Tentang Pendekatan Masalah Perkotaan [3]

Kompleksitas masyarakat perkotaan yang menuntut multi perspektif, selain menggunakan pendekatan strukturalisme, juga bisa menggunakan pendekatan lain. Pendekatan alternatif itu di antaranya idealis-konstruktivis. Sederhananya pendekatan ini dijelaskan sebagai berikut:

Kota terdiri dari subyek individu yang berkembang sesuai dengan ide-ide dan cita-citanya. Ide-ide itulah yang menjadi energi dinamis kota. Biasanya, ide-ide lahir dari subyek individu yang memiliki cita-cita, harapan, dan kapasitas untuk mewujudkannya. Para inventor dan creator ini biasanya merupakan sosok yang cukup independen, visioner, dan kadang tidak pernah melihat konteks kekinian sebagai realitas yang harus diterima begitu saja. Bagi mereka, realitas hari ini adalah bentukan dari para subyek masa lalu; oleh karena itu, realitas masa depan merupakan bentukan manusia hari ini.

Contoh bagaimana sebuah kota diwujudkan sangat tergantung kepada ide, bisa dilihat pada kota-kota di Perancis, Inggeris, Austria, dan Italia. Di Indonesia kita bisa menemukannya di Bandung, Yogyakarta, Bali, dan kota lainnya. Pengaruh ide tentang suatu kota sangat terlihat dari beragam visualisasi dan sistem yang dibangun. Misalnya di Jember. Seorang creator dianggap “agak gila” ketika ia punya ide membuat sebuah karnavaljalanan yang melibatkan seniman dan aktris lokal. Tentu ide ini, di awal-awal banyak yang menyangsikannya. Tetapi begitu sudah berhasil, banyak orang mengacungkan jempol atas gagasan ini.

***

Baru-baru ini kita diharubiru konflik antar kelompok masyarakat di kota. Konflik antar kelompok di kota sesungguhnya bukan masalah baru. Bahkan, bisa dikatakan bahwa konflik kelompok di perkotaan melekat pada sistem perkotaan sendiri. Namun masalahnya, bagaimana respon kita atas realitas tersebut?

Dalam perspektif idealis-konstruktivis, konflik terjadi karena ada luapan energy yang kurang tersalurkan secara posiitif. Kehendak konflik muncul karena sifat alamiah manusia yang selalu ingin menang. Kemenangan yang diraih bukan dan tidak melulu persoalan ekonomi, tetapi lebih jauh merupakan masalah psiko-sosio-antropologis yang melekat dan mewujud dalam beragam bentuk. Salah satunya keberkuasaan atas raihan tertentu secara mapan.

Memahami pendekatan ini secara praktis bisa dilihat dalam beragam bentuk. Contoh yang paling aktual adalah saat ini di mana setiap orang, dengan berbagai inovasi dan kreativitasnya, berusaha tampil memukau di hadapan publik melalui beragam modus, antara lain: memasang gambar diri (atau dengan pasangannya) pada spanduk sepanjang jalan; memajang pose tersenyum, sedekap, menempelkan tangan, mengepal, dan sebagainya, dengan harapan bisa meraih simpati publik melalui ketertarikan dan (mudah-mudahan) keterpilihan pada kontestasi politik yang sedang berlangsung. Atau memasarkan ide-ide melalui flyer di berbagai  platform media dengan harapan yang sama.  

Lalu bagaimana kita, setiap elemen bangsa agar tidak kelelahan menghadapi berbagai konflik sosial yang terjadi? Di sinilah pentingnya negara hadir. Istilah “negara hadir” yang merebak dalam wacana bernegara sejatinya terimplementasikan dalam beragam bentuk: adanya aturan yang mewadahi seluruh energi bangsa dan menyiapkan salurannya dengan tepat; adanya agen dan aktor sosial yang selalu menjadi pendamping, pengelola, dan pengawal perubahan, serta adanya perangkat epistemis yang bisa mengajarkan setiap komponen bangsa untuk tetap optimis dan inovatif. [cag]

Tantan Hermansah (Alumni S3 Sosiologi UI, Pengampu Mata Kuiah Sosiologi Perkotaan UIN Jakarta) [terbit di Rakyat Merdeka]

Tinggalkan Balasan