Kota Yang Terasing

Banyak kota di dunia yang berkontribusi pada realitas keterasingan warganya. Tulisan singkat ini akan menjelaskan bagaimana fenomena tersebut berlaku. Salah satu pandangan Karl Marx (1818-1883) yang cukup populer dikutip banyak orang adalah teori keterasingan (alienasi). Meski sudah berusia lebih dari satu abad, namun teori ini bisa dikatakan tetap relevan menganalisis masyarakat saat ini.

Kota adalah ruang yang nafas dan jiwanya harus melakukan produksi dan reproduksi terus menerus. Hal yang paling mudah diidentifikasi bisa ditemukan di sekitar kita—tentu jika tinggal di kota. Jalanan yang terus aktif menjadi sarana orang lalu lalang; perkantoran, taman, bahkan gorong-gorong, dan jembatan. Semuanya aktif memproduksi realitas sesuai fungsinya.

Begitupun sarana komunal penunjang lain seperti: mall, bioskop, sekolahan, ruang hiburan, dan sebagainya. Semua itu, secara berkala akan terus diperbaharui, diperbaiki, dan baik dari sisi substansi atau konten, dikontekstualisasikan.

Semua proses yang dilakukan dimaksudkan agar fungsi kota sebagai ruang produksi dan reproduksi lancar. Sebagai ruang produksi, maka kota dituntut untuk terus berpikir aktif menghasilkan atau menciptakan hal-hal baru. Setiap hal baru yang dihasilkan itu dioptimalisasikan untuk menyuapi warganya yang selalu kehausan dan kelaparan.

Contoh: lagu-lagu baru terus diciptakan; aksi-aksi baru dalam film terus dipertontonkan; desain baru di kantor, rumah, cafe, pertigaan, bahkan pusat perbelanjaan. Itu semua hadir untuk melayani kehendak manja dari manusia kota yang tidak pernah puas.

Sedangkan reproduksi adalah proses mendaur ulang pikiran, produk, dan hal-hal yang sudah ada sebelumnya, dengan modifikasi terbatas, agar bisa dipakai atau difungsikan kembali. Lagu lama diaransemen ulang; desain bangunan lama diperbaiki; cafe lama dimodernisir; buku atau tulisan lama didiskusikan kembali, film lama dibuat ulang, tempat hiburan lama ditambahi antraksi baru, dan sebagainya.

Jika kita telusuri apa yang ada di balik semua proses dan realitas di atas, sebetulnya dihasilkan dari sesuatu yang melekat atau harus dilekatkan kepada manusia: kerja. Di sinilah pikiran Marx menjadi relevan kembali dijadikan bahan analisis.

Kerja memang seperti titah Tuhan yang dibebankan kepada manusia sepanjang jaman. Tugas mulia ini terukur pada hasil yang dimunculkan, dinikmati, dan (sebagian) dikagumi. Hasil kerja setiap orang berbeda-beda sesuai dengan apa yang dilakukannya.

Namun ada sedikit celah ketika frasa “kerja” yang terus dingiangkan sebagai titah mulia itu: keterasingan dari subyek yang melakukannya. Mereka yang sejak bangun tidur sampai tidur lagi ‘terbebani’ untuk terus melakukan kerja, kemudian secara tidak sadar membangun penghalang yang membatasi kebebasan sejati manusia. Lihat saja, mengapa dalam pembagian hari harus ada hari kerja dan hari libur; week end dan week days, dan sebagainya.https://googleads.g.doubleclick.net/pagead/ads?client=ca-pub-4856760029410872&output=html&h=139&slotname=7379219380&adk=2745296645&adf=873848573&pi=t.ma~as.7379219380&w=555&fwrn=4&lmt=1625651703&rafmt=11&psa=1&format=555×139&url=https%3A%2F%2Frm.id%2Fbaca-berita%2Fnasional%2F63413%2Fkota-yang-terasing%2F2&flash=0&wgl=1&uach=WyJXaW5kb3dzIiwiNi4xIiwieDg2IiwiIiwiOTEuMC40NDcyLjEyNCIsW10sbnVsbCxudWxsLG51bGxd&dt=1625651702653&bpp=11&bdt=789&idt=356&shv=r20210630&ptt=9&saldr=aa&abxe=1&cookie=ID%3Dd87f01f9ae8161ca-22e11cc837c600f9%3AT%3D1614829383%3ART%3D1614829383%3AS%3DALNI_Ma0fXntfwd4zFeaOk9aGI7HKThu_A&prev_fmts=0x0%2C160x400&nras=1&correlator=3455780313561&frm=20&pv=1&ga_vid=886270069.1614829381&ga_sid=1625651703&ga_hid=1425602267&ga_fc=0&rplot=4&u_tz=420&u_his=3&u_java=0&u_h=768&u_w=1366&u_ah=768&u_aw=1304&u_cd=24&u_nplug=3&u_nmime=4&adx=74&ady=1109&biw=1287&bih=697&scr_x=0&scr_y=0&eid=21066434&oid=2&pvsid=3253762773477657&pem=929&ref=https%3A%2F%2Frm.id%2Fbaca-berita%2Fnasional%2F63413%2Fkota-yang-terasing&eae=0&fc=1920&brdim=0%2C0%2C0%2C0%2C1304%2C0%2C1304%2C768%2C1304%2C697&vis=1&rsz=%7C%7CpeEbr%7C&abl=CS&pfx=0&fu=128&bc=31&ifi=2&uci=a!2&btvi=2&fsb=1&xpc=brPkrXZAg0&p=https%3A//rm.id&dtd=387

