Tentang Pendekatan Masalah Perkotaan [2]

Pendekatan berikutnya dalam memahami masalah perkotaan adalah  pendekatan kritis. Apa itu pendekatan kritis? Sederhananya pendekatan yang terinspirasi dari pikiran-pikiran Karl Marx (1818-1883) ini bisa dijelaskan sebagai berikut: Pertama, kota dihuni oleh beragam kelas sosial masyarakat. Kelas-kelas sosiologis ini umumnya dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu: kelompok paling bawah, kelompok tengah, dan kelompok atas.

Kelas paling bawah adalah mereka yang paling rentan, paling rawan, dan bisa jadi dalam posisi marginal. Dalam Bahasa James C. Scott disebutkan mereka ini ibarat orang yang sudah tenggelam dan tinggal jari telunjuknya saja yang terlihat. Sehingga ombak sekecil apapun pasti menenggelamkannya. Mereka di antaranya masyarakat yang berprofesi sebagai buruh harian, pengangguran, dan kelompok-kelompok lain yang tidak memiliki basis penghasilan tetap.

Kelas tengah biasanya adalah mereka yang memiliki skill, dan dengan skill itu dia bisa hidup dan merencanakan jenjang dan karir kehidupannya dengan baik. Mereka juga bisa dikatakan kelompok professional, yang tingkat ketergantungganya kepada modal ekonomi yang dimiliki oleh investor dan pemodal besar, tidak terlalu kuat. Mereka bisa dibilang cukup independen, karena dengan skillnya memungkinkan ia meraih berbagai hal tanpa harus menggantungkan diri kepada seseorang atau sesuatu.

Kelas atas atau elit adalah mereka yang memiliki dan menguasai modal. Modal tidak hanya berupa uang kekayaan semata, tetapi juga pengaruh, jaringan, dan kepintaran. Kelompok ini sangat mungkin melakukan berbagai hal, terutama yang terkait dengan penataan berbagai hal dalam kehidupan masyarakat.

Kedua, menurut pendekatan ini, setiap kelas terlibat dalam satu proses historis yang tidak berkesudahan: kontestasi atau konflik. Di mana konflik itu merebutkan berbagai sumberdaya yang tersedia dalam kehidupan mereka. Konflik inilah basis di mana setiap orang bergerak, pindah, melompat, atau kemudian jatuh terjerembab.

***

Dengan pendekatan kritis, kita bisa melihat bagaimana dinamika kota dengan lebih jernih. Mengapa orang-orang dari kampong saya rela pergi ke kota, meninggalkan saudara dan keluarganya, dan baru pulang pada rentang waktu yang lama. Atau mengapa ada orang yang rela dalam sehari menghabiskan waktu selama enam (6) jam di jalan untuk pergi ke tempat kerjanya.

Dalam perspektif kritis, karena mereka sedang berkontestasi. Mereka ingin naik kelas. Kelas bawah ingin naik ke kelas tengah; sedangkan kelas tengah, ingin naik ke kelas atas. Sementara itu, setiap kelas, terutama pada kelas tengah dan atas, tidak mudah memberikan ruang kepada kelas di bawahnya. Jadi yang bawah merangsek ke atas, sementara yang atas tidak mau “diambilalih” oleh yang baru tersebut.

Siapakah pemenangnya? Bagi pendekatan ini, pemenang kontestasi ini bukan bahasannya. Tetapi prosesnya yang menentukan. Sebab dengan pandangan ini, kita bisa melihat berbagai hal terjelaskan. Salah satu yang cukup besar adalah distribusi keadilan.

Mengapa? Karena selama konsentasi kekuatan dan sumberdaya hanya berkisar di elit tertentu dan tidak mengalami sirkulasi sama sekali, maka tatanan demokrasi dengan sendirinya terancam. Sebab ruang sirkulasi terbatas akhirnya hanya membuat sistem kota itu korup dan rapuh.

Pendekatan kritis juga memberikan kita alat untuk memetakan berbagai sumberdaya sosio-budaya-ekonomi yang ada, dan kemudian menganalisis proses alirannya agar bisa diciptakan keadilan nyata: keadilan sosial bagi seluruh rakyat/ masyarakat. [cag]

Tantan Hermansah (Alumni S3 Sosiologi UI, Pengampu Mata Kuiah Sosiologi Perkotaan UIN Jakarta) [terbit di Rakyat Merdeka]

Tinggalkan Balasan