata di kota yang secara umum diisi oleh wisata model eating, playing dan shopping, maka bagaimana jika sektor ini “terancam”?

Seperti kita ketahui, sektor ini banyak yang dikelola secara konvensional dengan mengandalkan jumlah tenaga kerja cukup kecil perunitnya: 2 – 10 orang. Untuk keperluan suplai lainnya, sektor ini lebih banyak mengandalkan model kemitraan dengan provider. Sehingga dengan mengandalkan kemitraan ini akan ada distribusi keuntungan sekaligus nilai tambah yang cukup untuk berbagi. Inilah salah satu model ekonomi bazar yang hidup dalam sistem ekonomi kecil di Indonesia. Dalam Bahasa Scott (1982), ekonomi a la petani yang berkubang pada kaidah “menimumkan resiko kerugian maksimum”.

Lalu, apa jadinya jika sektor ini terpukul (juga)? Ke mana ribuan atau malah ratusan ribu pekerja yang menggantungkan hidup pada usaha-usaha mikro tersebut, jika sektor wisata kota berbasis usaha kecil ini terhenti karena kebijakan lockdown. Kelompok ini dipastikan akan sangat menderita karena bukan entitas yang memiliki asuransi dan tabungan memadai untuk bertahan selama masa pandemic berlangsung. Mereka adalah kelas sosial yang tidak bisa mengakses limpahan stok pangan karena materi untuk membelinya sangat terbatas. 

Di sinilah kemudian diperlukan kejernihan berfikir para pemangku kepentingan. Sebab dengan mematikan suatu kawasan (kota), maka resiko sosial lain yang dihadapi masyarakat jauh lebih besar lagi. Bahkan bisa jadi lebih besar dari musibah pandemic virus itu sendiri.

Jika kita runutkan apa saja potensi-potensi sosiologis yang akan muncul jika kebijakan kuncitara ini benar-benar terjadi. Pertama, kelas-kelas sosial yang ada pada garis menengah bagian atas akan rubuh dan bahkan kembali merosot ke bawah. Mereka yang sudah bersusah payah “naik kelas” ini, akan berjatuhan karena tidak memiliki sumberdaya yang cukup untuk bertahan dalam durasi yang lama.

Kedua, seiring dengan “berguguran”nya entitas menengah yang ada pada lapisan sosiologis teratas itu, maka jarak sosiologis-kesejahteraan masyarakat akan semakin lebar. Hal ini biasanya disederhanakan menjadi rasio gini yang dicerminkan dalam angka yang semakin besar. Ketiga, penyangga ekonomi bagian bawah yang selama ini kadang jadi benteng terakhir, seperti usaha mikro, pun tidak akan sanggup menjadi penahan kelemahan ekonomi regional tersebut. Karena salah salah kekuatan mereka adalah manakala terjadi interaksi antar wilayah dan strata sosial.

Oleh karena itu, yang harus dilakukan oleh Negara adalah memelihara daya beli kelas sosial ini dengan mencari cara agar ekonomi mereka yang “secukup hidup” itu terus berjalan.

Oleh: Tantan Hermansah
(Pengajar Sosiologi Perkotaan, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)
(Ketua Program S2 KPI; Sekjen P2MI)

Tinggalkan Balasan