Sejak pilkada pertama kalinya diberlakukan di negara ini tahun 2005, saya masih mengingat dengan baik bagaimana perilaku kampanye kandidat saat itu. Setelah hampir dua decade, bisa dikatakan bahwa perilaku kampanye itu tidak banyak berubah. Isu-isu yang dimunculkan atau diwacanakan kandidat, solusi yang ditawarkan, serta proses kampanye pun, tidak terlalu berubah signifikan.
Berbeda dengan isu-isu kampanye yang sebagian merupakan visi misi kandidat, di aras strategi kampanye dinamikanya sangatlah besar. Konsultan politik, tim survey, dan sebagainya waktu itu belumlah sesemarak saat ini.
Salah satu yang kental dalam setiap narasi pilkada adalah isu perkotaan. Bahkan jika diprosentase, narasi kota dalam pilkada sangat dominan, seperti: kemiskinan, pengangguran, pekerjaan, gender, bahkan kepemimpinan dan good governance. Semua itu lebih merepresentasikan kota. Isu-isu terkait perdesaan seperti petani dan pertanian, nelayan, dan urbanisasi masyarakat desa, lebih banyak hanya menjadi sisipan saja.
Mengapa narasi kota demikian dominan dalam suasana kontestatif yang dikedepankan oleh para kandidat pilkada?
Pertama, perspektif. Perspektif adalah cara pandang dari seseorang atau sekelompok orang atas sesuatu. Cara pandang ini dibangun oleh beragam faktor: ilmu pengetahuan, lingkungan epistemis, dan kebutuhan/ tuntutan pragmatis. Misalnya cara pandang seorang pedagang dalam melihat suatu produk akan berbeda dengan pencipta produknya sendiri. Di mana pencipta produk akan melihat fungsionalitas, sedangkan pedagang akan melihatnya dalam sudut pandang komersial.
Dalam kontestasi pilkada, perspektif kota sangat mempengaruhi para kandidat karena kebanyakan mereka hidup dan berpengetahuan dalam ruang kota itu sendiri. Sehingga masalah sosio-ekologi dalam state of mind mereka adalah masalah kota.
Kedua, kognisi sosial. Kognisi sosial bisa didefinisikan sebagai proses kita sebagai manusia dan masyarakat dalam mengolah, menafsirkan, dan mengelola serta menggunakan segala informasi tentang dunia sosial. Dalam konteks kota dan pilkada, pengetahuan dan visi tentang dunia sosial kandidat akan berpengaruh sangat kuat kepada ujaran, prasa, dan segala hal yang ditawarkannya kepada calon pemilih.
Ketiga, nalar publik. Harus diakui bahwa media massa saat ini cenderung ikut bermain dalam ranah kontestasi ini, dan kadang berperan seperti menjadi representasi dari nalar pubik. Celakanya, karena media juga mewakili suatu rejim ekonomi-politik yang memiliki kepentingan atas sustainabilitas lembaganya, maka isu kota lebih mendominasi. Contoh sederhana, ketika ada harga produk pertanian yang melambung seperti cabai, atau bahkan jengkol, posisi media lebih menjadi wakil konsumen yang kesulitan daya beli, ketimbang menjadi pemihak petani yang tengah mendapatkan keuntungan.
Ketiga hal itu, perspektif, nalar publik dan kognisi sosial menjadi semacam “bingkai mati” yang kemudian mewarnai bagaimana kandidasi memberikan “pencerahan” kepada calon pemilihnya. Apakah kemudian publik itu terpincut dengan narasi yang dilemparkannya? Kita bisa melihatnya sendiri.
[terbit pada harian rakyat merdeka]