Masyarakat Kota dan Pandangan Keagamaan

Apa yang kemukakan oleh Kepala BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), meski bukan hal baru, sebenarnya merupakan representasi sebagian masyarakat kota saat ini. Sementara sebagian lagi bisa jadi berbeda sangat ekstrim. Tapi ada juga di antara mereka ini yang berhaluan moderat. Dalam beberapa term (agama) Islam, kelompok ini disebut sebagai penganut Islam Wasathiyah.

Sudah lama sekali, bahkan mungkin sejak mulai dirintis, Sosiolog menjadikan agama sebagai lokus bahasan. Jauh sebelum Emile Durkheim (1858-1917) yang sangat jelas membahas Agama dalam Ilmu Sosiologi, August Comte (1798-1857) dan Ibn Khaldun (1332-1406) sudah melihat bahwa agama memberikan pengaruh dan dinamika kepada realitas masyarakat. Begitu juga Karl Marx (1818-1883), atau Max Weber (1864-1920) mereka menyuguhkan berbagai pandangannya mengenai agama.

Dari berbagai perspektif mengenai agama dalam masyarakat, pandangan Marx memang paling menghentak. Contoh ketika menyebutkan bahwa “agama adalah candu” menunjukkan bagaimana perilaku kalangan beragama yang dilihatnya.

Lalu bagaimana dengan masyarakat (kota) modern saat ini?

Tentu tidak mudah, karena realitas dan konteksnya berbeda cukup signifikan. Hari ini agama telah diwarnai oleh kehadiran ilmu lain, seperti sains, teknologi informasi, dan media sosial. Hal ini memberikan fenomena baru yang kemudian menghasilkan realitas masyarakat yang berbeda sebelumnya.

Contoh pertama, di masa lalu. Masyarakat belajar ilmu pengetahuan pada seseorang atau sebuah institusi yang memiliki sistem dan tata ajar tersendiri. Hari ini, meski moden konvensional masih tetap ada, tetapi sebagian lainnya bisa memiliki cara belajar, tempat belajar, dan institusinya secara bebas.

Kedua, di masa lalu juga, ketika seseorang ingin mempelajari satu ilmu, mau tidak mau harus mempelajari semua dari a sampai z. Maka, pengetahuan yang dimilikinya lebih kompleks dan holistik. Sangat berbeda dengan sekarang di mana mereka yang mau belajar bisa memilih konten atau materi. Hal ini dimungkinkan karena semua materi itu tersedia secara digital yang bisa diakses secara terbuka tanpa terhambat ruang dan waktu.

Ketiga, sejak dulu masyarakat belajar agama pada berbagai ‘lembaga’ seperti Pesantren, Ulama, dan guru-guru agama yang jelas “nasab” belajarnya. Hari ini, sebagian masyarakat Muslim belajar melalui teknologi yang diciptakan oleh seseorang, yang produk tersebut dibuat mudah dipilih untuk dipelajari.

Apa akibatnya? Jelas sekali tata ruang, tata waktu, dan metode yang berbeda itu akan menghasilkan realitas pemeluk yang berbeda. Terlebih lagi masyarakat kota yang literasi teknologi informasinya lebih tinggi dari desa, serta ditunjang oleh sarana dan infrastruktur yang memudahkan akses, maka realitas pemeluk agama yang baru muncul di tengah-tengah model pemeluk agama yang sudah ada dan establish.

Mereka adalah entitas yang belajar agama dengan metode sendiri, mulai dari memilih pengajar (kiai atau ustadz), tema, waktu, dan bahkan medianya. Dengan kebebasan seperti itu maka wajar jika kemudian hasil realitas dari masyarakat yang muncul pun berbeda. Salah satunya adalah mereka memahami (agama) Islam dengan parsial dan partikular. Akibatnya, beberapa dari mereka gampang sekali menjudge orang dengan label-label yang pejoratif. Di sinilah pentingnya Islam Moderat ditampilkan. Apalagi untuk kota-kota di Indonesia. Mengutip pernyataan Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin, ketika berceramah di NTU, Singapura, bahwa “Islam Wasathiyah adalah model ekspresi dan pemahaman yang relevan dalam bingkai kenegaraan di Indonesia. Artinya, Islam tengahan dan moderat sebagai pemahaman ajaran Islam yang menggunakan empat kaidah. Pertama, santun, tidak keras dan tidak radikal. Kedua, suka rela, tidak memaksa dan tidak mengintimidasi. Ketiga, toleran, tidak egois dan tidak fanatis. Terakhir, saling mencintai, tidak saling bermusuhan dan membenci ”.

Oleh: Tantan Hermansah
(Pengajar Sosiologi Perkotaan, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)
(Ketua Program S2 KPI; Sekjen P2MI)

Tinggalkan Balasan