Kota Sebagai Taman Pendidikan Inklusif

Heboh tentang radikalisme yang merembes dalam sistem pendidikan, tentu harus menjadi perhatian bersama. Salah satu yang cukup penting dalam mengatasi radikalisme adalah menciptakan atmosfir inklusifisme dalam sistem pendidikan. Inklusifisme ditopang oleh kesadaran organic dalam masyarakat, yang pilarnya adalah pemahaman bahwa kita semua terlahir dan mengada berbeda. Keberbedaan itu akan menguat seiring dengan interval waktu yang dilewati oleh semua orang.
Tidak ada satu pihak pun yang bisa menghilangkan keberbedaan. Keberbedaan adalah anugerah yang justru merupakan modal untuk membangun puzzle peradaban. Masalahnya adalah ada pihak-pihak yang menganggap, atau membangun anggapan bahwa keberbedaan adalah masalah yang harus diselesaikan dengan cara penyeragaman. Tentu saja, usaha ini akan sia-sia saja. Sebab, seberapa kuat kita membuat penyeragaman, hasilnya pasti tetap akan tidak seragam.
Laboratorium sosiologis paling kuat untuk menciptakan kehidupan yang inklusif adalah kota. Alasannya: pertama, sejak awal, kota telah menjadi arena bagi berbagai pihak untuk hidup di dalamnya. Mereka yang datang dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, politik, budaya, bahasa, bahkan nilai-nilai, bisa masuk dan hadir di kota untuk mengeksiskan dirinya.
Kedua, tubuh kota itu sendiri, akan semakin kuat jika keragaman itu diberikan makna yang kuat sebagai pengisi setiap ruang kosong yang ada. Sebab, keindahan kota akan hadir bukan karena satu warna, tetapi justru karena beragam warna. Setiap warna yang akan mengisinya, tidak selalu memiliki luasan yang sama. Setiap pihak bisa berkontribusi pada kota, sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya masing-masing.
Ketiga, kota ditopang oleh sistem ilmu pengetahuan yang kuat dan besar. Dengan kekuatannya ini, maka kota bisa membangun peta jalannya sendiri dengan segala resiko dan harapannya. Prediksi ini bisa dimungkinkan karena data yang tersedia di kota untuk menunjang analisisnya sangat cukup. Sehingga, scenario dan strateginya bisa dibangun untuk meminimalisir bias dan anomali.
Dengan tiga alasan di atas (yang tentu saja bisa ditambah lagi) kota sejatinya bisa menjadi taman pendidikan inklusif. Sebab dengan kecukupan sumberdaya yang ada maka arah pendidikan yang bisa diakses semua orang, meninggikan penghargaan pada perbedaan, bisa dikerjakan dan dilakukan dengan lebih mudah.
Masalah teknisnya adalah kesadaran dari para pendidik di kota pun tidak terlalu “ambil pusing” dengan persoalan inklusifisme ini. Mereka menyangka bahwa sikap-sikap inklusif cukup diajarkan di kelas—yang nota bene diusahakan seragam.
Tindakan dan karakter inklusif jelas tidak cukup bisa dihasilkan dari sistem pendidikan berbasis kelas semata. Apalagi modelnya doktrinal. Sikap inklusif harus ditumbuhkan melalui proses yang berkesinambungan dan tanpa lelah. Proses itu, sebagian harus diasah di lapangan. Penghargaan atas keberagaman, yang menjadi salah satu pilar inklusif, akan mengkristal jika dilakukan di kehidupan nyata.
Sebagai contoh, penghargaan akan keragaman budaya, di Kinder Globe Indonesia, salah satu lembaga pendidikan iklusif di Kota Bogor, diajarkan melalui seri kunjungan lapangan ke pusat-pusat kebudayaan lokal, program sehari berbahasa daerah, dan sistem visualisasi pelepasan akhir tahun yang mengadopsi kultur setiap daerah. Tentu saja itu hanya salah satu cara saja, yang bisa diperkaya lagi untuk menghasilkan kesadaran inklusif organik.
Jika setiap institusi pendidikan melakukan pemupukan kesadaran inklusif ini melalui mekanisme langsung di arena atau lapangan kehidupan, maka proses penguatan atas agenda menjadikan “Kota Sebagai Taman Pendidikan Inklusif” akan lebih mudah. Sebab setiap orang pasti rindu dihargai, diapresiasi, dan diposisikan secara terhormat dalam kehidupan.

Oleh: Tantan Hermansah

(Pengajar Sosiologi Perkotaan, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)

(Ketua Program S2 KPI; Sekjen P2MI)

Tinggalkan Balasan