Kota dan Perhelatan

Banyaknya kota-kota di dunia, menyebabkan mereka mengalami proses kontestatif alami. Setiap kota berlomba-lomba membuat sesuatu yang bisa menarik pihak luar agar bisa mengenali lebih dalam akan kekayaan kotanya. Ragam kemampuan ditumpah-ruahkan agar kota itu terkenal secara positif. Rumusnya: Semakin terkenal, maka kota tersebut akan semakin mendapatkan kunjungan dari pihak-pihak lain di luar warganya. Semakin banyak warga luar mendatangi kota tersebut, maka potensi income atau pemasukan bagi warga semakin tinggi.

Masalahnya adalah nyaris bisa dikatakan setiap kota berpikiran sama. Meski aktualisasi dan implementasinya berbeda-beda, tetapi kehendak untuk meningkatkan popularitas kota terus menjadi upaya bersama. Di sinilah penting apa yang kemudian disebut sebagai “city branding”.

Banyak kota-kota di dunia dikenali dengan, sederhananya, dua strategi city branding: pertama, menghidupkan kekayaan lokal dengan bungkus dan proses yang modern; dan kedua, meniru atau mengcopy paste apa yang sudah ada di kota lain yang sudah ada dan terkenal lebih dulu.

Kedua strategi tersebut memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Cara pertama seperti yang dilakukan oleh berbagai Negara yang sudah lama menikmati warisan masa lalu sebagai destinasi budaya; Dengan kekayaan budaya dan sejarah yang dimilikinya itu, kota-kota tersebut aktif menjualnya ke pihak luar dan akhirnya mendatangkan keuntungan bagi Negara dan warganya.

Adapun cara-cara kedua umumnya dilakukan oleh Negara-negara dengan membasiskan pada event-event tertentu. Misalnya sewaktu Indonesia menjadi even Asian Games pada Tahun 2018 lalu. Pada saat moment tersebut Indonesia mengunjukan kebolehannya dalam memvisualisasikan kekayaan budaya Indonesia, yang kemudian menuai banyak  pujian. Ujung dari semua itu adalah menciptakan persepsi pada pihak lain mengenai Indonesia.

Saai ini, penguasaan akan fitur teknologi bukan lagi milik segelintir orang. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kita bisa mengatakan bahwa hampir setiap orang menguasai fitur teknologi tersebut, bisa mengoptimasinya untuk eksistensi diri maupun lembaganya. Flatform ini semakin kuat karena melekat kepada fenomena massif dalam media sosial.

Dengan realitas seperti ini dibutuhkan kecerdasan untuk melakukan city branding. Sebab kalau biasa-biasa saja, maka proses membuka mata dunia atas kekayaan budaya dan alam yang kita miliki, bisa menguap sia-sia.

Pemerintahan kota harus menyadari sejak awal bahwa proses ini seperti sedang baku hantam di sebuah arena, di mana pemainnya termotivasi sama-sama ingin memenangkan pertandingan menaikkan citra kota tersebut. Sehingga berbagai strategi diadu dengan sangat keras. Sebab jika pertandingan ini dimenangkan, hadiah citra sebagai kota positif dan menarik akan diraih. Bonusnya jelas: kota-kota destinasi, di manapun, menangguk banyak keuntungan. Puncaknya kesejahteraan warga kota. Contoh paling jelas: Negara Perancis, Italy, Maroko, Amerika Serikat, dan Negara lain yang menikmati kue devisa karena kegiatan turisme.

Namun membangun city branding kota itu dasarnya tentu kesadaran bersama. Kesadaran bersama itu merupakan akumulasi keinginan untuk menciptakan nilai tambah kota melalui sumberdaya kreatif berbasis akal-budi kota itu sendiri. Sehingga dengan kesadaran tersebut, warga kota menyadari bahwa proses membangun citra kota seiring dengan membangun citra warganya sendiri. Sebab, akan menjadi sia-sia saja jika agenda-agenda meningkatkan citra tersebut bukan merupakan hasil sinergi antara kota dan warganya. Maka dari itu, jika tidak diperhitungkan secara cermat, perhelatan yang diadakan pada suatu kota bisa seperti pisau bermata dua. Satu memang bisa menaikkan citra kota; sisi lain malah bisa menghasilkan ‘ketegangan’ di dalam tubuh kota itu sendiri. Jika ini yang terjadi, tidak banyak antibiotic yang bisa menyembuhkan “deman” sosial ini. Sehingga, sebuah perhelatan, alih-alih mampu menaikkan citra suatu kota, yang terjadi malah meruntuhkannya.

Oleh: Tantan Hermansah
(Pengajar Sosiologi Perkotaan, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)
(Ketua Program S2 KPI; Sekjen P2MI)

Tinggalkan Balasan