Transformasi Pariwisata (Seharusnya) Di Tengah Pandemi

Pariwisata merupakan kegiatan yang di dalamnya terdiri dari berbagai unsur yang saling bersinergi dan berkolaborasi. Agensi pariwisata terdiri: Pemerintah, swasta besar, swasta kecil seperti UMKM, perorangan, masyarakat, akademisi, dan media. Mereka memiliki peran masing-masing dalam struktur dan sistem kepariwisataan. Sinergi atau tidaknya para pihak tersebut memberikan pengaruh dan dampak yang kuat kepada kualitas destinasi.

Artikel ini akan mendiskusikan realitas baru di era “new normal” akibat pandemi Covid-19. Sebab, seperti banyak diulas, pariwisata merupakan salah satu sektor yang terkena dampak cukup berat. Kebijakan PSBB atau lock down, bukan hanya telah memukul mundur sektor ini, bahkan banyak di antara pelaku dan kawasan wisata yang “berhenti” serta “gulung tikar”.

Jika dirunutkan dari hulu, pariwisata didasarkan pada ide. Ide yang dihasilkan itu bisa dikarenakan ada pemantik material, seperti bentang alam, budaya masyarakat, pola dan tata cara hidup, dan sebagainya, yang dirasakan menarik untuk dibagi dengan orang lain. Atau bisa juga idea dihasilkan dari pikiran-pikiran kreatif untuk ditawarkan sebagai pengalaman atau pengetahuan baru kepada turis.

Dalam konteks idealisasinya, pelancong bukanlah obyek yang menerima begitu saja. Mereka adalah subyek kritis yang harus diajak untuk berdialektika dengan produk wisata yang ditawarkan kepada mereka. Sehingga kedua belah pihak bisa sama-sama menemukan dan mendapatkan pengalaman atas produk wisata tersebut.

Bagi wisatawan atau pelancong, setiap pengalaman dari suatu produk wisata yang dikunjungi atau dirasakannya, akan menghasilkan suatu keputusan: apakah destinasi itu menarik untuk dikunjungi kembali; atau sebaliknya, didatangi sekali saja serta cukup diabadikan dalam foto dan selesai.

Setiap keputusan dari wisatawan akan memberikan dampak kepada destinasi, pengelola, dan tentu masyarakat sekitar. Semakin destinasi itu menarik banyak kunjungan, maka dampak kepada lingkungan sosial ekonomi masyarakat semakin besar. Oleh karena itu, kemampuan pengelola destinasi untuk mengembangkan sistem produksi produk wisata menjadi penting. Bahan kemampuan ini akan menjadi seperti nyawa bagi masa depan destinasi tersebut.

Ide dalam sistem pariwisata adalah ruh atau jiwa yang akan memastikan suatu destinasi menarik untuk menjadi tujuan kunjungan. Supaya ide memiliki kaki, maka perlu diwujudkan dalam realitas yang bisa dinikmati oleh berbagai pihak—terutama pengunjung. Semakin kuat ide yang membangunnya, maka destinasi tersebut akan semakin menarik bagi banyak orang/ kalangan.

Ide itu yang akan menjangkau pikiran. Sehingga ketika pikirannya dirasuki ide tersebut, maka pengelola destinasi dengan pengujung atau wisatawan akan mendialogkan pikiran-pikiran tersebut untuk sama-sama menemukan pengalaman atas produk wisata yang dibuatnya. Sehingga masing-masing pihak akan mendapatkan pengalamannya sendiri-sendiri, secara unik, terbatas, dan khas. Dari sinilah mengapa sebuah tujuan wisata kemudian memiliki narasi yang seakan-akan sambung menyambung, membentuk sebuah kisah dan (bahkan) sejarah.

