Warga Kota Yang Kesepian

Suasana pandemi yang sudah memasuki lebih dari setengah tahun, tentu telah menimbulkan berbagai hal pada kehidupan keluarga di Indonesia. Jika kita petakan, bagaimana respon warga terhadap suasana sosiologis di masa pandemi, maka bisa ditemukan fakta-fakta berikut:

Pertama, mereka yang menurut pada anjuran pemerintah secara ekstrim. Artinya mereka benar-benar bukan saja menerapkan protokol kesehatan secara ketat, tetapi menambahi dengan berbagai atribut sosial yang tidak kalah ketat, seperti tidak atau sedikit sekali berinteraksi di luar rumah. Bahkan, ada yang keluar rumah hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok, seperti belanja sayuran dengan jumlah yang cukup banyak untuk memenuhi isi kulkas.

Kedua adalah mereka yang menyikapi dengan moderat. Membatasi diri untuk berinteraksi serta menjaga protokol kesehatan secara wajar, seperti memakai masker, selalu mencuci tangan dengan air sabun atau hand sanitizer, dan sebagainya. Mereka ini umumnya tidak membatasi diri untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial, teman kantor, dan ruang publik lainnya -meski dengan model yang dibuat terbatas.

Ketiga, adalah mereka yang menyikapinya asal saja. Anjuran pemerintah didengarkan, tetapi juga tidak ditaati dengan baik. Bisa jadi mereka tetap menggunakan masker, tetapi seadanya saja.

Keempat, adalah mereka yang menyikapi dengan cara bertentangan secara ekstrim dengan apa yang dianjurkan pemerintah. Tidak menggunakan masker, dan berperilaku seperti sebelum new normal ini.

Dari keempat model respon tersebut, tentu saja setidaknya untuk tiga respon pertama akan memberikan dampak nyata pada tatanan kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah menghasilkan masyarakat yang terasing dan kesepian.

Sebelum melangkah lebih jauh, yang dimaksud dengan keterasingan di sini adalah perasaan yang timbul karena lingkungan sosialnya seperti tidak dikenali lagi. Sehingga ia kemudian merasa hidup sendirian.

Sedangkan perasaan kesepian merupakan kelanjutan dari rasa keterasingan yang mengalami proses kristalisasi, karena mininnya interaksi. Keterasingan dan kesepian ini kemudian membuat dia harus menjaga jarak sosial, dan bahkan kehidupan dari ruang atau arena yang selama ini menjadi tempat ini menambatkan kebudayaan bersama orang lain.

Mereka yang mengalami perasaan keterasingan dan kesepian ini umumnya orang kota. Alasannya, karena mereka cukup terbiasa dalam suasana yang riuh, berhimpitan, berkontestasi, dan berdesak-desakan secara sosial, ekonomi, dan budaya. Apalagi jika mereka juga hidup sehari-hari pada perumahan yang padat atau pada perumahan vertikal.

Namun karena dasarnya manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon), maka upaya struktural yang menghasilkan keterasingan dan kesepian ini pun jebol juga. Karena hakikatnya manusia bukan subyek yang akan merasa nyaman dalam suasana terasing dan sepi.

Manusia adalah sosok subyek yang memiliki lisan dan mulut untuk menghasilkan tindakan menyapa, serta memiliki akal budi yang mampu memberikan makna secara bersama-sama atas sesuatu peristiwa.

Maka jangan heran jika akhirnya manusia lain melakukan tindakan menerobos anjuran ini dengan cara escape atau lari keluar dari, setidaknya, kawasan yang selama ini membuatnya merasa terasing dan kesepian itu.

Tujuan subyek ini secara sederhana bisa dibagi menjadi dua: pertama, adalah ruang yang bisa membebaskan diri dari kesepian seperti ke mall, restoran yang penuh, dan sebagainya.

Di ruang seperti ini, manusia merasakan bahwa kebebasan untuk menuangkan rasa tersebut, terwadahi pada arena yang tengah mereka rasakan. Jadi makan bersama di resto mewah, menonton konser atau bioskop sejatinya dipahami sebagai upaya selebrasi atas pengekangan selama ini.

Tujuan kedua adalah ruang-ruang yang justru memang didesain, dibuat, untuk menunjukkan kesejatian dari kesepian dan keterasingan ini. Di arena ini, kesepian dihadirkan karena pada dasarnya manusia hidup individualis. Jika di kota tempat tinggalnya individuasi itu susah diekspresikan, pada ruang seperti ini justru subyek sebagai individu tunggal diakui eksistensinya.

Salah satu tempat orang kota “mengasingkan” diri dari kesepian karena pandemi adalah Kampung Budaya Sunda (KBS) Sindang Barang. Destinasi yang berbasis budaya ini terletak di Kampung Pasir Eurih, Kabupaten Bogor. Visualisasi yang ditampilkan adalah suasana budaya Sunda jaman dahulu, yang diwujudkan dalam beragam bangunan dengan desain Sunda klasik.

Di ruang-ruang seperti ini, para pengunjung seolah diajak untuk menyelami kembali kehidupan masa kini dengan cara pandang atau perasaan masa lalu. Atau sebaliknya: menyelami masa lalu dengan perasaan kekinian. Sehingga para pelancong kemudian menemukan kediriannya dalam cuaca, rasa dan keindahan.

Para pelancong yang nota bene kebanyakan orang kota itu, seperti diajak menepi dari segala kebisingan, untuk sejenak mentadaburi kehidupan sejati yang selalu melibatkan alam sebagai teman dialog menelisik alif ba ta kehidupan.

Kesendirian dan kesepian diberikan ruang sebagai bagian dari cara manusia bisa —jika menggunakan istilah Ebiet G. Ade— “menengok ke dalam”. Sebab selama ini, manusia kerap lebih banyak melihat keluar dan membangun semua parameter kehidupan berdasarkan tengokan ke luar itu.

Tamasya warga kota ke ruang sepi tentu bukan untuk mengekstraksi kesepian. Justru sebaliknya, untuk meluluhlantakkan perasaan individu yang akan mengganggu sistem relasi— yang secara hakiki merupakan ciri utama manusia.

Untuk itulah maka sebelum kita semua larut dalam keterasingan dan kesepian; sebelum keterasingan dan kesepian itu melembaga, maka secara bersama-sama dan dengan kesadaran, ruang-ruang publik tempat manusia kembali mengasah nuraninya, harus dihidupkan kembali dengan pembatasan yang ketat.

Tentu saja proses sosial budaya dalam era new normal ini tidak selalu mudah. Namun tidak ada kekuatan yang akan mengalahkan kebersamaan; apalagi jika ditambah vitamin kesadaran.

Telah terbit: https://rmco.id/baca-berita/nasional/53795/warga-kota-yang-kesepian

Tinggalkan Balasan