Setiap tanggal 22 April, masyarakat dunia memperingatinya sebagai hari bumi (earth day), setidaknya sejak tahun 1970 lalu. Peringatan hari bumi sangat penting untuk senantiasa dilakukan mengingat krisis lingkungan hidup global yang kini menghantam planet bumi, sebagai rumah seluruh umat manusia, tidak menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Sebaliknya, laju krisis terus mengalami peningkatan yang sangat signifikan.
Salah satu penanda penting krisis lingkungan hidup global adalah naiknya suhu atau temperatur bumi. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), sebuah badan PBB, menyebut dalam laporannya pada tahun 2018 bahwa suhu bumi telah mengalami kenaikan sebesar 1 derajat Celcius akibat krisis iklim yang disebabkan oleh berbagai aktivitas destruktif manusia. Temperatur akan terus mengalami kenaikan sampai dengan tahun 2030 sebesar 1,5 derajat Celcius.
Penanda penting krisis lingkungan hidup global lainnya, sebagaimana dilaporkan oleh International Union for the Conservation of Nature (IUCN) pada tahun 2019, adalah hilangnya oksigen (deoksigenasi) di lautan dunia yang menjadi rumah bagi berbagai keanekaragaman hayati di planet bumi. IUCN mengindentifikasi, ada sekitar 700 area di lautan dunia yang mengalami deoksigenasi. Jumlah ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun 1960an yang tercatat hanya sebanyak 45 area.
Di Indonesia, krisis lingkungan hidup ditandai dengan hancurnya kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, akibat maraknya proyek seperti reklamasi di lebih dari 41 wilayah. Tak hanya itu, pertambangan pasir dan nikel memperparah kehancuran ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, yang tercatat lebih dari 1985 izin usaha pertambangan (IUP). Dalam pada itu, Pemerintah di seluruh provinsi di Indonesia mempercepat pembahasan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K), yang akan melanggengkan berbagai bentuk krisis. Dampaknya, kehidupan jutaan rumah tangga perikanan yang sangat tergantung kepada sumberdaya kelautan dan perikanan.
Dalam jangka panjang, kehancuran ekosistem lautan, baik dalam konteks global maupun Indonesia, akan berdampak pada matinya supply pangan laut yang terus dibutuhkan oleh masyarakat dunia yang telah mencapai hampir 7,4 miliar orang. Tak hanya untuk konsumsi manusia, sumber daya perikanan juga dibutuhkan untuk memberikan makan bagi hewan, khususnya di dalam sektor budidaya.
Di wilayah darat, krisis lingungan hidup tak kalah memilukan. Deforestasi akibat praktik pembakaran hutan terus terjadi. Pada tahun 2019 luasan hutan yang habis dibakar mencapai 900 ribu hektar. Tak hanya itu, 3,7 juta hektar hutan di Indonesia habis untuk kepentingan proyek tambang. Akibat hancurnya daratan, bencana ekologis yang mengancam masyarakat tak bisa dielakkan.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, dalam dua tahun terakhir telah bencana banjir sebanyak 1.021 kali. Dengan jumlah ini, 119 orang meninggal dunia, 1,266 orang mengalami luka-luka, dan 1.453.803 orang harus mengungsi. BNPB juga mencatat jumlah kejadian longsor dalam dua tahun terakhir sebanyak 809 kali. Akibatnya, 167 orang meninggal dunia, 202 mengalami luka-luka, dan 38.198 orang harus mengungsi. Lebih parahnya lagi, bencana ekologis berupa banjir serta tanah longsor yang menerjang Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan sebagian wilayah Jawa Barat awal tahun lalu, telah membunuh 60 orang serta memaksa 173 ribu orang harus berada di tempat-tempat pengungsian.
Perlu merumuskan agenda bersama
Sebagai bagian penting dari masyarakat global, umat Islam di dunia seharusnya memainkan peran penting dalam rangka memerangi krisis lingkungan hidup yang terus terjadi. Dengan jumlah penganut sebanyak 1,59 miliar jiwa, atau sekitar 23 persen dari total populasi dunia –berdasarkan data PEW Research Center, umat Islam sangat penting untuk menunjukkan sikap kritis terhadap praktik penghancuran planet bumi. Lebih jauh, diperlukan gerakan perlawanan secara massif dan komprehensif untuk membela keberlangsungan planet ini dengan artikulasi yang dapat dipahami oleh berbagai kalangan.
