Saat ini banyak ditemukan berbagai seruan, himbauan, bahkan program untuk merespon isu “stunting”. Perdefinisi, stunting merupakan suatu keadaan dimana tinggi badan anak yang terlalu rendah (WHO, 2012) dan kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur (Depkes, 2018).
Artikel ini mengambil istilah “stunting” untuk menjelaskan isu lain: kota. Pertanyaannya: “mungkinkah ada kota stunting (kerdil)?”
Sebelum menjawabnya, mari kita lihat dulu mengapa seseorang dinyatakan sebagai stunting. Menurut Badan PPB Unicef, sebagaimana dirujuk oleh Kementerian Kesehatan, ada beberapa penyebab stunting (pada anak), yaitu: kekurangan gizi pada 1000 hari pertama kelahiran, faktor ibu dan pola asuh, serta faktor lain seperti infeksi, kehamilan remaja, gangguan mental, jarak kelahiran, hipertensi, dan rendahnya akses kepada sarana kesehatan serta air bersih. Jika berbagai faktor penyebab tadi “diqiyaskan”, maka kita bisa menemukan ada kota-kota yang mengalami stunting. Adapun penyebab kota stunting adalah:
Pertama, kota yang kekurangan gizi dalam arti harafiyah dan simbolik atau majaziah. Secara harafiyah, warga kota yang kurang asupan makanan bergizi akan menyebabkan kota itu kekurangan energy pengungkit. Padahal, energy yang melimpah akan menjadikan gerak dinamis suatu kota lebih cepat. Sedangkan secara simbolik gizi adalah sumberdaya produktif suatu kota yang dihasilkan oleh warganya.
Sumberdaya tersebut bisa dihasilkan karena beragam sebab antara lain, pendidikan yang baik, ruang publik yang aman dan nyaman, serta kebebasan berekpresi yang dihargai. Gizi yang baik dan berkualitas bagi kota tidak selalu harus berwujud adanya sumberdaya alam yang melimpah. Sebab tidak jarang, kota-kota yang seperti itu justru mengalami obesitas (lihat tulisan saya di Sindo, 27/08).
Kedua, faktor Ibu dan pola asuh. Ibu adalah agen utama dalam membesarkan anak-anak. Sedangkan pola asuh yang baik dan benar akan menghasilkan ekosistem keluarga yang normal dan wajar, bahkan keluarga yang berkualitas super.
Dalam konteks kota, Ibu dan pola asuh berarti stunting city bisa terjadi karena faktor agency dari kota itu sendiri. Agency kota terdiri dari dua: pemimpin daerah dan sistem perencanaan kebijakan pembangunan. Jika kepala daerah tidak memiliki visi mengenai arah ke depan dari kotanya sendiri, maka kota-kota akan kerdil menjadi suatu keniscayaan. Begitupun jika model kepemimpinan yang ditampilkannya tidak visioner dan tidak kreatif, tidak memiliki keberanian mengambil resiko untuk memutuskan hal strategis bagi kotanya, juga akan berdampak pada kekerdilan suatu kota.
Ketiga, infeksi di masa kehamilan menjadi di antara penyebab stunting anak. Dalam konteks kota, infeksi bisa dilihat pada proses dihasilkannya pemimpin daerah yang tidak murni terpilih karena kualitas dari pemimpin itu sendiri. Tetapi mereka yang hadir memimpin karena “pesanan” orang lain, bahkan bisa jadi “boneka” kelompok tertentu. Kedua hal ini: pemimpin pesanan dan boneka, adalah model kepemimpinan yang infeksi sejak proses. Maka model kepemimpinan seperti ini tidak bisa diharapkan menjadi pemimpin daerah yang bisa menghasilkan kota yang normal, wajar, dan berkelas.
Keempat, kehamilan remaja dan gangguan mental juga merupakan penyebab stunting anak. Ini bisa dipahami karena remaja yang hamil bisa dianggap belum waktunya dan belum memiliki kapasitas yang cukup. Adapun gangguan mental berhubungan dengan profesionalisme dalam memutuskan tindakan strategis bagi diri dan lingkungannya.
