Kampus Blended dan Tantangan Mencerdaskan

Memasuki awal-awal perkuliahan, kita dihadirkan suasana baru. Meski tidak pernah terbayangkan sebelumnya, namun pengalaman selama masa pandemi ini sangat berharga untuk menjadi alat evaluasi kelembagaan sistem pengajaran di kampus. Di mana, kampus yang di dalamnya bertujuan mencetak dan menghasilkan generasi terkini yang siap beradaptasi dengan budaya jaman, justru banyak yang tergopoh-gopoh untuk mengimbangi tuntutan aktual ini.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa kampus selama masa pandemi harus mengadaptasikan diri secara cepat dalam pelayanannya kepada stakeholders kampus: mahasiswa, dosen, dan masyarakat luar kampus. Jika sebelumnya daring hanya alternatif yang tidak semua orang cakap menggunakannya, kini semua pihak dituntut untuk menceburkan diri pada sistem tersebut. Di sinilah yang disebut sebagai tergopoh-gopoh. 

Namun jangan dilupakan bahwa realitas sosiologis masyarakat kampus. Banyak stakeholders ini datang dari berbagai kelas dan strata sosial-budaya yang berbeda. Ada yang berlatar belakang sosial-ekonomi yang mapan dan cukup, namun juga banyak dari kalangan menengah bawah baik secara ekonomi maupun sosial.

Realitas sosial ini meniscayakan bahwa respon atas situasi pembelajaran dan akademik di kampus pun harus menyesuaikan kondisi ini. Sehingga proses fasilitasi atas situasi ini sangat penting, tentu dengan tanpa mencederai keadilan. Di mana mereka yang ‘kekurangan’ harus diberikan ruang yang cukup agar proses mobilitas vertikal yang mereka lalui melalui sistem pendidikan ini tidak terhambat. 

*                                                      

Akhir-akhir ini kata “blended” sering dipergunakan oleh kalangan kampus untuk meringkas aktivitas formal di masa new normal ini. Berbeda dengan kata “zoom” yang merupakan sarana atau media penghantar proses kegiatan belajar atau KBM, “blended” adalah metodenya. Secara sederhana, “blended” merupakan aktivitas KBM yang menggunakan multi-metode. Multi metode ini bisa di arah pendekatan, bisa juga di aras yang lebih teknis, misalnya luring dan daring.

Model KBM daring dan luring ini bukan semata proses penyajian. Misalnya menggunakan sarana internet dan kemudian mendaringkan semua materi. “Blended” ini juga mengubah banyak formasi dan metode mengajar, konten, dan bahkan sistemnya. Oleh karena itu, metode “blended” pasti akan merembes menjadi budaya baru dalam sistem belajar.

Masih berkaitan dengan term blended ini, bagaimana SDM kita? Sebab secara praktis, kultur dan kapasitas kita tidak didesain untuk belajar dalam suasana ini. Bahkan, mereka yang tidak mau meningkatkan kapasitas diri untuk mengelola situsasi ini secara cerdas, cenderung hanya memindahkan materi ajar dari luring ke daring melalui media internet.

Sampai saat ini, nyaris semua media yang lazim dipergunakan untuk pengajaran a la blended ini tidak berbasis produk lokal. Sebut saja yang paling populer adalah zoom dan g-meet. Jelas, semakin banyak yang memercayakan produk ini sebagai fasilitas untuk pengajaran, maka keuntungan mereka semakin besar. Mengapa kita tidak segera memproduksi sarana untuk daring ini, sehingga bandwith yang dipergunakan bisa lebih hemat dan anak bangsa bisa menikmati sistem blended ini dengan jauh lebih murah.

Dengan demikian, maka sebetulnya kita sedang memasuki era terekstrim dalam sistem blended ini. Di mana seluruh instrumen untuk mencerdaskan kehidupan bangsa diblended dalam sebuah kerangka fikir yang tidak didasarkan kepada infrastruktur dan suprastruktur yang jelas.