Proses pembagian hari merupakan upaya pembatas yang dilakukan manusia karena ia harus melayani ‘titah mulia’ dalam frasa kerja. Sehingga di dalam ruang yang terbatas itu, tidak ada kebebasan manusia yang utuh dan sejati. Sebab setiap daya diekspresikan dan divisualisasikan dalam narasi tunggal: kerja.

Inilah yang diwaspadai oleh Marx sebagai keterasingan manusia dalam hidup yang justru diproduksi oleh dirinya sendiri. Kerja merupakan hasil produksi manusia modern yang dibumbui oleh segudang pesona karena ada godaan kenikmatan material di situ. Mereka yang bisa mendapatkan kerja yang mapan, dianggap(kan) akan dengan sendirinya mendapatkan kemakmuran dan kesejahteraan.

Padahal jebakan keterasingan itu yang justru terjadi sebenarnya. Kesenangan di akhir pekan yang ditawarkan oleh nikmatnya punya pekerjaan, sebenarnya tidak lain dan tidak bukan, justru hanya upaya untuk melayani kebutuhan maksimalisasi energi yang sudah seminggu sebelumnya dikuras untuk melayani indahnya kerja.

Maka dari itu wajar jika pelaku kerja yang sebagian besar ada di kota, dan menjadi penyangga utama tubuh kota itu sendiri, sekaligus menjadi subyek paling banyak terasing. Datanglah ke tempat berkumpul orang-orang kota seperti cafe dan mall. Mereka yang tampak ceria dan gembira, sebenarnya hanya melakukan pelarian sesaat agar kembali siap pada kerja(an) yang menantinya.

Lembaga-lembaga di kota, mulai dari kantor dan tempat hiburan, didesain secara personal untuk melayani kebutuhan mereka yang terasing itu. Personalisasi semakin mengkristal karena dikampanyekan sedemikian rupa dalam berbagai ruang publik. Maka dari itu, kerja bisa jadi merupakan peluru yang menghapus ‘publik’, karena upaya-upaya personalisasi hadir dalam setiap keadaan.

Maka wajar jika kemudian ruang-ruang pelarian warga kota yang terasing pun diperluas. Salah satunya adalah ruang maya. Ruang maya menjadi salah satu ruang pelarian manusia kota yang sudah lama merasakan kesesakan dalam ruang nyata. Apalagi dominasi mereka yang kerja dengan penghasilan lebih besar sangat terasa. Maka dari itu, pelarian ke ruang maya menjadi tidak bisa dielakkan.

Namun tetap saja, di ruang nyata dan ruang maya, sebenarnya manusia-manusia yang berusaha ada di sana, menjadi subyek yang terasing. Jadi ruang-ruang tersebut pun hanya berfungsi sebagai pengokoh keterasingan itu. Dalam keterasingan yang tidak bertepi itulah kemudian warga kota terus menerus melakukan pencarian. Salah satu yang kemudian bisa mengobati atau menjadi penawar dahaga keterasingan itu adalah ruang-ruang spiritual.

Berbeda dengan di kantor, tempat belanja, tempat rekreasi, dan hal lain yang serupa dengannya, di ruang-ruang spiritual itu manusia-manusia menemukan kebersamaan dalam kesadaran. Keterasingan terkikis karena semua terasa dan tampak hadir bersama-sama.

Maka wajar jika kemudian majelis dzikir, kebaktian, dan ruang-ruang ibadah lain, mulai disesaki oleh warga kota. Sebab kerja yang melarutkan hidup mereka tidak pernah bisa menjadi antibiotik keterasingannya selama ini. [*]

[Penulis adalah Doktor Sosiologi alumni Universitas Indonesia (UI), Pengampu MK Sosiologi Perkotaan, Universitas Islam Negeri (UINSyarif Hidayatullah, Jakarta, Anggota Komisi Infokom MUI Pusat]

Tinggalkan Balasan