Kota Pasca-Wabah

Kota merupakan urat peradaban manusia modern. Diekspresikan demikian karena nyaris semua sumbu pergerakan dan dinamika masyarakat saat ini diinisiasi oleh berbagai temuan dan inisiatif yang muncul dan dilahirkan di kota. Bukan hanya karena memang pusat pemerintahan ada di kota saja, tetapi lebih dari itu, sistem yang mengkoneksikan antarmanusia, kelompok, beragam nilai, dan entitas sosial pun adanya di kota. Dari kota, semua itu menjalar seperti batang pohon yang ditancapkan di tanah. Di mana kota adalah batangnya, sedangkan akar adalah segala inisiatif yang muncul dan menjalar ke seluruh arena di sekitar batang tersebut.

Maka wajar jika satu prediksi yang dikeluarkan oleh National Geographic (NG) beberapa tahun lagi, lebih dari 70 persen penduduk bumi nantinya akan tinggal di kota. Jika perspektifnya jumlah, angka yang dimunculkan oleh NG tidak mengalami masalah yang substantif. Namun menjadi permasalahan ketika kota didefinisikan sebagai sistem nilai, tata cara hidup, dan bahkan ideologi. Jika seperti ini, sangat mungkin angkanya akan berbeda jauh dan sangat signifikan. Bisa jadi, tidak ada lagi entitas yang bukan kota. Atau, “semua akan menjadi kota pada akhirnya”.Oleh karena itu masalah kota desa yang kadang diperhadapkan secara diametratif itu, tidak bisa dilihat hanya pada aspek subjek/ objek penduduk. Pembelahan kota desa bahkan sejak dulu pun tidak merujuk kepada persoalan orang (human being) dalam suatu kawasan. Kota desa lebih kepada tata kelola keadministrasian semata. Di luar itu, keduanya menyublim dalam suatu larutan yang susah sekali dibuat partikularitasnya.

Hari ini, kota dengan segala emblemnya sedang mengalami proses pendefinisian ulang. Asal muasalnya karena terjadinya wabah global (pandemic) yang menyebabkan kota harus “beristirahat sejenak”. Virus COVID-19 yang saat ini sedang mewabah mengharuskan manusia mengambil pilihan yang terbatas. Kebebasan yang menjadi panutan manusia modern dan menjadi acuan paling nyata dalam membangun peradaban dan keadabannya, diberikan nilai tambah baru bahwa salah satu makna kebebasan adalah membebaskan diri dari menggangu (meski hanya potensi) dan juga terganggu dari orang-orang sekitar yang diperkirakan menjadi OTG virus. Pilihan di rumah saja bukan hanya telah memberikan makna baru dalam teori sosial. Tetapi lebih jauh menjadi bingkai baru dalam tata pergaulan manusia. Dengan sendirinya, kebebasan telah memberikan substitusi lain dalam kehidupan manusia modern saat ini: menjaga jarak (fisik) dan harus hidup (selalu) dalam keadaan bersih dan sehat.

Lalu bagaimana kota pasca wabah?

Melihat apa yang terjadi dan berlaku hari ini, secara sosiologis, masyarakat di setiap negeri tengah mengalami transformasi baru dalam berbagai hal, seperti: tata kelola organisasi (bisnis dan non-bisnis) dalam bentuk yang sebagian baru; sistem pembelajaran (pada berbagai modus lembaga pendidikan), bahkan praktik politik. Semua itu akan berdampak kepada perilaku masyarakat. Gaya bekerja, usaha, dan bahkan modus-modus yang berbasis massa secara face to face harus berubah. Semua perubahan sosial itu akan berdampak signifikan pada berbagai kebutuhan infrastruktur maupun suprastrukturnya.

Di luar kebutuhan sanitasi seperti sabun dan disinfektan lainnya, hal yang justru penting adalah berubahnya paradigma kota-kota itu sendiri. Perubahan paradigma ini tentu akan mengubah lanskap tata ruang relasional yang selama ini membasiskan pada satu pendekatan massal. Dimulai dari sistem transformasi, kota-kota pasca-wabah akan berjalan pada moda sarana angkut yang lebih bersih, dengan daya angkut yang dibatasi. Otomatis, usia kendaraan akan lebih lama, dan emisi gas buang kendaraan akan lebih bersih. Dampak dari moda dan sistem transportasi ini adalah para penggunanya akan menjadi pribadi yang sehat dan fresh. Selain sarana transportasi publik, kendaraan pribadi secara perlahan berkurang di jalanan. Aturan pembatasan untuk hadir di kantor akan menyebabkan sebagian orang tidak perlu berdesak-desakan di jalan. Sehingga kemacetan akan berkurang dan perjalanan ke tempat kerja akan lebih nyaman dan menyenangkan.

Selanjutnya kantor-kantor akan melakukan reformasi kehadiran dan tata ruang serta lay out ruangan. Staf yang hadir di kantor akan diatur secara aplusan atau dibatasi signifikan. Dampaknya penggunaan energi listrik akan menurun, meski produktivitas akan tetap bahkan semakin baik. Sementara itu para manager di kantor akan semakin kreatif mengoptimalkan sumberdaya manusianya. Pembatasan kehadiran di kantor akan mendorong mereka bekerja lebih efisien.

optimisme bahwa kota pasca-wabah akan menjadi lebih baik karena lebih sehat dan teratur misalnya, tidak boleh padam meski yang terlihat tidak seideal yang diharapkan.

Lalu sekolah-sekolah karena merupakan salah satu simpul kerumunan pun akan mengalami transformasi signifikan. Mulai dari jumlah siswa yang kuliah secara luring, sampai kepada mekanisme KBM yang akan mengandalkan PJJ (pembelajaran jarak jauh). Lembaga pendidikan yang jumlahnya sangat banyak itu secara radikal akan mengubah berbagai hal: branding, sistem pembelajaran, bahkan tata kelola kelembagaan. Bangunan bertingkat dan riuh akan menurun tensinya karena managemen sekolahan mengubah struktur kerja staf dan tata cara belajar siswa.

Pusat keramaian lain yang sangat signifikan adalah pasar dan mal. Pasar dan mal sering dianggap sebagai sumbu utama ekonomi. Padahal praktiknya, kedua institusi ini hanya dampak dari hidupnya lembaga lain yang melakukan produksi. Kantor pemerintah dan swasta, lembaga-lembaga pendidikan, serta lembaga masyarakat lain adalah institusi utama ekonomi. Dari hasil produksi di lembaga itu, maka mal dan pasar akan mendapatkan berkah. Namun, kedua institusi ini akan mengalami transformasi yang tidak kalah hebatnya. Di mana sebagian beralih platform ke jualan daring. Kemudian, mal sebagai bagian dari aktivitas berkerumun akan membatasi diri dengan dalih keamanan dan kesehatan.

Simpulan

Beberapa prediksi di atas didasarkan pada pembacaan atas realitas yang saat ini sedang berlangsung dengan menganalisis bagaimana perilaku warga kota dalam dua dimensi: dimensi kemauan untuk tertib dan di atur serta dimensi budaya melakukan pelanggaran. Kedua dimensi perilaku ini sangat umum berlangsung pada masyarakat kota di Indonesia. Namun demikian, optimisme bahwa kota pasca-wabah akan menjadi lebih baik karena lebih sehat dan teratur misalnya, tidak boleh padam meski yang terlihat tidak seideal yang diharapkan.

Telah terbit: https://kumparan.com/kerja-bareng/kota-pasca-wabah-1tcxNkoko3v/full

Tinggalkan Balasan