Menghadapi persoalan ini, maka sudah sejatinya kita harus melakukan telaah ulang atas semua yang terjadi ini, termasuk mempertanyakan apakah pilihan-pilihan kita atas proses yang tengah dan akhirnya dipaksakan berlangsung itu benar-benar berdiri di pundak yang benar, atau hanya karena keterpaksaan.

Dalam kondisi “keterpaksaan” ini, sejatinya pemeritah harus tetap kokoh pada tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang telah digariskan Undang-undang Dasar 1945 itu. Karena kata yang dipilih bapak-bapak pendiri bangsa adalah “mencerdaskan” maka alat evaluasi atas pilihan-pilihan strategi pembelajaran hari ini pun harus diukur pada terma tersebut.

Menurut Haedar Nasir (Republika, 29/09/2019), “cerdas” artinya “sempurna perkembangan akal budinya untuk berpikir, mengerti, dan tajam pikiran; serta sempurna pertumbuhan tubuhnya  menjadi sehat dan kuat”.

Dengan merujuk kepada arti tersebut, maka pertanyaan kritis patut diajukan pada apa yang saat ini sedang kita setujui untuk dilangsungkan: benarkah sistem blended itu merupakan sarana yang cukup untuk mendukung upaya-upaya “menyempurnakan perkembangan akal budinya, dan menyempurnakan pertumbuhan fisiknya?”

Mari kita lihat realisasinya. Pertama, banyak kampus tergopoh-gopoh dengan metode ini karena sarana penunjangnya tidak atau belum siap. Sarana penunjang tersebut mulai dari infrastruktur penyalur data dan media pembelajarannya. Alih-alih menggunakan metode dan infrastruktur sendiri, yang terjadi hanya menumpang pada media yang sudah dibuat orang lain yang mekanisme pembuatan plaformnya bukan untuk pembelajaran daring.

Kedua, stakeholders utamanya, mahasiswa dan dosen pun tidak sepenuhnya bisa menumpang dengan mulus di atas platform yang ada tersebut. Banyak metode ini hanya mengalihkan model kelas luring ke kelas daring, tanpa modifikasi yang sistematis dan terjelaskan secara metode pembelajaran. Sehingga kelas-kelas banyak hanya bergulat pada teaching system. Sementara kegiatan pendidikan yang mengarah ke riset, menjadi terabaikan.

Ketiga, struktur masyarakat yang ada, di perkotaan dan di perdesaan banyak yang mengalami permasalahan yang sama atas teknologi yang ada. Di mana kita lebih banyak hanya menggunakan yang ada secara pasif. Misalnya melihat, memainkan, atau meramaikan. Oleh karena itu ketika modus belajar dialihkan ke berbagai media yang sudah lama mereka mengenalinya, kegagapan bersama tetap terjadi. Hal ini terjadi karena kurangnya inovasi yang memang selama ini tidak dijadikan bagian dari proses.

Lalu, masih bisakah kita mengharapkan agenda “mencerdaskan” itu pada suatu proses yang secara metodologis hadir karena dipaksa? Di sini kita menemukan berbagai kecemasan massal yang sejatinya harus segera dicarikan solusinya secara radikal. Pencarian secara intens dan radikal ini menjadi misi yang jauh lebih penting ketimbang membiarkan proses berjalan tanpa mengetahui tujuan dengan jelas.

Pemerintah sebagai agensi utama yang memanggul misi mencerdaskan bangsa harus mendobrak kebekuan ini dengan memulai melakukan audit secara besar-besaran atas proses yang sudah berlangsung. Misalnya mendorong suatu gugus tugas (task force) yang melakukan telaah ulang atas proses yang sudah berbulan-bulan kita jalani ini, lalu menyajikannya secara terbuka ke publik untuk didiskursuskan. Agenda mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai amanat fundamental UUD 45 itu sejatinya tidak bisa diserahkan kepada “mekanisme pasar”. Negara dan kita semua harus melakukan pengawalan. Sebab ketika apa yang terjadi dibiarkan begitu, kita kawatir bahwa ke depan akan ada budaya baru yang muncul padahal tidak kita harapkan.

Telah terbit:

https://rmco.id/baca-berita/nasional/51038/kampus-blended-dan-tantangan-mencerdaskan

Tinggalkan Balasan