Contoh ada sebuah daerah yang menawarkan pemandangan luar biasa: indah, eksotis, dan mengagumkan. Ketika daerah itu mulai dinikmati para pelancong lokal (maupun mancanegara), maka ide-ide baru timbul untuk memberikan pengalaman lebih kepada para pelancong itu. Sehingga pelancong atau wisatawan itu bisa mendapatkan nilai tambah dari kunjungan ke destinasi tersebut. Model atau tipologi pertama ini contohnya adalah Bali, Raja Ampat, dan berbagai destinasi yang ada di Indonesia (dan tentu dunia).

Kasus kedua adalah sebuah daerah yang sebaliknya: tidak indah dan juga tidak mengagumkan. Lalu datang seorang tourism creator. Merujuk kepada baseline data, lalu dibangun infrastruktur menuju ke destinasi. Kemudian daerah tersebut disentuh dengan tawaran pengalaman baru kepada calon wisatawan. Termasuk beragam program yang menawarkan berbagai keunikan pengalaman.

Untuk model kedua biasanya memang harus ada upaya-upaya yang lebih khusus, tidak sekedar pelayanan. Upaya-upaya itu antara lain promosi besar-besaran dan juga undangan-undangan kepada para wisatawan untuk mendapatkan pengalaman baru dalam berwisata. Model kedua contohnya adalah Dubai, Maroko, dan sebagainya. Para kreator sukses mengubah gurun tandus menjadi destinasi yang ramai dan mampu menawarkan pengalaman berbeda kepada pelancong.

Kedua model atau pendekatan tersebut di atas terbukti sukses dalam dunia pariwisata. Tinggal kita pilih yang mana. Meskipun sepertinya bertentangan secara tajam sebenarnya terlihat bahwa ada irisan yang kuat, yang kemudian mendorong hidupnya pariwisata. Irisan tersebut ada kreativitas.

Sebagaimana ide, kreativitas dalam bidang pariwisata adalah darah yang akan memastikan keberlangsungan dan keberlanjutan pariwisata ini. Tanpa “darah” ini maka destinasi tertentu hanya akan viral ketika selesai diluncurkan (launching) dan setelah itu menjadi biasa saja. Tanpa kreativitas yang merupakan jiwa dari industri ini, kita sudah sering melihat bahwa kawasan wisata hanya teronggok begitu saja dengan pengunjung hanya karyawannya.

Kejadian bagaimana kawasan pariwisata yang nir-kreativitas itu dan akhirnya teronggok tak berdaya itu, ditemukan pada kawasan yang dikelola oleh pemerintah, masyarakat, dan atau swasta. Apalagi jika kita melihat kenyataan bahwa para pelancong yang ada masih miskin edukasi. Akibatnya banyak kawasan atau destinasi wisata mengalami proses kehancuran.

Situasi pandemi saat ini telah banyak memukul berbagai sektor produktif, termasuk pariwisata. Banyak sarana wisata stuck bahkan “bubar”. Berbagai informasi memilukan yang terkait dengan mereka yang selama ini tergantung dengan pekerjaan di dunia wisata. Mulai dari yang gajinya tidak dibayar berbulan-bulan, mengubah waterboom menjadi ternak ikan, sampai kawasan yang dibiarkan “mati suri” begitu saja.

Sementara banyak kawasan wisata yang “eksisting” itu mengalami masa-masa sulit. Terutama situasi pandemi menyebabkan destinasi-destinasi yang berbau hiburan itu diatur dan diawasi sangat ketat. Fenomena baru terjadi, terutama di kalangan menengah bawah. Aktivitas piknik atau berwisata tetap dilakukan pada titik-titik destinasi yang (apa) adanya. Contoh di Garut, kawasan perkebunan teh dijadikan tempat kelas menengah bawah ini menyalurkan keinginan untuk berwisata. Beberapa pengunjung menggelar tikar dan makan bersama di kawasan ini.

Di tempat lain, situasi serupa terjadi. Tempat yang indah, meski dengan fasilitas terbatas, menjadi destinasi para pelancong. Di kawasan-kawasan ini, bisa dikatakan tidak ada pengelola. Kadang hanya wisatawan hanya membayar uang parkir saja. Wahana wisatanya pun, kadang hanya keunikan-keunikan yang biasa, bahkan lebih banyak pemandangan alam saja.

