Kota Alien

Dalam salah satu Teori Sosiologinya, Karl Marx (1818-1883) menyebutkan konsep alienasi. Alienasi itu sederhananya begini. Masyarakat modern dengan apa yang diciptakannya, justru menghasilkan dunia baru: keterasingan. Keterasingan itu atau asing itu seperti alien. Maka muncul konsep alienasi. Adapun salah satu faktor yang menciptakan keterasingan adalah “dunia kerja”.

Dunia kerja menciptakan keterasingan karena manusia dipaksa untuk hidup dalam ritme yang tidak bebas. Sebagai manusia (human being), ia harus menyesuaikan dengan jadual yang seperti mesin. Berangkat jam berapa, lalu mengerjakan apa, berinteraksi dengan siapa, dan kemudian menghasilkan apa, serta pulang jam berapa. Sang manusia melakukannya terus menerus. Bahkan karena sudah otomatis, banyak tindakannya sudah tidak lagi memerlukan pemikiran lagi.

Penjelasan Marx yang sudah lebih dari satu abad ini semakin menemukan kebenarannya hari ini. Manusia modern sudah melakukan “hijrah” dari hiruk pikuk dunia fisik ke dunia lain: maya. Dunia maya adalah dunia rekaan baru yang dihasilkan manusia, berbasis bit dan algoritma. Ia dihadirkan sebagai proyeksi atas imajinasi manusia saat ini.

Banyak manusia modern lari ke sana. Mereka “lari” dari dunia nyata karena merasa ada kebebasan di situ. Meski saat ini sudah mulai dimasuki oleh hukum dan sistem dari dunia fisik, tetapi model yang dibangun dalam dunia maya, memungkin beberapa orang membuat sistem dan dunianya sendiri.

Dunia maya memungkinkan berbagai entitas membuat, menciptakan, dan mengelola sistem dunianya. Mereka hidup, berinteraksi, layaknya di dunia fisik. Kelebihannya, entitas yang hidup di dalamnya bisa dibuat sesuai dengan kemauan mereka. Jumlah mereka kadang mencapai ratusan orang, bahkan ribuan. Jika ada kerinduan untuk tatap muka, mereka melakukan pertemuan di dunia fisik dalam bentuk kopi darat, gathering, dan sebagainya.

Dalam konteks Teori Alienasi, perilaku ini merupakan bentuk lain dari alienasi. Jika pada fase awal alinenasi dihasilkan oleh produk pikiran yang bernama “kerja”. Pada fase ini, alienasi ada karena produk yang diciptakan untuk (tadinya) mendukung pekerjaan. Dunia-dunia maya hadir awalnya karena ingin memberikan kemudahan berbagi data; lama-lama data-data yang dibagi itu justru data personal.

Data personal itu tadinya mungkin hanya berupa alamat, golongan darah, nomor identitas, dan hal-hal lain yang mudah diidentifikasi. Namun seiring dengan perjalanannya, data-data itu adalah hal-hal yang sifanya psikis seperti perasaan, harapan, dan sebagainya. Di sinilah kemudian data-data personal itu “menyangkut” perasaan dan kehidupan yang lain. Ada yang benar-benar merasa terwakili, ada yang merasa “menyambung” dengan imajinasinya.

Maka jangan heran jika ada orang yang berlama-lama menatap layar gawainya yang memvisualisasikan kehidupan idolanya. Idolanya yang memiliki mobil mewah, rumah bagus, dan sebagainya, seolah-olah memproyeksikan kehidupan yang diimpikannya. Meski seperti bumi dan langit, tetap ada penyambungnya: imajinasi.

Di sinilah alienasi kehidupan mulai berlaku. Banyak dari warga kota ingin hidup seperti imajinasinya. Seperti di film-film yang mereka lihat, mereka berusaha melakukan replikasi dalam kehidupan kesehariannya. Mereka menyadari bahwa film itu karya imajinasi. Aktor yang memerankannya pun, sedapat mungkin menerjemahkan imajinasi tersebut. Jadi di sinilah berlaku imajinasi berlapis bertingkat. Imajinasi dalam imajinasi.

Alhasil relasi-relasi antar manusia penuh drama. Ketika berkumpul, yang dibicarakan kemudian sesuatu yang tidak nyata. Ini semakin menambah kuasi keterasingan.

Maka ketika ada wabah seperti hari ini, manusia kemudian dipaksa untuk semakin terasing. Isolasi dikenalkan oleh aparat. Lalu, kota-kota membeku dengan kesunyiannya. Apa yang kemarin diimajinasikan dalam film “A Quiet Place” (2018), seperti menjadi nyata. Diam menjadi emas.

Oleh: Tantan Hermansah
(Pengajar Sosiologi Perkotaan, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)
(Ketua Program S2 KPI; Sekjen P2MI)

Tinggalkan Balasan