Di Indonesia, prosentase umat Islam berdasarkan catatan sensus penduduk pada akhir tahun 2017, sebanyak 87,2 persen dari total penduduk Indonesia sebanyak 265 juta jiwa. Meski jumlahnya sangat besar, mayoritas umat Islam masih belum mampu menunjukkan resistensi terhadap berbagai bentuk krisis lingkungan hidup, baik di lautan maupun di daratan, yang disebabkan oleh aktivitas ekstraktif dan eksploitatif serta didukung oleh kebijakan pemerintah.
Setidaknya ada sejumlah agenda bersama yang dapat dilakukan dalam rangka menyelamatkan planet bumi, khususnya dalam konteks Indonesia, yaitu:
Pertama, umat Islam di Indonesia perlu melakukan reformulasi di dalam merespon krisis lingkungan hidup global. Perlu diakui, persoalan lingkungan hidup global merupakan tantangan termutakhir yang tak ditemukan di dalam sejarah pada masa lampau, khususnya sejarah umat Islam. Karenanya, berbagai konstruksi teologis-filosofis atau ijtihad dalam bidang fiqih, relatif sulit ditemukan di dalam kitab-kitab turast. Salah satu hal yang dapat kita rujuk adalah konsep mengenai maqashid syariah yang ditulis oleh sejumlah ulama, seperti Imam Asy-Syathibi, tidak secara eksplisit menyebut perlindungan lingkungan hidup (hifdz al-bi’ah) sebagai salah satu tujuan diturunkannya syari’ah. Padahal, keberlangsung hidup manusia, khususnya umat Islam di dalam konteks melaksanan ibadah, takakan bisa dilaksanakan tanpa adanya lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Berdasarkan hal tersebut, produksi pengetahuan mengenai teologi lingkungan hidup, filsafat lingkungan hidup, atau fiqih lingkungan hidup di dalam diskursus keilmuwan Islam sangat penting untuk terus dilakukan sejak level sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi. Tanpa hal ini, kita takkan memiliki pijakan filosofis dan pijakan religius di dalam melawan krisis yang terjadi.
Kedua, umat Islam perlu menyusun gerakan sosial-politik untuk melawan berbagai bentuk eksploitasi alam yang dilakukan oleh kapitalisme melalui berbagai perusahaan multi nasional untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan keberlangsungan ekosistem penting. Harus diakui, krisis planet bumi adalah buah dari sistem kapitalisme yang membuat planet ini terus berdarah-darah. Jika dahulu kapitalisme dianggap hanya mengeksploitasi manusia, kini kapitalisme telah mengeksploitasi manusia sekaligus planet bumi.
Lebih jauh, umat Islam harus mampu melakukan konsolidasi gerakan sosial-politik di dalam mengoreksi berbagai kebijakan politik yang dilahirkan oleh negara atas nama pembangunan atau investasi. Salah satu hal yang penting menjadi perhatian dan sasaran kritik adalah Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja yang tengah dibahas di DPR RI. Secara substansi, di dalam RUU ini sangat terlihat ideologi pertumbuhan, yang akan mengeruk sumber daya alam.
RUU Omnibus Law Cipta Kerja perlu dikritik, atau bahkan ditolak, karena menempatkan sumber daya alam sebagai objek eksploitasi. Salah satu isu yang relevan dalam hal ini adalah pemberian izin tambang batu bara yang sesuai dengan usia tambang. Di kawasan pulau-pulau kecil, investasi asing diberikan ruang yang sangat besar, pada saat yang sama pertimbangan sosio-kultural serta pertimbangan ekologis akan dihilangkan.
Jika hal tersebut terjadi, planet bumi akan bernar-benar keterancaman yang sangat serius. Oleh karena umat Islam di Indonesia perlu segera melakukan konsolidasi. Menyelematkan planet bumi adalah bentuk nyata membela agama. Agama takkan tegak di atas planet bumi yang hancur. Keselamatan planet bumi adalah tanggungjawab penting umat beragama, khususnya umat Islam. Jika bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang kapan lagi?
Selamat memperingati dan merayakan hari bumi. (*)
Parid Ridwanuddin: Deputi Pengelolaan Pengetahuan (Deputy of Knowledge Management), KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan), The People’s Coalition for Fisheries Justice.