“Papalidan” Anak Remaja di Kota dalam Perspektif “Kota Manusia”

Mungkin dalam perjalanan menggunakan kendaraan, kita sering melihat sekelompok orang, paling sering remaja usia tanggung, bergerombol di pinggir jalan. Mereka terlihat sedang menunggu. Memang mereka sedang menunggu kendaraan lewat untuk dicegat. Mereka bukan membegal, meski tampaknya agak mirip. Mereka hanya menumpang kendaraan tersebut untuk pergi ke mana arah kendaraan melaju. Biasanya, jenis kendaraan yang dicegat adalah truk atau pick up.

Saat pandemi sekarang, pemandangan ini makin sering dan akhirnya jadi terlihat biasa saja. Komentar kita pun, mungkin biasa juga: “Ah, anak-anak namanya. Mungkin kesel di rumah”, atau sejumlah komentar lainnya.

Dalam istilah masyarakat Sunda, anak-anak yang melakukan hal seperti di atas, disebut sedang melakukan “Papalidan”. Papalidan dengan demikian merupakan tindakan menumpang sebuah kendaraan dengan mengikuti perjalanannya, yang dilakukan secara berkelompok.

Akan tetapi, jika kita renungkan lebih dalam, apa yang terlihat dengan kasat mata itu bisa menghentakkan pertanyaan kritis kita. Misalnya: “Mengapa anak-anak itu, yang usianya masih pelajar, berada di jalan? Bukannya waktu mereka seharusnya untuk menimba ilmu dari guru-gurunya di sekolah?”

Untuk membaca fenomena anak-anak jalanan temporal ini, tentu berbeda dengan anak-anak jalanan yang bisa dikatakan permanen. Anak jalanan permanen ini memang hidupnya mengandalkan keramahan eko-sistem kehidupan jalanan, seperti dari mengamen, mengemis, atau solidaritas sesama anak jalanan.

Berbeda dengan mereka, anak-anak yang melakukan “papalidan” ini adalah mereka yang umumnya punya keluarga, orang tua, uang jajan, dan kehidupan umum sebagai anak (anak). Maka, mengapa mereka melakukan papalidan?

Tentu jawabannya bisa panjang. Namun, melihat situasi dan kondisi sekarang, fenomena anak yang melakukan “papalidan” tidak bisa dilepaskan dari aspek makro dan mikro sosial yang berhubungan langsung dengan kehidupan mereka.

Aspek mikro adalah keluarga. Secara ideal keluarga adalah tumpuan utama anak-anak mengasah kecerdasan sosial, membangun karakter, memperkuat resiliensi dan memperluas jaringan sosial. Aspek-aspek tersebut hadir dalam model pola asuh yang tentu memiliki kecukupan dalam berbagai pola asuh penunjangnya: ilmu pengetahuan, waktu, dan ruang sosial.

Sedangkan aspek makro adalah lingkungan sosial di luar keluarga. Lingkungan ini antara lain adalah lingkungan tempat mereka belajar dan bersosialisasi. Di mana idealnya, lingkungan di luar keluarga ini akan menjadi ruang sosial bagi anak-anak mempraktikkan tata cara berkehidupan dalam sebuah lingkungan yang lebih kompleks daripada keluarga.

Jika didalami, saat ini kedua lingkungan tempat anak-anak kita belajar untuk membangun karakternya memiliki potensi masalah yang cukup besar. Di lingkungan keluarga, tidak semuanya memiliki sarana yang cukup untuk merawat dan mengembangkan karakter yang selama ini dilakukan dalam sistem pendidikan berbasis sekolah (tatap muka). Selain bahwa secara ruang, banyak rumah-rumah kita tidak cukup untuk menampung energi gerak manusia yang tinggal di dalamnya, yang selama ini energi ini tersalurkan di luar rumah. Sementara di luar rumah, pun tidak terlalu berbeda.

Maka dari itu, anak-anak, khususnya mereka yang mengalami permasalahan sosial-ruang seperti dijelaskan di atas, akhirnya berkumpul dengan teman-teman sebayanya dan mencari “pelampiasan” kegiatan, antara lain papalidan ini. Secara lebih dalam aktivitas papalidan yang dilakukan oleh anak-anak remaja ini bisa dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, mereka melakukan aktivitas papalidan karena di rumah merasa jenuh. Waktu mereka yang bisa jadi lebih banyak “menganggur” sehabis sekolah daring dan tidak memiliki agenda lain. Berbeda dengan sebelumnya, anak-anak usia sekolah ini, kurang punya keleluasaan untuk melakukan aktivitas “papalidan”.

Setelah sekolah luring, mereka masih bisa melakukan olahraga di luar rumah, ikut les, atau sekadar kumpul dengan teman-teman sekelasnya. Praktis begitu sampai di rumah, mereka cukup ingin mendapatkan kembali suasana keluarga.

Kedua, mereka melakukan papalidan karena menginginkan suasana dan perasaan mendapatkan kebebasan. Dengan tidak mengetahui ke mana arah truk atau pick up yang mereka tumpangi itu, mereka menemukan keindahan dalam ketidakpastiannya itu. Mereka seolah-olah mengekspresikan apa yang ada di rumah dan di lingkungannya adalah pengekangan. Sehingga papalidan akan memberikan mereka kenikmatan.

Ketiga, dalam konteks yang lebih besar, fenomena papalidan merupakan symptom bahwa ada masalah dalam tata laksana pengelolaan institusi keluarga dan tempat-tempat anak-anak itu bersekolah. Bisa jadi, beban yang tinggi, sistem yang kurang ramah anak, serta target yang diinginkan oleh institusi (keluarga dan sekolah) sendiri pada anak-anak tidak klop. Akibatnya, secara diam-diam anak-anak ini melakukan “pemberontakan”.

Lalu bagaimana kita merespon fenomena ini? Untuk menjawabnya, kita bisa menggunakan salah satu pendekatan yang sedang dikembangkan oleh penulis, yakni “Kota Manusia”. Dalam perspektif Kota Manusia atau “human city” fenomena anak-anak remaja yang menumpang kendaraan terbuka dengan tujuan yang tidak jelas, merupakan sebuah anomali sosial budaya yang justru mengancam sendi-sendi kemanusiaan itu sendiri.

Sebagai kota yang dipondasikan pada keindahan nilai-nilai akal budi manusia, maka remaja-remaja itu sejatinya tetap ada pada lingkungan yang resikonya rendah dan tidak mengancam pribadi (tubuh dan pikiran) mereka. Kegiatan ini bukan merupakan sebuah sub-kultur perkotaan karena risiko yang mengancam jiwa dan raga fisik anak jauh lebih besar ketimbang manfaat yang dirasakan oleh anak-anak tersebut.

Kota Manusia adalah ruang yang akan membebaskan sebagian dari sumberdaya yang dimilikinya untuk dinikmati oleh anak-anak seusia ini. Dalam kota Manusia, kebebasan anak-anak akan dijamin, karena mereka adalah pewaris dari segala yang ada pada Kota Manusia itu sendiri. [*]

Dr. Tantan Hermansah, pengampu MK Sosiologi Perkotaan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Anggota Komisi Infokom MUI Pusat.

Tinggalkan Balasan