Warning: Use of undefined constant the_views90 - assumed 'the_views90' (this will throw an Error in a future version of PHP) in /home/kotalogy/public_html/wp-content/themes/oria/single.php on line 14

Dramaturgi (Masyarakat) Kota

MASYARAKAT kota bisa jadi merupakan perwujudan dari apa yang disebutkan seorang filsuf Herbert Marcuse (1898-1979) sebagai manusia satu dimensi. Dikatakan satu dimensi, karena sebenarnya mereka banyak yang hidup linier. Jikapun ada sesuatu yang berbeda, itu ditampilkan untuk menutupi kesemuan yang selama ini dijalaninya. Salah satu yang menarik untuk membuktikannya adalah ketika mereka pada konteks media teater.

Teater merupakan ruang tempat seseorang menampilkan diri dalam citraan bukan dirinya. Biasanya sang aktor menampilkan diri sebagai orang lain, sesuai peran yang diminta untuk dimainkannya. Untuk memvisualisasikan realitas-subyektif yang dipesankan kepadanya, sang aktor harus menghayati benar sosok yang ditirunya. Bahwa sosok itu dihadirkan pada sebuah karya novel, atau biografi, atau benar-benar tokoh khayalan yang diciptakan untuk kebutuhan pentas, tidak bisa dipersoalkan sang aktor. Tugas dia tunggal: memainkan peran.

Dalam dunia teater, setidaknya ada dua pihak yang saling berhubungan secara utuh serta saling menentukan: pemain (dengan segala perangkatnya) dan penonton. Tanpa para pemain yang ada di panggung, maka eksistensi penonton tidak ada; begitu juga sebaliknya: tanpa penonton, para pemain tersebut, meski bisa jadi sudah sangat hafal dengan actingnya, tetap saja akan dianggap sedang latihan.  Dengan kata lain, memahami model interaksi antara kedua pihak (pemain dan penonton) harus dibangun secara utuh tidak bisa secara parsial atau particular.

Akan tetapi, begitu permainan selesai, kehidupan riil masyarakat kota harus tetap dilanjutkan. Di sinilah apa yang disebutkan di atas sebagai manusia satu dimensi kemudian berlaku. Apa yang kita sangka drama sudah selesai, justru drama lainnya baru (akan) dimulai.

Pasca melewati pintu ruang teater, sesungguhnya masyarakat kota memasuki ruang lain. Banyak dari mereka yang kemudian harus bermain peran lagi. Bisa karena tuntutan pekerjaan, pendidikan, kewargaan, bahkan rumah tangga. Semua harus memainkan perannya. Bingkai dari peran adalah kehidupan mereka itu sendiri.

Sosiolog Erving Goffman (1922-1982) mengabstraksikan realitas orang kota seperti ini dalam istilah dramaturgi”. Di mana, masyarakat hidup dari panggung ke panggung. Dari satu drama ke drama yang lain. Dari drama pekerjaan, ke drama menjadi ayah/ ibu yang baik bagi anak-anaknya. Dari drama rumah tangga yang biasa” ke drama sebagai pendidik pada sebuah sekolahan mewah dan mahal. Dari drama pemimpin, ke drama calon anggota dewan, dan sebagainya.

Model kehidupan dramatical masyarakat kota tidak hadir begitu saja. Realitas ini telah berproses sangat panjang. Masyarakat kota hari ini, disadari atau tidak, dibentuk oleh visi orang-orang sebelumnya. Visi ini yang kemudian disempurnakan oleh orang-orang yang hidup pada jamannya. Apa yang didefinisikan hari ini sebagai temuan kreatif, bisa jadi di masa lalu, justru merupakan pemberontakan.

Persoalannya adalah bahwa masyarakat kota terdiri dari berbagai kelompok orang yang kapasitasnya berbeda-beda. Jika menggunakan pendekatan dari Goffman, mereka yang di panggung atau yang di barisan kursi penonton, terdiri dari berbagai lapisan sosiologis yang beragam. Ada pemain utama, sutradara, penulis naskah, bahkan cameo. Ada penonton di barisan utama (VVIP), ada yang di balkon dengan sudut pandang yang tidak strategis. Posisi peran bagi para pemain di panggung, atau posisi penonton dipengaruhi berbagai variable yang tidak sederhana. Ada faktor turunan, warisan, atau semangat dari subyeknya sendiri. Semua tidak pernah bisa sama, meski bisa jadi datang dari konteks sosial-ekonomi yang mirip atau setara.

Satu Panggung; Beda Peran

Begitu kita melihat kehidupan. Realitasnya, ada banyak peran yang harus dimainkan. Hal ini  seperti mengkonfirmasi lagu GodBless yang juga dinyanyikan oleh Nike Ardilla, di mana dunia ini (seperti) panggung sandiwara. Ceritanya mudah berubah. Ada peran wajar; ada peran berpura-pura…”, dst.

Agar pertunjukkan itu indah dan bisa dinikmati, tentu semua aktor harus berpegang teguh pada scenario yang sudah disepakati. Satu orang saja melanggar, maka akan terjadi chaos. Chaos  atau kekacauan menyebabkan pertunjukkan tidak lagi enak untuk dinikmati. Bahkan, chaos bisa menyebabkan kegaduhan sosial yang bisa berujung kepada diberhentikannya satu rejim” pemeran.

Keberagaman peran itulah yang membuat panggung teater menjadi indah. Dengan kata lain, peran-peran keseharian masyarakat kota yang bermacam-macam itu mendinamisasi kehidupannya. Dari dinamika itu pula kemudian peradaban terbangun dan terpelihara. Setiap sendi relasional saling mengikat satu sama lain.

Lalu bagaimana dengan mereka yang menjadi kelompok termarginalkan? Ada beberapa penjalasan. Pertama, terkadang memang dalam sebuah panggung, peran-peran yang dihilangkan dari pertunjukkan harus divisualisasikan secara terbuka agar penonton melihat dengan nyata dan bisa melihat dengan utuh alur ceritanya; Kedua, bisa jadi mereka yang secara dramatis dikeluarkan” dari panggung tersebut justru karena sang produser sudah tidak sanggup mengelolanya, dan diminta untuk membangun panggung kehidupannya sendiri.

Sebagian masyarakat kota yang hidup dalam dramaturgi, celakanya, kadang terpolarisasi dalam dua kutub ekstrim tersebut. Hipotesis Goffman yang menyebutkan ada dua agency: pemain dan penonton dalam kehidupan sehari-sehari sebenarnya hanya melihat entitas yang satu saja. Dunia panggung berikut fungsi sosio-antropologisnya.

Tentu saja, analisis Goffman bukan tanpa kelemahan. Sebagai pelaku kita juga bisa mengajukan sejumlah pertanyaan, misalnya, siapakah (agensi) penulis skenario kehidupan di panggung dan penonton tersebut? Apakah keduanya ada pengaturnya sendiri? Apakah bisa berubah posisi? Jika bisa, apa dan bagaimana prosesnya?

Namun dengan pendekatan dramaturginya Goffman, kita bisa menemukan alasan mengapa banyak masyarakat kota yang seperti hidup dalam kecemasan, nihilism, dan (seperti) kehilangan harapan. Tetapi di sisi lain, sebagian masyarakat kota justru hidup dalam semangat yang menggebu-gebu dalam mengejar mimpi dan menggapai impian.

Tantan Hermansah
Pengajar sosiologi perkotaan UIN Jakarta, Sekjen P2MI

terbit di Rmol Jabar; http://www.rmoljabar.com/read/2019/05/29/100433/Dramaturgi-(Masyarakat)-Kota-

Tinggalkan Balasan