Santrinisasi Kota

Jaman dahulu, kesantrian sering dianggap sama dan sebangun dengan orang desa atau wong ndeso. Persepsi tentang santri pun lebih dilekatkan kepada visualisasi kesebersahajaan, kesederhanaan, (bahkan kemiskinan) dan sebagainya. Pandangan ini berhadapan secara diametral dengan orang kota yang mewah, bling-bling, kaya, dan sebagainya.

Seiring dengan waktu, citra santri berubah. Terutama setelah kaum santri mengalami proses mobilisasi vertikal melalui berbagai jalur: akademisi, bisnis, dan birokrasi.

Saat ini, menjadi santri tidak ada berbeda dengan menjadi siswa biasa. Bahkan, label santri memiliki nilai lebih. Karena santri itu tinggal dan hidup di pondok, berasrama, yang otomatis memberikan nuansa baru seperti kemandirian dan habitus yang terjaga dan bisa dikelola.

Saat ini, pondok pesantren atau tempat tinggal santri banyak yang berpenampilan mentereng. Mereka berdiri pada lahan yang luas, bertembok tinggi, gerbang yang bagu (kadang mewah), berlahan parkir luas, dan fasilitas yang cukup wah.

Menjadi santri saat ini bisa memiliki pilihan. Tentu menyesuaikan dengan budget. Mau mahal mewah atau mau murah meriah. Semua tersedia. Termasuk jenis keahlian dan sistem pendidikan yang ditawarkan. Ibarat menu makanan, santri, pondok, sistem pembelajaran, semua hadir dengan variasi dan kebutuhannya.

Realitas seperti ini menyebabkan terjadinya pergerseran signifikan pada aspek input. Kalangan ekonomi menengah ke atas yang tinggal di kota, pun tidak segan untuk memilih pondok pesantren sebagai basis pendidikan bagi anak-anaknya. Ketika mereka sudah menyelesaikan masa pendidikan di pondok, tidak sedikit dari mereka yang memasuki perguruan tinggi umum di dalam dan luar negeri, dan memasuki arena kerja.

Para mantan santri ini yang kemudian memberikan wajah baru masyarakat kota. Mereka yang memiliki modal keilmuan santri ini, lalu menjadi local leader bagi lingkungan-lingkungan kecilnya. Bahkan banyak yang menjadi teladan di kantor atau institusi kerjanya. Beberapa santri kemudian memasuki arena politik yang turut mengharubiru arena kepolikan kita.

Jika tren ini terus berlanjut, maka dalam satu atau dua generasi mendatang, alumni-alumni inilah yang akan mewarnai kota. Mereka akan bekerja dan kemudian tinggal dan berkembang di kota-kota. Jika mereka sukses, tidak sedikit yang kemudian mendirikan pesantren di kawasan-kawasan kota.

Santrinisasi kota terjadi bukan karena ada paksaan atau kekuatan ekstra yang menekan masyarakat kota agar berbuah haluan. Santrinisasi kota tumbuh karena kebutuhan alamiah masyarakat yang ingin memiliki pondasi kehidupan yang lebih kuat. Santri dianggap cukup kuat untuk menjawab tantangan dan kebutuhan itu. Sehingga masyarakat kota tidak ada kecanggungan lagi untuk menitipkan anak-anak mereka di pondok pesantren yang ada di kota atau desa.

Peradaban Santri?

Berdasarkan data dari Kementerian Agama, jumlah pondok penghasil santri di Indonesia pada tahun 1977 hanya sekitar 4.195 unit saja dengan jumlah santri mencapai 677.394 orang. Kemudian pada tahun 2005 saja, jumlah pesantren sudah meningkat tigakali  lipat menjadi 14.798 unit dengan jumlah santri mencapai 3.464.334 orang. Jumlah sebesar itu bisa dipastikan bahwa sebagian besar merupakan santri yang berasal dari kalangan masyarakat kota. Pesatnya pertumbuhan lembaga dan santri tentu akan memberikan pengaruh besar pada kehidupan sosial budaya masyarakat. Tidak mustahil, di sini kita sedang mengawali era peradaban santri.

[terbit di Rakyat Merdeka]

Tinggalkan Balasan