Urban Tourism Sebagai Proses Inklusi Sosial

Salah satu masa depan paling penting dalam mendorong pembangunan sosial di kawasan perkotaan adalah menghasilkan model kehidupan inklusif. Karena dalam kesadaran inklusif yang menginternalisasi pada semua orang/ pihak akan memberikan jaminan bagi siapapun untuk berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat. Semangat inklusif dalam tata bangun perkotaan bisa dihasilkan melalui proses peningkatan kualitas “tarikan” dan “dorongan” energi kota itu sendiri.
Kualitas tarikan yang dimaksud bisa digambarkan ketika kota sebagai magnet, maka magnitude yang melekat di dalamnya harus timbul karena semangat yang baik. Contoh, Karena kota akan menarik banyak orang untuk tinggal didalamnya, maka kualitas hunian, udara, air, transportasi, sarana pendidikan dan kesehatan, dan sebagainya, hendaknya memiliki tingkat aksesibilitas yang baik dan terjangkau bagi semua pihak. Sehingga, kota yang bercirikan demikian menjadi sangat diminati untuk menjadi destinasi tinggal banyak orang.
Sedangkan kualitas dorongan yang dimaksud adalah konsep dan sistem kota mendorong orang-orang yang tinggal didalamnya untuk maju, produktif, aktif, progresif, dan inovatif. Sehingga melalui proses seperti itu, maka ketika warga itu kemudian bekerja di luar daerahnya sekalipun, tetapi akan kembali ke kota. Karena—seperti dijelaskan di atas—kota tersebut sangat nyaman untuk menjadi destinasi.
Salah satu bentuk praktis dari kenyamanan kota adalah tersedianya beberapa komponen yang masuk ke dalam urban tourism (UT). UT atau wisata kota (WK) merupakan fenomena lama yang baru disemarakkan kembali dalam satu atau dua dekade terakhir. UT diperkuat karena dianggap bisa menjadi pemantik kehidupan masyarakat kota ke arah yang lebih berkualitas.
Mengapa UT dianggap bisa dan atau sudah berkontribusi besar pada penciptaan kehidupan yang lebih baik, bisa dilihat dari beberapa fakta berikut: Pertama, pada tingkatan tindakan, dalam UT pasti terjadi persinggungan yang melibatkan banyak pihak yang berbeda latar belakang. Misalnya, penyedia jasa datang atau berasal dari latar belakang tertentu; yang karena kreativitasnya menawarkan produk lokalnya untuk dinikmati para pelancong, yang datang dari kultur yang berbeda. Pertukaran inilah yang kemudian akan menyebabkan adanya “dialog” budaya yang tentu saja akan memberikan rasa dan sikap saling menghargai keberbedaan.
Kedua, pada tingkat pelaku juga, selain melibatkan ragam kultur yang berbeda, pasti juga melibatkan perbedaan strata sosial. Mereka yang datang dari latar belakang sosial yang berbeda-beda itulah yang kemudian mengisi unit sosial dan bisnis. Di dalam unit ini terjadi Bergama interaksi antara agensi dan actor yang beragam kepentingan. Tetapi interaksi ini juga bisa dinikmati dalam keberbedaan sebagai basis untuk mencapai kenikmatan atau kenyamanan bersama.
Ketiga, dari hasil interaksi dan intensitas relasi antar pelaku (agensi) yang ada dalam unit-unit tersebut kemudian akan menghasilkan nilai-nilai. Nilai-nilai ini bisa hadir karena inisiasi dari salah satu pelaku yang kemudian ditawarkan kepada yang lain, bisa juga karena semua pihak atau agensi menyadari bahwa mereka membutuhkan satu system norma yang bisa menopang lembaga. Sebab dengan adanya norma itulah maka keberlanjutan dari “kehidupan” sosial akan berjalan atau dipastikan.
Pada beberapa kota yang sudah semakin padat, di mana pertumbuhan di dalam tubuh kota jauh lebih cepat ketimbang ke luar kota, produk-produk UT yang paling diminati antara lain: eat, play, dan shopping (EPS). Ketiga jenis produk (makan, main, dan belanja) ini, merupakan bagian yang saat ini berkontribusi besar pada tingkat kunjungan pelancong kota. Meski jika dilihat dari aspek kelamaan tinggalnya berbeda dengan wisata alam yang memerlukan waktu lebih lama, namun kontribusi ekonomi dan sosialnya, UT pada jenis EPS tadi cukup besar.

Oleh: Tantan Hermansah

(Pengajar Sosiologi Perkotaan, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)

(Ketua Program S2 KPI; Sekjen P2MI)

Tinggalkan Balasan