Mempertahankan Keberlanjutan Inklusi Sosial Kota

Urban tourism secara praktis mulai dilirik oleh berbagai pihak untuk menjadi economic driven kota. Para perencana dan ahli tata kota sudah banyak memberikan usulan mengenai aspek strategis urban tourism ini kepada pemerintah (kota). Umumnya, urban tourism diisi oleh kegiatan makan-makan atau kuliner, permainan, dan belanja. Tetapi ada variable lain yang tidak kalah penting dalam Urban tourism , yakni: pendidikan. Jadi wisata kota sebenarnya bisa diperkaya oleh empat komponen tersebut: pendidikan, makan-makan, permainan, dan belanja.

Dimensi lain yang justru muncul dalam wisata kota adalah terjadinya inklusi sosial. Hal ini tampil dalam beragam bentuk, misalnya. Pertama , aksesibilitas. Empat komponen yang disebutkan di atas, pada praktiknya tersedia di kota dan bisa diakses oleh berbagai kalangan, tanpa membedakan strata sosial ekonomi dan budaya. Liberalitas dari lembaga-lembaga bisnis dan non-bisnis ini, meski sistemnya dibuat secara kompetitif, tetapi meniscayakan aksesibilitas yang tinggi. Akibatnya setiap orang/ mereka yang bisa mengaksesnya bisa merasakan kesetaraan ketika bisa hadir di tempat tersebut.

Sebagai contoh, tempat makan seperti Warteg (warung tegal), Wardang (warung padang), atau Warsun (warung sunda) merupakan unit sosio-antropologis yang bisa diakses oleh siapa saja yang membutuhkannya. Setiap mereka yang hadir di sini, hampir tidak pernah melibatkan institusi sosial budaya yang melekat pada mereka. Saling silang budaya dalam aktivitas makan-makan bukan hanya lumrah terjadi, tetapi justru sudah menjadi bagian dari budaya mereka sendiri.

Kedua , dialog kritis. Dalam ruang publik yang tersedia dan menghasilkan perasaan kesetaraan tersebut, maka akan memungkinkan setiap orang melakukan komunikasi terbuka dan bebas. Model komunikasi tersebut ini bisa memberikan ruang untuk terjadinya dialog kritis bagi siapapun, yang didasari oleh suatu kesadaran organik, melalui ragam tindakan bermakna yang dihasilkan karena interaksi yang intens tersebut.

Contoh di tempat makan, juga di tempat permainan dan belaja, ada kebebasan dari setiap orang untuk mendiskusikan apa, memberikan komentar apa, atau sanggahannya. Hal-hal yang ringan sampai serius, dibincangkan secara bebas, intens, dan penuh kesadaran. Jika kemudian ada teriakan atau derai tawa, menandakan bahwa ruang itu demikian manis untuk dinikmati dengan kesadaran penuh. Sebab, hanya ruang yang penuh kesadaran, model interaksi intens dan mendalam akan terjadi.

Lalu bagaimana agar Urban Tourism bisa terjaga keberlanjutannya dalam konteks merawat inklusi sosial diperkotaan, bisa dilakukan melalui beberapa tahapan kebijakan berikut: Pertama, desain urban tourism for all (wisata kota untuk semua) harus menjadi bagian dari perencanaan kebijakan kota itu sendiri. Sehingga karena menjadi arus utama pembangunan, segala bentuk aktivitas pendidikan, kesehatan, tata ruang, dan pembangunan sarana lain, harus diletakkan dalam kerangka di atas.

Kedua, setelah kebijakan “wisata kota untuk semua” tercantum dalam rencana induk pembangunan kota, tahap berikutnya adalah identifikasi dan pemetaan stakeholders pembangunan kota. Di mana di dalamnya termasuk pemetaan para pihak yang akan mengakses serta mendapatkan keuntungan serta segala dampaknya.

Jika peningkatan kualitas dari urban tourism ini bisa dijaga denga baik, tidak mustahil ke depan, kota-kota akan menjadi penegak utama peradaban NKRI yang ramah dengan kebhinekaan.

Oleh: Tantan Hermansah

(Pengajar Sosiologi Perkotaan, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)

(Ketua Program S2 KPI; Sekjen P2MI)

Tinggalkan Balasan