Obesitas Kota: Tantangan Para Capres

Kota adalah ruang di mana sebagian besar anggota masyarakat tinggal, hidup, mencari nafkah, dan meneruskan keturunan. Di kota juga, setiap individu membangun mimpi, menjaring sahabat, meraih cita-cita, mengakumulasi modal, dan akhirnya menyusun lempeng-lempeng peradaban. Maka bisa dikatakan: Kota itu substansi kehidupan manusia.

Di kota-kota, lalu lintas ide-perubahan, saling berkontestasi untuk menemukan ruang dan (kadang juga) pengikut. Ide-ide dijangkarkan ke bumi, dikaitkan melangit, berdinamisasi dalam beragam gelombang arena dan medan. Setiap capaiannya itu kemudian disematkan sebagai kekuatan peradaban kemanusiaan.

Maka membangun kota, sesungguhnya tengah membangun kemanusiaan; menyelesaikan masalah kota, berarti menyelesaikan sebagian masalah kemanusiaan. Inilah yang harus dicermati oleh para pemimpin, tidak terkecual para kontestan pilkada, DPR/ DPD, dan para calon Presiden dan Wakil Presiden di setiap massa.

Sejak lama, kota dan masyarakatnya “paling berisik”. Dulu, sebelum platform media sosial hadir, media massa adalah corong (warga) kota. Mereka berteriak, beropini, dan “protes” mengatasnamakan masyarakat. Karena spektrumnya paling kuat dengan pusat kekuasaan, mereka lebih cepat didengar ketimbang yang lain—desa misalnya.

Sepanjang sejarah, salah satu masalah kota yang pasti dihadapi oleh para pemimpin adalah obesitas kota. Obesitas kota yang dimaksud di sini adalah gaya dan sistem hidup kota yang mengundang dan menyedot energi di sekitarnya untuk masuk ke kota. Tidak jarang, limpahan energi tersebut tidak benar-benar dibutuhkan oleh “tubuh” kota sendiri. Akibatnya, sebagai tubuh yang kelebihan pasokan, menghasilkan obesitas.

Obesitas kota tervisualisasikan dalam beragam wujud: kota yang semakin meluas secara tata ruang, baik ke pinggir atau ke atas menjulang. Energi melimpah menyebabkan kota berkinerja tinggi. Namun di sisi lain, banyak yang hidup di dalamnya tidak lagi produktif, baik karena sifat alamiahnya, maupun kekurangan sistem yang mengelola sumberdaya tersebut.

Citra kota yang makmur dan memakmurkan terus terkampanyekan dalam beragam tampilan. Kecantikannya (meski tidak jarang dibalut kesemuan) mampu menyedot energi di sekitarnya. Sehingga pada satu sisi kota aktif menarik energi, tetapi di sisi lain banyak energi yang idle tidak produktif.

***

Dalam kerangka ini, maka skenario untuk mengelola kota agar tidak mengalami obesitas harus disegerakan. Karena gelembungan sumberdaya yang tidak terkelola, rentan disalahgunakan. Tentu pendekatan parsial yang hanya fokus kepada kotanya sendiri, tidak akan menyelesaikan inti dari permasalahan kota. Perlu cara pandang paripurna dan mendalam agar obesitas kota—baik yang masih potensial maupun yang sudah terjadi—bisa diatasi.

Berikut ini beberapa pemikiran atau ide yang bisa dipikirkan oleh para capres dalam mengelola kota di masa mendatang. Pertama, gerakan bangun desa. Siapapun presidennya, maka pembangunan desa harus dijadikan sama prioritasnya dengan kota. Jika desa-desa maju dan berkelanjutan, maka desa akan meminimalisir urbanisasi. Bahkan bisa jadi, desa menjadi alternative bagi mereka yang sudah di kota tapi idle, kembali ke desa. Saat ini, guyuran dana ke desa-desa cukup besar. Namun sayangnya, guyuran dana yang besar belum berjalin-berkelindan dengan guyuran ide dan gagasan-gagasannya. Menuntut warga desa sendiri agar kreatif memanfaatkan dana desa tersebut jelas kurang pas. Para pemikir, intelektual, dan ahi serta professional banyaknya ada di kota. Mengapa mereka tidak diarahkan untuk menjadi bagian dari gerakan membangun desa?

Kedua, diet kota. Sebagai pendekatan untuk mengelola obesitas tubuh, maka pengelolaan asupan kota perlu didesain secara detil, rinci, sistematis dan sistemik. Meski kota tidak bisa atau tidak boleh menolak sumberdaya yang masuk ke wilayahnya, namun perlu ada desain tertentu bagi setiap kota untuk memboleh/mentidakbolehkan sumberdaya apa yang masuk ke situ. Misalnya, makanan yang masuk sudah dalam bentuk yang dikemas, sehingga tidak menghasilkan sampah yang banyak; orang-orang yang masuk harus memiliki kecakapan minimal apa, dengan jumlah berapa, dan seterusnya. Pemerintah kota, dengan demikian, dituntut untuk memiliki data komprehensif mengenai kebutuhan aktual warganya.  Listing kebutuhan inilah yang kemudian dipublikasikan agar diketahui oleh semua orang yang bermaksud memenuhi kualifikasinya.

Ketiga, optimalisasi energi internal. Langkah lain adalah audit energi dan sumberdaya internal yang tersedia. Dalam tubuh yang mengalami obesitas, misalnya, terdapat lemak berlebih yang bisa dioptimalisasikan untuk menjadi energi lain yang bermanfaat. Dengan sistem saat ini, pemerintah kota bisa memiliki akses kepada pergerakan sosial-ekonomi warga, bahkan struktur pengeluarannya. Sehingga pemerintah bisa mengetahui kapasitas sumberdaya yang dimiliki sendiri di dalam. Untuk energy atau sumberdaya yang ada bisa dioptimalkan dengan jalan meningkatkan kapasitasnya, sehingga ada perubahan mendasar mulai dari mindset, karakter, relasi, dan kecakapan lainnya.

Tentu saja tidak ada formula tunggal untuk menyelesaikan obsesitas kota harus menjadi kesadaran bersama. Pemikiran ini juga layak diperdalam agar menjadi masukan bagi kebijakan pengelolaan kota. Pendekatan yang lebih komprehensif, holistik, multi dan inter-disiplin, dan multi-sektor, perlu dilakukan bagi penyelesaian masalah yang ada.

(Terbit pada Koran Sindo)

Tinggalkan Balasan