Jalan Kaki di Kota

Bulan-bulan ini saya berkesempatan mengunjungi banyak kota di Indonesia. Bahkan hampir semuanya adalah ibukota provinsi. Kadang saya ingin menikmati kota tersebut sore, pagi, atau malam hari dengan berjalan kaki. Tetapi, hampir sama dan serupa, banyak kota di Indonesia, walaupun tergolong kota besar, kurang ramah dengan pejalan kaki.

Fasilitas standar minimal bagi pejalan kaki adalah trotoar. Merujuk kepada regulasi, ketersediaan fasilitas trotoar merupakan hak pejalan kaki yang telah disebut dalam Pasal 131 ayat (1) UU LLAJ. Ini artinya, trotoar diperuntukkan untuk pejalan kaki, bukan untuk orang pribadi. Akan tetapi coba kita lihat, termasuk yang dirasakan langsung oleh saya, berjalan kaki di trotoar tidak nyaman karena beberapa hal berikut: Pertama, banyak kawasan jalan kaki dikuasai secara illegal oleh tenda pedagang kaki lima, pot yang besar, pohon-pohon yang kurang terawat, dan belakangan, bambu yang menopang spanduk kandidat pemimpin politik; Kedua, kelayakan dari trotoarnya itu sendiri. Selain sempit dan seadanya, kurang penerangan kalau malam, dan tidak “nyeni”.

Untuk membangun kota yang ramah dengan jalan kaki memang perlu kemauan dan tekad yang kuat. Di Maroko, karena negerinya sudah menetapkan diri sebagai destinasi wisata, trotoar itu syurga bagi pejalan kaki yang ingin menikmati kota. Trotoar lebarnya mulai dari lima sampai sembilan meter. Dengan lebar seperti itu, maka pejalan kaki tidak akan bersenggolan dengan mereka yang berlawanan arah. Di Thailand area jalan kaki dibuat di bawah jalan layang kota. Pejalan kaki bisa bepergian dengan nyaman karena tidak akan terganggu kendaraan. 

Jalan kaki di perkotaan sangat penting. Dengan jalan kaki, masyarakat akan langsung berolahraga. Selain menyehatkan, tubuh juga akan sehat secara sosial. Karena biasanya, berjalan kaki lebih “seru” jika dilakukan bareng-bareng. Dengan sendirinya, kegiatan jalan kaki bisa berkontribusi kepada aspek kohesi sosial masyarakat kota.

Saat ini kita terlalu mudah menggunakan kendaraan. Bahkan untuk jarak di bawah 900 meter saja, kita menggunakan sepeda motor atau diantar sopir. Beberapa pejabat seperti sudah dimafhum jika harus diantar sampai depan kantornya. Mereka punya tempat parkir VVIP sendiri. Akibatnya, tubuh kurang bergerak. Obesitas meningkat. Obesitas kota dalam arti yang lebih harafiah terjadi karena penduduknya kurang banyak bergerak dan berkeringat.

***

Mungkinkah kita bisa mendesain kota yang ramah dengan penjalan kaki?

Jawabannya: mungkin dan harus. Namun ada sejumlah syarat yang harus dilakukan oleh pemerintah kota jika akan membuat kota ramah jalan kaki, yaitu: Pertama, revitalisasi fasilitas pejalan kaki mulai dari kualitas jalan, desain jalan, dan tatajalan. Jangan sampai begitu kawasan itu dibuat, yang ramai malah pedagang kaki lima dan pengasong yang tentu sangat mengganggu kenyamanan. Saat ini banyak tempat jalan kaki seperti yang ditulis di atas: kumuh, tegelnya rusak, terganggu pedagang kaki lima, serta hal lainnya.

Kedua, keterhubungan antar kawasan. Misalnya antara tempat parkir umum dengan kawasan kantor-kantor. Atau kawasan tempat tinggal dengan tempat kerja maupun tempat belanja, atau taman-taman kota dan area wisata lainnya. Aspek keterhubungan antar kawasan ini penting untuk menunjang seseorang melakukan perjalanan dengan jalan kaki. Dengan demikian, RDTR (Rencana Detil Tata Ruang) kota pun perlu ditinjau ulang. Proses reunifikasi kawasan perlu dilakukan agar fasilitasi para pejalan kaki tidak mubadir.

Ketiga, keteladanan. Upaya menjadikan kota yang ramah bagi pejalan kaki harus menjadi gerakan. Sebuah gerakan bisa dilakukan jika ada keteladanan. Untuk itu pemerintah harus menjadi pelopornya. Misalnya dengan memulai pemusatan tempat parkir di titik tertentu dan membuat aturan kepada aparatnya untuk berjalan kaki menuju unit kerjanya. Walikota, wakil walikota, kepala dinas, dan para staf melakukan jalan kaki. Kawasan-kawasan perkantoran pemerintah yang tidak ada lagi jadi tempat parkir itu diubah menjadi ruang publik, tempat baca, taman, atau ruangan lain yang fungsional.

Keempat, komunitas. Jalan kaki harus dikampanyekan. Pemerintah, kampus, dan swasta, berkolaborasi membentuk komunitas pejalan kaki. Komunitas yang menyehatkan secara fisik dan sosial ini, di awal-awal harus diberikan insentif, misalnya kemudahan mengurus pajak, diskon belanja, atau apa saja. Dengan kolaborasi seperti ini maka gerakan jalan kaki di kota bisa bersinergi dan saling menguatkan.

*** Jalan kaki bersama akan memiliki manfaat sosio-psikologis yang kuat kepada masyarakat dan pemerintah. Sederhananya, dalam setiap kegiatan akan terjadi interaksi yang bisa jadi saling memperkuat ikatan-ikatan emosial antar komunitas. Coba saja bayangkan, betapa hebatny seorang Walikota atau Bupati yang ketika turun dari mobil dinasnya berjalan bersama staf-stafnya sambil saling menyapa mengenai keluarga, kegiatan sehari-hari, dan sebagainya. Sangat mungkin, dengan kebersamaan ini, para pemimpin bahkan bisa menyelesaikan beberapa permasalahan sebelum mereka duduk di kursi empuknya.

[terbit di Rakyat Merdeka]

Tinggalkan Balasan