Robohnya Sekolah Kami

Di jaman keemasan, guru adalah sosok paling keren. Mereka adalah subyek yang dihormati, tokoh yang disegani, dan agensi perubahan yang dituruti. Dalam bahasa kita, guru bahkan dianggap sebagai pribadi yang mendapatkan predikat “digugu dan ditiru”. Tidak banyak sosok yang memiliki predikat ini.

Guru adalah pribadi mulia. Ahlak dan perilakunya yang indah, menunjukkan bahwa ia bisa menjadi teladan bagi anak-anak didiknya. Guru adalah agensi utama pendidikan. Tidak jarang, ia dalam menunjukkan sikap profesionalitasnya, kepentingan-kepentingan pribadi dinomor sekiankan. Anak-anak dan lembaga tempatnya mengabdi menjadi hal prioritas dalam kehidupannya.

Guru adalah pribadi yang duapuluh empat jam hadir dalam kehidupannya. Ia tidak akan (pernah) bisa membelah diri bahwa di sekolah menjadi guru; (sedang) di masyarakat “hanya” warga biasa. Ia ditakdirkan menjadi diri yang utuh; tidak terkuliti waktu dan keadaan; juga tidakberati label materi. Mau ia memiliki kelimpahan materi atau malah terlihat pas-pasan, guru tetaplah guru. Sosok hebat yang paling patut digugu dan ditiru.

Kita semua nyaris bisa dikatakan terdidik oleh guru-guru. Baik guru-guru yang ada di sekolah formal maupun guru di tempat atau lembaga lainnya. Kebanyakan guru memiliki visualisasi yang sama bagi anak didiknya: tanggungjawab, ikhlas, mengayomi, empati, dan teladan dalam mengedepankan kepentingan orang lain dibanding kebutuhan dirinya.

Maka jangan heran, ketika seorang guru lewat, setiap orang yang mengenalnya akan berhenti. Mereka akan merasa tidak enak jika harus mendahului. Tidak jarang, mereka akan berjejer untuk sekedar bisa bersalaman bahkan mencium tangan sang guru.

Namun di dunia modern, model-model relasi guru, murid, dan masyarakat mengalami beberapa perubahan. Guru professional dimaknai ulang dengan cukup melaksanakan tugas mengajar dan mendampingi selama dalam ruang lingkup sekolah dan belajar. Di luar itu, dia manusia biasa yang bisa diperlakukan sama: tanpa penghormatan apalagi sikap special.

Guru yang tadinya adalah subyek pantulan beragam ahlak dan cermin kebaikan; berubah menjadi pekerja lembaga dengan unit kerja di kelas. Siswa bukan lagi murid. Dia adalah customer. Sebagaimana umumnya customer, maka sikap terhadap mereka berubah total. Mereka lebih berkuasa dari lembaga itu sendiri. Subyek guru berubah dari pantulan ilmu pengetahuan, menjadi penyedia kebutuhan customer.

Jika dulu guru adalah penyebab murid ada; sekarang justru customer itu subyek utamanya. Mereka yang membuat list kebutuhan dan guru-guru harus siap sedia memenuhinya. Jika tidak, customer memiliki kekuasaan untuk memutus relasi dengan guru tersebut.

Sehingga karena perubahan yang signifikan tersebut, guru banyak kehilangan citra kemuliaan dan penghormatannya. Guru-guru itu jelas bekerja tidak karena citra dan kehormatan. Tetapi karena ilmu pengetahuan dan kesediaan diri untuk menunaikan tugas tersebut, maka citra dan penghormatan seperti melekat secara otomatis.

Robohnya sekolah yang merupakan payung yang menaungi guru itu memang sudah lama terlihat. Swastanisasi pendidikan bukan hanya menyerahkan pengelolaan dan sistem pendidikan ke pihak swasta yang berorientasi bisnis dan keuntungan. Akan tetapi lebih jauh justru tujuan, arah, dan filosofi dari pendidikan itu sendiri. Beragam metode dikembangkan bukan untuk melayani pencarian, pengembangan, dan penguatan ilmu pengetahuan. Tetapi untuk melayani kebutuhan institusi terkuat: customer yang berlaps dan bertingkat.

Maka ketika ada guru yang salah, karena sebagai subyek sudah lama berubah, mereka tidak lagi memiliki privilege akan profesi yang melekat kepadanya itu. Marwah itu sudah lama terkikis. Bahkan, karena sejak berubah dari guru ke pekerja pendidikan, para “mantan murid” mereka bisa memperlakukan sama atau bahkan “lebih sadis dari begal motor”.

Oleh: Tantan Hermansah
(Pengajar Sosiologi Perkotaan, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)
(Ketua Program S2 KPI; Sekjen P2MI)

Tinggalkan Balasan