Ekspresi Relijius Kota

Tengoklah suasana kota ketika menjelang lebaran Iedul Qurban seperti beberapa hari ini. Di mana-mana muncul sesuatu yang menunjukkan bagaimana ekspresi relijius warga kota. Salah satunya adalah maraknya pedagang hewan Qurban, yang tentu saja menandakan bahwa permintaannya pun cukup tinggi.

Suasana ekspresif ini kemudian berlanjut saat hari penyembelihan. Kebersamaan warga untuk mengelola hewan Qurban pun menunjukkan azas komunitarian yang kuat. Seakan-akan mereka ingin menunjukkan bahwa apa yang dikawatirkan sebagian kalangan mengenai peluruhan kohesifitas sosial itu hanya omong kosong saja.

Jika menggunakan pendekatan teori pelapisan sosial, ekspresi relijius warga kota dalam momentum iedul qurban ini bisa dikategorisasikan sebagai berikut: Pertama, lapisan paling atas. Mereka mengekspresikan kesadaran relijiusnya dalam pilihan hewan sembelihan. Jika memilih hewan sapi untuk qurban keluarganya, mereka memilih sapi yang bagus, gemuk dan besar. Tentu saja kualitas tertinggi dari sapi ini menjadi incaran mereka, sebab harga bukan masalah. Bagi mereka, jenis pilihan hewan qurban menyimbolkan kesadaran tertinggi dari ibadahnya.

Kedua, lapisan tengah. Mereka bisa jadi kaum muslim kota kebanyakan. Untuk mengekspresikan ibadah ini, mereka melakukan beragam hal: menabung, atau menyisihkan sebagian rezeki dan kemudian mengalokasikannya untuk hewan qurban, baik secara individu atau bersama-sama. Kemampuan menunaikan ibadah ini, merupakan kehebatan tersendiri. Mengingat kemampuan ekonomi mereka ini, sebenarnya standar dan bahkan di bawahnya.

Ketiga, lapisan bawah. Kaum muslim kota yang ada pada level ini bisa dilihat pada beragam hal. Misalnya pada perilaku partisipatif pada kegiatan Qurban. Meski mereka tidak menjadi subyek pequrban, tetapi bagaimana mereka, dengan beragam latar belakang (ormas, partai, dan sebagainya), ikut terlibat dalam menyukseskan kegiatan Qurban ini.

Setiap lapisan sosiologis ini dengan indah berinteraksi membangun sistem sosial. Kontestasi, jikapun ada, tidak terletak pada keinginan untuk menonjolkan keegoisan, melainkan untuk berperan pada perilaku yang berkebajikan.

Dari Inklusi ke Kohesi

Jika kita membaca apa yang terjadi di atas, sebenarnya dalam masyarakat kita semangat inklusi ke kohesi itu sudah ada dan tertanam lama dalam kehidupan sehari-hari. Hanya saja, dinamika politik yang tervisualisasi pada media sosial, terkadang seperti menyelimuti realitas ini. Kompetisi diwujudkan dalam perilaku yang mendistraksi relasi. Bahkan, jika kurang dewasa yang terjadi perilaku saling membenci.

Kohesifitas sosial-budaya adalah modal dasar untuk membangun masyarakat kota (juga desa) yang berkelanjutan. Sendi-sendi relasi antar subyek yang terjadi inilah yang kemudian akan menjadi penyokong sistem sosial. Sistem ini, yang kemudian menginternalisasi dalam setiap benak warga, akan menyokong sistem lain yang lebih besar: peradaban.

Kota adalah motor kehidupan. Relijiusitas kehidupan warga yang terpotret dalam kehidupan sehari-hari di atas, selain memiliki kontribusi pada keekonomian warga dan negara, tentu yang paling besar adalah pada kehidupan dan peradaban manusia. Di era sekarang ini, di mana media menjadi salah satu parameter kehidupan, kohesifitas adalah daya yang menggerakkan optimisme dan gerakan. Sebab ekspresi relijiusitas, yang bersumber pada khazanah pengabdian dan kecintaan pada kehidupan berkeadaban, akan sangat kuat menopang harapan.

[terbit di rakyat merdeka]

Tinggalkan Balasan