Strukturasi Macet

Dalam salah satu sesi diskusi tentang kemacetan pada kelas Ilmu Sosiologi, seorang penanya mempersoalkan kontribusi Ilmu Sosiologi pada persoalan kemacetan nyaris tidak ada suaranya. Sebagai contoh, ketika uji coba penutupan U-turn di sepanjang jalan dari Ciputat sampai Pasar Jumat dilakukan, tidak sampai duapuluh empat jam, publik langsung bereaksi. Di berbagai platform media “teriakan” itu diumbar dengan beragam narasi. Sampai akhirnya, tidak sampai seminggu, massa turun ke jalan.

Dalam perspektif sosiologis, kemacetan bisa dijelaskan sebagai proses pindahnya sekelompok orang dari satu tempat ke tempat lainnya, melalui saluran atau media yang bernama jalan pada waktu yang bersamaan. Ada tiga variabel kunci dalam membaca realitas macet: orang pindah, sarana jalan, dan waktu. Karena sosiologi fokus pada orang/ human, maka pertanyaannya, mengapa orang-orang perlu pindah pada waktu yang bersamaan?

Struktur Kerja dan Struktur Sosial

Masyarakat sudah diindoktrinasi untuk kerja. Kerja sudah menjadi adagium hipokratis yang ditanamkan dalam beragam kesempatan. Oleh istilah “kerja” ini, kita menemukan kebenaran yang sudah seabad dikemukakan oleh sosiolog Karl Marx, bahwa kerja akan membuat manusia teralienasi, terasing. Kerja yang sejatinya menjadi proses, berubah menjadi tujuan.

Itulah yang terjadi saat ini. Kemacetan terjadi pada jam kerja. Manusia yang melakukan “kerja” hidup dalam rutinitas yang membuatnya terasing, tidak bisa protes, manut, dan “diam” saja. Inilah fenomena masyarakat modern mengenai silent society. Mereka diam pada struktur dan sistem yang hegemonik—meski kadang sangat berisik di media (sosial). Struktur kerja kita telah menghasilkan struktur sosial. Lapisan dan pengelompokkan manusia pun tidak terhindarkan. Bahkan sudah seperti taqdir, di mana satu kelompok yang makmur akan menjadi subyek yang menentukan dinamika dan gerak kehidupan.

Namun lagi-lagi, jika diperhatikan, struktur kerja kita diatur tidak oleh mereka yang mentahbiskan diri untuk kerja itu sendiri. Mereka adalah pengusaha, pemilik modal, investor, pemikir, dan sejumlah agen yang justru sangat leluasa. Mereka tidak memiliki definisi kerja pada tiga variable kunci di atas. Mereka justru lebih bebas dari banyak sisi, terutama moving dan time.

Menurut sebuah riset yang dilakukan oleh sebuah kampus, untuk menemukan para investor, pemilik modal, tinggal datang saja ke tempat-tempat makan kelas menengah atas. Mereka yang sedang makan sambil tertawa itu adalah para pemilik usaha tempat para pekerjanya distrukturasi waktu dan target. Mereka mengakumulasikan modal dengan menanamkan sebagian revenue, sehingga masuk kepada posisi “bebas cemas” atau bebas finansial.

Berbeda dengan para pekerja harian itu. Berapapun level jabatan yang disandangnya, terikat oleh hukum besi yang sama: waktu dan target. Waktu yang diatur sesuai keinginan pemilik modal, yang secara riilnya diterjemahkan dalam “jam kerja” telah mengikat setiap pekerja untuk berangkat pada waktu—yang sayangnya—sama. Akibatnya sudah bisa diprediksi: kemacetan. Tidak peduli seberapa cepat dibuat tambahan ruas jalan, tol, non-tol, atau apapun. Selama waktu perginya tidak diselesaikan, tetap saja akan macet.

Adaptasi dan Mitigasi

Lalu apa solusi praktisnya bagi kebijakan untuk mengatasi kemacetan yang membuat “horor” banyak orang itu. Berikut beberapa tawarannya: Pertama, komunikasi antar instansi dan penguasa wilayah. Jika pemerintah Jakarta dan seluruh penyangganya duduk bareng dengan para pemilik usaha, kemudian mengatur jam pergi ke kantor, maka kemacetan bisa berkurang signifikan. Misalnya, kantor pemerintah buka jam 06.00 pagi sampai 15. 00. Sedangkan kantor swasta buka 2 jam kemudian dan pulang lebih telat. Jeda dua jam ini akan memberikan kesempatan kepada subyek untuk pindah tidak secara bersamaan.

Kedua, insentif. Bagi pemerintah atau swasta yang memiliki keleluasaan modal untuk membangun flat khusus karyawan. Mereka bisa tinggal selama menjadi pekerja di situ, dan pulang setiap pekan. Bagi yang mau tinggal diberikan insentif. Bagi perusahaannya juga bisa diberikan insentif yang menarik. Ketiga, edukasi sistematis pada pada berbagai ruang dan platform mengenai penggunaan transportasi publik. Kampanye ini harus dilakukan di samping sarana penunjangnya pun dioptimalkan. Sebab outcome dari pendidikan adalah kulturalisasi perpindahan orang dengan moda transformasi, maka dari itu tantangannya harus multipihak dan multisektor.   

*** Dalam berbagai kesempatan, sudah banyak dikemukan oleh ahli, peneliti, pengamat, bahkan pemerintah sendiri mengenai besarnya kerugian akibat macet. Data hasil perhitungan tahun 2017 saja misalnya, disebutkan bahwa nilai rupiah kemacetan mencapai 100 trilyun. Jumlah itu lebih besar dari anggaran Kementerian Perhubungan selama 2 tahun. Oleh karena itu, sudah saatnya transformasi radikal segera dilakukan, supaya kota kita tidak mengalami “stuck city”.

[terbit di Rakyat Merdeka]

Tinggalkan Balasan