Kota-kota yang dipimpin oleh mereka yang belum memiliki jam terbang memimpin beresiko mengalami stunting. Begitu juga mereka yang tidak memiliki kualitas professional, akan berdampak buruk bagi keadaan kota. Saat ini, jika daerah di Indonesia dipimpin oleh mereka yang tampil karena merupakan keluarga dari pemimpin sebelumnya, akan beresiko mengalami stunting. Sebab si pemimpin tampil bukan karena kualitas dan kapasitas, tetapi lebih karena meneruskan trah keluarga saja.
Kelima, jarak kelahiran dan hipertensi menjadi penyebab stunting anak. Jarak kelahiran berkontribusi kepada terpecahnya perhatian orang tua kepada anak-anaknya yang masih bayi dan batita. Sedangkan hipertensi, yang secara umum dipahami sebagai darah tinggi, diprediksi akan berpengaruh kepada fisik si ibu dan juga anak.
Dalam konteks stunting city, jarak kelahiran dan hipertensi bisa dipahami dalam tidak fokusnya pemimpin daerah dalam membangun, merawat asset dan sumberdaya daerah, dan mengembangkannya. Akhirnya, banyak kepala daerah yang “nafsu besar” tetapi kapasitas kurang. Jika hal ini sudah terjadi, maka yang akan menjadi “korban” adalah rakyat. Model “nafsu besar tenaga kurang” bisa dilihat dari menghamburnya beragam janji untuk rakyat, padahal jelas kapasitas dan kekuatan daerah tidak sebesar yang diucapkan/ dijanjikannya.
Kota Kerdil
Akibat dari kelima permasalahan yang mendera pada kualitas kepemimpinan daerah/ kota itu, maka stunting city seperti tidak bisa dihindari. Indikator kota kerdil (stunting city) bisa dilihat dari (setidaknya) tiga faktor besar, yaitu:
Pertama, pertumbuhan ekonomi kota yang biasa-biasa saja. Bahkan bisa jadi pertumbuhannya minus. Kota dengan pertumbuhan stuck diam atau bahkan menurun patut dicurigai sebagai model kota stunting. Penyebabnya bisa salah satu, atau beberapa dari kelima masalahan yang sudah disebutkan di atas. Jika dipotretkan ke dalam konteks sosio-antropologis kota-kota di Indonesia, stunting city lebih banyak karena faktor nomer kedua, yakni agency pemimpin dan system perencanaan kota yang rapuh, tidak kreatif, dan cenderung “asal menjalankan program”.
Kedua, tata kelola pemerintahan yang tidak fokus. Model kota kerdil kedua bisa dilihat pada keinginan dari kepala daerah yang mengakomodir setiap aspirasi dan ide yang ada, tanpa membuat saringan yang jelas dan tegas. Akibatnya, setiap aparat di bawahnya akan bekerja sendiri-sendiri karena adanya target kepala daerah yang tidak fokus pada beberapa isu dan agenda. Model stunting city seperti ini lebih banyak hadir karena faktor kelima. Di mana pemimpin daerah kurang memahami mana yang menjadi prioritas pembangunannya, serta mana yang harus segera ditangani permasalahannya.
Ketiga, KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) merajalela. Model terakhir ini begitu kasat mata. Misalnya tervisualisasi dalam bentuk penangkapan kepala daerah karena tersandung KKN yang jelas, nyata, dan terbukti di pengadilan, atau banyak program yang disetting untuk kalangan dan kelompok tertentu. Para kopruptor ini, karena sekaligus memegang kekuasaan, ada yang bertindak seperti vampire. Mereka menghisap seluruh sumberdaya yang dimiliki wilayah dan masyarakatnya, untuk mencukupi hasrat syahwatnya. Sadar bahwa perilakunya beresiko hukum, untuk memperlancar dan memuluskan beragam aksinya mereka menggandeng kawan dan keluarganya. Termasuk ketika kekuasaan sudah terbatasi oleh aturan, mereka sedaya upaya memelihara kesinambungan kepemimpinan itu melalui keluarganya.
*** Berbeda dengan kasus stunting yang terjadi pada sebagian anak-anak Indonesia, stunting city relative lebih bisa ditangani. Periodisasi stunting city bisa dikatakan cukup pendek, yakni minimal selama masa kepemimpinan daerah seseorang. Tetapi jangan salah, level terdampak dari kebijakan kota yang membuat kasus stunting sangat besar. Stunting city melibatkan bukan satu atau puluhan orang; tetapi berkaitan dengan satu atau beberapa kota yang bisa jadi berpendudukan jutaan dan belasan juta.
[Terbit di Koran Sindo]