Jadi wajar jika kerumunan pelancong sesaat itu tidak bisa dibubarkan karena karakteristiknya yang dinamis. Selain kawasan destinasinya tidak ada pengelola formal, juga durasi berwisata dan kelompok wisatawannya sangat terbatas.

Wisata, Imun Bahagia dan Pandemi

Merujuk kepada berbagai fenomena di atas, bagaimana kita membacanya?

Secara positif, apa yang terjadi di destinasi dadakan tersebut adalah upaya masyarakat untuk membunuh rasa bosan ketika mereka kelamaan harus tinggal di rumah. Jika melihat penampilannya, bisa jadi mereka ini adalah kelompok masyarakat yang hidup di kontrakan, atau rumah-rumah kecil sederhana. Ketika mereka harus tinggal berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan mereka tinggal di rumah, alih-alih menghasilkan imun bahagia, yang ada justru bisa menghasilkan ketegangan. Padahal kita mengetahui bahwa imun bahagia adalah satu penangkal penyakit, termasuk menghasilkan antibodi yang menangkal virus.

Dengan demikian, destinasi dadakan ini bisa dibaca sebagai cara masyarakat membantu pemerintah meningkatkan daya tahan fisik, sosial, dan psikis. Dalam konteks ini tentu himbauan untuk tetap di rumah menjadi kurang nyambung dengan kebutuhan riil. Terlebih lagi sumpeknya hidup semakin meningkat dengan berbagai berita yang kurang positif.

Maka tidak ada cara lain selain melakukan transformasi. Transformasi pariwisata bukan lagi alternatif, tetapi menjadi kebutuhan nyata adanya. Terlebih masa pandemi yang jika salah meresponnya, justru akan memperburuk keadaan.

Proses transformasi pariwisata bisa dilakukan sebagai berikut:

Pertama, alih teknologi. Pemerintah mewajibkan seluruh pengelola destinasi menggunakan teknologi sebagai “pintu masuk” untuk: memasarkan produk, dan memastikan pengujung baik hari kedatangan maupun lamanya tinggal di destinasi. Dengan teknologi ini, maka setiap destinasi bisa mudah melakukan kontrol jumlah pengunjung. Contoh jika sebuah kawasan biasa muat 1000 orang per hari, maka teknologi memungkinkan untuk melakukan pembatasan karena pengunjung sudah melakukan pendaftaran jauh-jauh hari.

Kedua, perilaku. Selain pembatasan jumlah, tentu hal yang tidak boleh ditawar adalah pengaturan perilaku di dalam kawasan. Hal ini untuk memastikan tidak terjadinya hal-hal yang melanggar protokol corona. Karena dengan jumlah pasti pengunjung, pihak kawasan bisa mengelola kumpulan dan akses ruang pada setiap destinasi dengan mudah dan terarah.

Ketiga, sinergi. Sinergi atau kolaborasi ini bisa dilakukan dengan berbagai dimensi. Misalnya sinergi dengan pemerintah daerah yang berbeda; atau jenis produk wisata yang berbeda, atau pengelola destinasi lainnya. Dengan sinergi ini maka wisatawan akan mendapatkan berbagai pengalaman yang beram karena tidak terpaku pada satu titik destinasi saja.

Selain anti virus yang saat ini sedang dikembangkan berbagai pihak, maka model-model peningkatan imun yang konvensional seperti berpiknik, sejatinya tidak perlu diberangus total. Sebab di tengah penantian anti virus ini, kita bisa menangkal kebosanan menanti itu dengan menjadikan diri kita tetap bahagia. 

Telah Terbit: https://rmco.id/baca-berita/nasional/51524/transformasi-pariwisata-seharusnya-di-tengah-pandemi

Tinggalkan Balasan